MUI Haramkan Perdagangan Satwa Liar

KalbarOnline, Pontianak – Akademisi Universitas Nasional Dr Fachruddin Majeri Mangunjaya menegaskan bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengharamkan perdagangan satwa liar. Hal ini tertuang dalam Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pelestarian Satwa Langka untuk Menjaga Keseimbangan Ekosistem.

Menurut Fachruddin, ada dua poin penting dalam fatwa tersebut, yakni wajib hukumnya memperlakukan satwa langka dengan baik (ihsan) dengan jalan melindungi dan melestarikannya guna menjamin keberlangsungan hidupnya, dan melakukan perburuan dan/atau perdagangan ilegal satwa langka hukumnya haram.

IKLANSUMPAHPEMUDA

Penegasan tersebut disampaikan pada agenda media gathering BKSDA Kalbar-Yayasan Planet Indonesia dengan tema sinergitas media massa sebagai upaya perlindungan peredaran tumbuhan satwa liar di Kalimantan Barat yang diselenggarakan pada Kamis (24/08/2023) di Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, Kalbar.

Fachruddin mengilustrasikan bahtera Nabi Nuh As sebagai kapal konservasi alam di dunia. Kapal itu memuat hewan-hewan yang saling berpasangan, termasuk keluarga nabi dan orang-orang yang beriman.

“Hingga apabila perintah Kami datang dan dapur telah memancarkan air, Kami berfirman: Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman,” sebut Fachruddin mengutip Al-Qur’an Surat Hud Ayat 40.

Kepala Pusat Pengkajian Islam (PPI) Universitas Nasional ini menjelaskan, Surat Hud sarat dengan pesan-pesan konservasi dan mengajarkan betapa pentingnya menjaga kelangsungan hidup.

“Allah memerintahkan Nabi Nuh untuk memuat satwa yang saling berpasangan (jantan dan betina) serta orang-orang beriman yang jumlahnya sedikit,” terangnya.

Baca Juga :  Mulai Pekan Depan, Sejumlah Hotel jadi Tempat Isolasi Pasien Covid-19

Dari terminologi agama inilah, Fachruddin mencontohkan daftar ordo dan spesies di Indonesia yang secara etika dilarang atau haram untuk dikonsumsi menurut yurisprudensi Islam (fiqh). Dari empat ordo, yakni primata, karnivora, reptil, dan amphibi, jumlah total spesies di Indonesia mencapai 627, dan secara global sebanyak 18.390 spesies.

“Semua spesies seperti orang utan, bekantan, kera, daun perak, siamang masih melimpah di hutan Indonesia khususnya di wilayah muslim, tidak diburu untuk dikonsumsi karena hukumnya haram,” urai Fachruddin.

Semua kucing liar terancam punah dan jika berada di wilayah muslim, mereka tidak akan diburu untuk dikonsumsi. Namun, hal ini berlaku untuk 268 ordo spesies karnivora global.

Begitu pula dengan jenis binatang melata seperti buaya, ular, biawak, dan lain-lain, sambung Fachruddin, semua dilarang untuk dikonsumsi, kecuali kadal gurun (dlab) boleh dikonsumsi. Sedangkan spesies dalam ordo amphibi seperti penyu, katak, dan salamander juga haram dikonsumsi.

Fachruddin kemudian mengutip Alquran Surat Al-An’am [6] ayat 38 yang berbunyi: “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan”.

Burung-burung di P2B2 Wak Gatak Conservation Center

Pusat Penyelamatan Burung Berkicau (P2B2) Wak Gatak Conservation Center saat ini tengah menangani 500 ekor burung dari 18 jenis. Burung-burung yang sedang menjalani masa rehabilitasi sebanyak 11 ekor dari tiga jenis, dan sudah dilepasliarkan sebanyak 62 ekor dari empat jenis.

Baca Juga :  EUA Terbit, MUI: Vaksin Halal, Bisa Digunakan Umat Muslim

“Dalam proses perawatan rutin (rehabilitasi), burung-burung ini memerlukan biaya yang tidak sedikit. Berkisar di atas Rp10 juta per bulan untuk menangani 100 ekor burung,” kata Happy Ferdiansyah, Head Veterinarian Wak Gatak Conservation Center.

Menurutnya, P2B2 menangani burung berkicau (ordo Passeriformes) korban IWT dan/atau serahan masyarakat melalui fasilitas hasil kerja sama BKSDA Kalbar dan YPI.

Happy juga menjelaskan alur penyelamatan satwa dengan merujuk pada SOP Nomor 2/KSDAE/SET.3/145A.2/6/2023 tentang Penyelamatan Satwa Liar Hidup Temuan, Sitaan, dan Rampasan Hasil Penegakan Hukum.

“Kita memerlukan aturan main yang ketat mengingat burung adalah satwa yang mudah stres, sakit, dan mati. Jadi penanganannya sangat ekstra. Kita perlu melihat bagaimana kondisi burung saat diburu/ditangkap di pengepul, di kios/toko, di sangkar rumah,” sebutnya.

Dari hasil pengamatan itu, pihak P2B2 akan tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. “Ini semata-mata untuk keselamatan. Sebab, tidak jarang burung itu membawa penyakit menular dan bersifat zoonosis,” sebutnya. (Jau)

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Comment