KALBARONLINE.com – Pernyataan Jaksa Agung RI, Sanitiar (ST) Burhanuddin yang bakal menindak tegas oknum jaksa nakal yang ikut-ikutan bermain proyek dianggap masih sebatas “omon-omon” belaka. Di Kalbar misalnya, banyak keluhan bahkan laporan masyarakat yang tak terlalu digubris secara serius oleh institusi yang bersangkutan.
“Jika masih ada yang bermain proyek atau melakukan intervensi yang tidak seharusnya, maka jabatan mereka akan dicopot dan ditindak tegas,” kata Burhanuddin pada Jumat 28 Februari 2025.
Statement Burhanuddin kala itu mendapat perhatian yang cukup antusias dan anggukan kepala dari para bawahannya, namun seketika bak hilang begitu saja sesaat Burhanuddin turun dari podiumnya.
Insinuasi lemahnya supervisi terhadap lembaga-lembaga kejaksaan di daerah, tercermin dari banyaknya sejumlah temuan di lapangan. Kendati telah bolak-balik dilaporkan masyarakat, baik secara langsung maupun melalui media massa, namun tim adhyaksa seolah tetap bergeming dan membatu, emoh turun melakukan pengusutan.
Lucunya, beberapa kali laporan masyarakat justru dimentahkan dengan statement sapu jagat “silakan masyarakat buktikan, maka kami akan bla..bla..” atau “kami siap.. dan akan..”, sekaligus ditutup dengan imbauan agar masyarakat selalu proaktif melaporkan, “sehingga kami akan.. dan akan..”. Sementara segala perangkat dan gaji yang dibayarkan negara terbuang sia-sia.
Ambil contoh, apa yang tengah getol dilakukan oleh Lembaga Investigasi Badan Advokasi Penyelamat Aset Negara (LI BAPAN) Provinsi Kalimantan Barat. Beberapa yang terekam di media, laporan-laporan yang dilayangkan mereka seolah ditindaklanjuti dengan ayem oleh Kejaksaan Tinggi Kalbar.
Mulai dari pelaporan dugaan pemerasan yang dilakukan sejumlah oknum di lingkungan kejaksaan. Seperti diketahui, kalau laporan ini berkaitan dengan fakta yang terungkap dalam persidangan kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Rehabilitasi Jembatan Timbang Siantan atau UPPKB Siantan Tahap IV dalam APBN Tahun Anggaran 2021.
Laporan ini didasarkan pada kesaksian terdakwa Markus Cornelis Oliver (MCO) dalam sidang ke-14 yang menyebutkan keterlibatan beberapa nama besar yang meminta sejumlah uang agar kasusnya dihentikan, seperti YSK mantan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Pontianak dan MY mantan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Kalbar.
Belum lagi soal investigasi LI BAPAN Kalbar terkait adanya sejumlah oknum jaksa yang ditengarai turut andil dalam sejumlah proyek pemerintahan di daerah. Kacaunya, tak hanya cukup menggeser nafkah para kontraktor, oknum-oknum itu juga diduga berperan sebagai “adjudicator” untuk proyek-proyek bermasalah.
“Di Kalbar ini oknum jaksa nakal sudah terlalu merajalela. Bukannya memberantas korupsi, justru diduga mereka sendiri pelakunya. Mereka memang nggak turun langsung, tapi pakai tangan orang lain. Tapi ya, akhirnya tetap ketahuan juga,” kata Kepala LI BAPAN Kalbar, Stevanus Febyan Babaro baru-baru ini.
Kembali mengenai janji Jaksa Agung ST Burhanuddin yang bakal menindak tegas oknum jaksa nakal dan bermain proyek, LI BAPAN Kalbar tentu sangat berharap, kalau ucapan itu tak hanya sekadar janji manis semata.
“Lagi viral pernyataan Kajagung yang akan menindak oknum jaksa yang bermain proyek, baik dengan sanksi internal maupun pidana. Semoga ini bukan sekadar lip service, karena faktanya semakin banyak bukti dugaan keterlibatan jaksa nakal yang terungkap,” kata dia.
Di sisi lain, terbongkar pula sebuah testimoni dari seorang mantan pejabat desa di Kabupaten Sambas yang mengaku pernah akan diperas oleh oknum aparat penegak hukum (APH) saat ia tengah diperiksa dalam kasus korupsi.
Dari balik jeruji, sang mantan ini menceritakan, kalau sejak awal proses penyelidikan kasusnya, ia pernah beberapa kali dipanggil untuk klarifikasi. Di mana pada saat itulah terjadi negosiasi oleh seorang oknum APH.
“Saya ini contoh nyata bahwa praktik jual beli dan negosiasi dalam penanganan kasus hukum memang terjadi di Kabupaten Sambas. Itu dilakukan oleh oknum APH, bukan sekadar isu,” kata yang bersangkutan, Rabu (26/02/2025).
“Saya masih ingat, (oknum APH) menelepon saya dengan nomor berbeda. Tapi dari foto profilnya, saya tahu itu staf di kantornya. Dia meminta Rp 30 juta agar kasus saya dihentikan. Setelah negosiasi, jumlahnya turun menjadi Rp 25 juta. Saat itu, kalau saya mau membayar, mungkin saya tidak akan dipenjara,” terangnya lagi.
Modus Operandi
Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik Kalbar, Herman Hofi Munawar mengakui, kalau kondisi sistem hukum di Indonesia saat ini memang sedang tidak baik-baik saja, dan ini merupakan persoalan serius yang harus dibenahi di republik ini.
“Tidak hanya di Kalbar saja, tapi di Indonesia. Jadi (ada istilah) untuk menghancurkan sebuah negara hancurkan sistem hukumnya,” kata dia.
Herman berpendapat, yang membuat sistem hukum menjadi rusak, diantaranya adalah praktik hukum yang diserongkan oleh oknum penegak hukum itu sendiri.
Sepanjang pengalamannya menjadi praktisi hukum, modus operandi yang kerap dimainkan oleh para oknum penegak hukum tersebut ada dua. Pertama subjektivitas, dalam konteks bukan murni untuk menegakkan hukum tapi lebih mengedepankan rasa emosionalnya.
“Ketika penegak hukum mengedepankan rasa emosionalnya, maka bisa dipastikan bahwa penegakan hukum itu tidak akan bisa merasakan (menghasilkan) keadilan. Karena substansi dari penegakan hukum itu rasa keadilan. Rasa keadilan itu, pertama bagi pelaku itu sendiri, kemudian keadilan bagi masyarakat secara umum,” kata Herman.
Modus yang kedua, yakni apa yang ia sebut dengan “doa” atau “dorongan amplop”. “Dengan adanya ‘doa’ inilah sehingga mengaburkan sisi hukum yang ada,” ujarnya.
Solusinya, Herman menyatakan, bahwa pengawasan terhadap para penegak hukum ini mau tak mau memang harus segera diperkuat. Ia mengingatkan, kalau manusia itu pada umumnya mempunyai kecenderungan untuk menyimpang, apalagi semakin tinggi posisi dan kewenangan yang dimiliki, maka besar pula kemungkinannya untuk menyimpang.
“Perlu penguatan dari sistem pengawasan, nah kita ini hampir di semua lini lemah sekali dalam hal pengawasan. Termasuk kejaksaan, ada jamwas, tapi persoalannya sekarang ini menjadi bingung, siapa yang diawasi siapa yang mengawasi sudah tidak jelas lagi. Jadi kalau sudah sama gilanya, sudah berat urusannya,” ujar Herman.
“Untuk itu harus dilakukan revitalisasi dan rekonstruksi sistem pengawasan hukum kita. Kalau itu tidak dilakukan, sampai kiamat pun tidak ada fungsi pengawasan kita, dengan kata lainnya ya percuma,” tambahnya.
Industri Hukum
Laporan terkait fenomena cawe-cawe aparat atau “industri hukum” yang muncul di daerah-daerah, sebenarnya sempat disorot oleh tokoh nasional, Mahfud MD, saat ia masih menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI.
“Ada laporan begini nih, di lingkungan daerah, di daerah itu banyak sekali sekarang apa yang disebut ‘industri hukum’, aturan itu dibuat atau diberlakukan untuk mengambil keuntungan,” katanya.
Hal itu disampaikan oleh Mahfud saat menghadiri Rapat Koordinasi Pengendalian (Rakordal) Pembangunan Daerah DIY Triwulan I Tahun Anggaran 2023, di Gedhong Pracimasana, Kompleks Kepatihan, Yogyakarta, Selasa (16/05/2023).
Lebih jauh Mahfud mencontohkan, terdapat beberapa proyek yang bahkan masih dalam pengerjaan oleh kontraktor, namun oleh oknum jaksa sudah dipersoalkan. Oknum jaksa tersebut berpendapat kalau ada dugaan korupsi pada proyek dimaksud sehingga mereka “harus” melakukan pemeriksaan.
“Proyek sedang berjalan, sudah diperiksa oleh jaksa. Jaksa manggil, katanya korupsi ini, sehingga orang menjadi takut melakukan proyek. Nah, jaksanya cuma meras-meras aja itu,” terang Mahfud.
Ajaibnya, setelah dipersoalkan, kejaksaan setempat pun tidak kunjung memberikan keputusan hukum terkait ada atau tidaknya kesalahan atau tersangka dalam proyek yang dimaksud, kendati setelah bolak balik diperiksa dengan tuduhan melanggar hukum.
“Dibilang melanggar hukum, kamu korupsi ini, diperiksa terus, nggak pernah ada keputusan apakah tersangka atau tidak, ya hanya diperas saja, polisi juga melakukan hal yang sama,” tutur Mahfud.
Mahfud kala itu menyebut, kalau fenomena tersebut sudah dibahas dalam rapat lintas kementerian yang dia pimpin. Rapat tersebut diikuti oleh Kemendagri, Kejaksaan Agung, Polri, Kemenpan RB, serta BPKP.
Harmonisasi Forkopimda
Kembali, menyoal fenomena “industri hukum” yang dikemukakan oleh profesor hukum, Mahfud MD di atas, Herman Hofi Munawar berpendapat, kalau, praktik ini bisa saja dikikis perlahan kalau Menteri Dalam Negeri bersama Kejagung dan Kapolri mau duduk bersama dan membuat kesepakatan, guna memberikan ruang bagi birokrasi untuk bekerja bahkan berinovasi.
“Mesti duduk satu meja dulu, menyatukan persepsi terkait dengan persoalan pengawasan terhadap kinerja birokrasi. Jangan sedikit-sedikit jadi pidana di situ, sehingga itu menimbulkan kelemahan birokrasi untuk melakukan inovasi, maka jangan heran kalau birokrasi kita kerja apa adanya, karena tidak mau ambil risiko,” katanya.
Setelah duduk satu meja, dan kesepakatan yang dimaksud terjalin, maka MoU antara Menteri Dalam Negeri, Kejagung dan Kapolri tersebut harus di-break down ke pemerintah di daerah.
“Kesepakatan itu harus di-breakdown ke tingkat bawah. Makanya kita punya forkopimda (forum komunikasi pimpinan daerah), yang mestinya harus selaras. Selaras juga dengan pola penegakan hukum yang digariskan oleh pemerintah pusat,” katanya.
Herman menilai, efektivitas forkopimda yang ada di setiap pemerintahan daerah, bisa menjadi solusi dalam mengurai kemacetan komunikasi atau hambatan di birokrasi.
“Jadi kita berharap gubernur, bupati, wali kota, coba itu efektifkan forkopimda, karena ketua forkopimda provinsi adalah gubernur, ketua forkopimda kabupaten/kota adalah bupati atau wali kotanya, nah ini diefektifkan, supaya betul-betul forkopimda ini mendukung kinerja birokrasi untuk menciptakan tatanan pemerintahan yang baik,” ujarnya.
Jawaban Kajati Kalbar
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalimantan Barat sempat merespon mengenai investigasi LI BAPAN Kalbar terkait adanya sejumlah oknum jaksa yang ditengarai turut andil dalam sejumlah proyek pemerintahan di daerah. Kendati sayangnya, jawaban yang diterima wartawan saat menginformasikan hal ini cukup singkat.
“Tanya ke BAPAN, saya tidak ada info. Kalau emang ada (jaksa main proyek, red), laporkan saja,” kata Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Kalbar, I Wayan Gedin Arianta, Kamis (20/03/2025).
Sementara terkait indikasi pemerasan yang dilakukan oleh sejumlah oknum di lingkungan kejaksaan—sebagaimana diungkapkan oleh terdakwa Markus Cornelis Oliver dalam persidangan Tipikor Rehabilitasi Jembatan Timbang Siantan atau UPPKB Siantan Tahap IV dalam APBN Tahun Anggaran 2021—Wayan sebelumnya telah memberikan klarifikasinya. Di mana secara garis besar, pihak Kejati Kalbar menolak tudingan yang dimaksud.
“Bahwa apa yang disampaikan terdakwa MR (Markus, red) di persidangan merupakan bagian dari proses hukum yang sedang berjalan dan tidak dapat langsung dianggap sebagai fakta hukum tanpa adanya bukti yang valid dan pengesahan dari pihak pengadilan yaitu majelis hakim yang menangani perkara dimaksud,” jelasnya.
Selanjutnya, Wayan turut menegaskan, bahwa pihaknya berkomitmen untuk tidak akan mentolerir segala bentuk pelanggaran hukum, termasuk dugaan penerimaan uang oleh aparatnya. Kejari Kalbar pun kata dia, telah mengambil langkah konkret secara internal kelembagaan dalam menyikapi tudingan Markus tersebut.
“Kami melalui bidang pengawasan telah melakukan pemeriksaan dan langkah-langkah internal dengan telah melakukan pemanggilan sesuai surat perintah yang telah dikeluarkan Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat, guna memastikan fakta sebenarnya,” kata Wayan.
“Dalam hal ini kami telah melakukan klarifikasi Kepala BPTD Kelas II Pontianak dan PPK Rutin. Kami juga telah menjadwalkan pemeriksaan klarifikasi beberapa pejabat yang disebut dalam persidangan, dan apabila nantinya setelah dilakukan pendalaman ditemukan adanya pelanggaran etik atau hukum, kami akan mengambil tindakan tegas sesuai aturan yang berlaku,” tuturnya. (**)
Comment