KALBARONLINE.com – Kalau mau cari drama paling absurd tahun ini, penunjukan Ifan Seventeen sebagai Direktur Utama PT Produksi Film Negara (PFN) bisa jadi salah satu kandidat terkuat. Bukan karena prestasinya yang spektakuler di dunia perfilman, tapi justru karena tidak adanya rekam jejak panjang yang membuat publik yakin.
Yang lebih menyakitkan, jabatan ini bukan sekadar terlihat, tapi memang hadiah. Dan hadiah itu bukan diberikan kepada insan film, tapi kepada seorang musisi yang “pernah” bikin film.
PFN bukan tempat main-main. Ini BUMN strategis yang harusnya jadi lokomotif perfilman nasional. Perlu visi. Perlu orang yang paham ekosistem, dari hulu ke hilir. Perlu pemimpin yang bisa ngomong dalam bahasa sineas, bukan sekadar publik figur yang familiar di layar kaca.
Dan ketika jabatan ini justru diberikan kepada orang yang latarnya bukan dari perfilman secara utuh, apa yang mau diharapkan? Perubahan? Revolusi industri kreatif? Atau sekadar pencitraan?
Coba lihat deretan sineas yang selama ini berkarya dengan konsisten, idealis, dan membawa nama Indonesia ke kancah internasional. Nama-nama seperti misalnya Joko Anwar, sutradara dan produser dengan segudang karya monumental. Dari Pengabdi Setan sampai Gundala, ia tahu bagaimana membangun ekosistem, pasar, bahkan menembus festival internasional.
Kemudian Mira Lesmana, produser senior yang sudah membangun banyak waralaba film besar di Indonesia. Ada Apa dengan Cinta, Laskar Pelangi, hingga Paranoia. Pengalamannya mendirikan Miles Films jelas jauh lebih kredibel untuk mengelola PFN.
Lalu ada Nia Dinata, dikenal sebagai pejuang film dengan tema-tema progresif dan peka terhadap isu sosial. Visi dan keberaniannya sangat layak diperhitungkan untuk memimpin lembaga seperti PFN.
Timo Tjahjanto, sineas muda dengan genre kuat dan reputasi internasional. Dia tahu pasar, tahu industri, dan tahu bagaimana membangun tim produksi yang solid.
Bahkan nama-nama seperti Riri Riza, Garin Nugroho, atau Angga Dwimas Sasongko pun masih jauh lebih relevan dibandingkan Ifan Seventeen, yang baru terjun ke industri ini beberapa tahun terakhir dengan satu-dua proyek.
Dari Bakat ke Kekuasaan, Jalan Pintas Bernama “Balas Budi”?
Ini yang membuat banyak orang muak. Di negeri ini, prestasi acap kali kalah sama kedekatan. Publik tahu Ifan memang dekat dengan lingkar kekuasaan. Pernah bikin lagu tentang Prabowo. Pernah tampil di acara-acara politik. Tapi masa iya, itu jadi tiket emas buat pegang jabatan strategis?
Publik tentu tak sama sekali anti dengan Ifan secara pribadi. Tapi publik berhak mempertanyakan prosesnya. Karena saat jabatan bisa diberikan tanpa proses transparan, maka kepercayaan publik terhadap pemerintah akan semakin tergerus.
Apalagi ketika yang mendapat jabatan itu justru tampil di media seolah dia “paling ngerti perfilman.”
Industri film bukan panggung ego. Ini tempat di mana ratusan ribu orang bertaruh hidup dari produksi demi produksi. Dari tukang kabel sampai penulis skenario, dari asisten kamera sampai editor—semua berjuang, berharap ekosistem ini tumbuh sehat.
Lalu datang seseorang, bukan dari industri, bukan dari proses, dan tiba-tiba duduk di kursi tertinggi? Bayangkan perasaan mereka.
Apa Kata Ifan?
Menanggapi banjir kritik, Ifan menjelaskan bahwa dirinya punya rumah produksi sejak 2019 dan telah memproduksi beberapa film yang tayang di platform digital. Ia bilang publik wajar meragukannya karena yang dikenal orang selama ini hanya sisi musiknya. Ia juga beralasan bahwa direktur utama itu seperti direktur rumah sakit—nggak harus dokter, selama dikelilingi tim ahli.
Tapi yang paling bikin publik geleng-geleng kepala adalah pernyataannya ini: “Kalau memang ada yang lebih mampu dan bersedia menggantikan saya, saya siap mundur. Saya tidak akan mempersulit atau mempertahankan jabatan ini jika memang ada yang bisa membawa PFN lebih baik.”
Lho? Kalau tahu jabatan ini bisa digantikan oleh yang lebih layak, kenapa dari awal diterima dengan santai? Kalau tahu ada orang yang lebih mumpuni, kenapa tidak ditolak sejak awal?
Pernyataan itu justru memperkuat persepsi publik, bahwa jabatan ini memang bukan hasil perjuangan profesional, tapi pemberian.
Saat Rasa Malu Tak Lagi Jadi Rem
Dulu, orang segan kalau merasa belum cukup layak pegang jabatan. Sekarang? Bahkan bisa senyum lebar di depan kamera saat ditanya soal legitimasi. Yang makin bikin geram, malah ada yang bilang: “Kasih aja kesempatan dulu, siapa tahu dia bisa.”
Boleh dong publik balik tanya: kalau gagal, siapa yang tanggung jawab? Industri film? Anak-anak muda yang baru belajar produksi? Negara?
Ini bukan tentang Ifan saja. Ini tentang cara kita memperlakukan jabatan publik. Kalau semua orang bisa lompat tanpa proses, lalu apa gunanya kerja keras dan kompetensi?
Comment