Shopping cart
Your cart empty!
Terms of use dolor sit amet consectetur, adipisicing elit. Recusandae provident ullam aperiam quo ad non corrupti sit vel quam repellat ipsa quod sed, repellendus adipisci, ducimus ea modi odio assumenda.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Do you agree to our terms? Sign up
|
|
Oleh : Jauhari Fatria |
| Rabu, 09 Juli 2025 |
KALBARONLINE.com – Kesenjangan daya tampung pendidikan menengah atas masih jadi persoalan di banyak daerah, termasuk Kalimantan Barat. Setiap tahun, jumlah lulusan SMP terus meningkat, namun bangku SMA/SMK belum mampu mengimbangi lonjakan itu. Bahkan untuk wilayah seperti Kota Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya, Angka Partisipasi Sekolah (APS) jenjang SMA belum pernah menyentuh 100 persen.
Sebagaimana telah diamanatkan dalam konstitusi, hak atas pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia. Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.”
Tak hanya sebagai hak, pendidikan juga diposisikan sebagai kewajiban. Pasal 31 ayat (2) menegaskan bahwa “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dan pemerintah wajib membiayainya.” Dengan demikian, negara tidak hanya diperbolehkan, tetapi justru wajib hadir untuk menjamin akses pendidikan bagi seluruh warga, termasuk lewat dukungan terhadap lembaga pendidikan berbasis masyarakat.
Dengan kata lain, negara tidak hanya diperbolehkan hadir, melainkan memang harus hadir dalam menjamin akses pendidikan yang layak bagi setiap anak Indonesia—termasuk melalui dukungan terhadap sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Di tengah persoalan tersebut, muncul narasi liar yang menyebut bahwa pemerintah tidak boleh membantu pembangunan sekolah berbasis masyarakat karena dianggap menyalahi aturan, atau dikhawatirkan akan dipersoalkan aparat penegak hukum di kemudian hari. Padahal, jika mengacu pada regulasi resmi, justru sebaliknya—pemerintah sah membantu sekolah yang didirikan masyarakat, selama memenuhi ketentuan hukum.
Kekhawatiran itu pun tak lepas dari realitas di lapangan. Di tengah menurunnya kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum, tak jarang penegakan aturan dilakukan secara sewenang-wenang, sarat subjektivitas, dan tidak berpijak pada semangat regulasi yang utuh. Hal inilah yang memunculkan ketakutan berlebihan, bahkan ketika langkah pemerintah sebenarnya sesuai jalur hukum. Hingga muncul istilah yang mencerminkan ironi di lapangan, tak berbuat salah, berbuat justru tambah salah.
Diatur Jelas dalam PP 48/2008
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan secara tegas mengatur legalitas bantuan pemerintah kepada sekolah berbasis masyarakat. Pasal 34 ayat (5) menyatakan:
“Pemerintah, pemerintah daerah, pemangku kepentingan pendidikan, dan pihak asing dapat membantu pendanaan biaya investasi selain lahan untuk satuan dan/atau program pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan masyarakat.”
Artinya, negara justru didorong hadir dalam memperkuat infrastruktur pendidikan masyarakat. Bukan malah dilarang. Yang penting, bantuannya tidak untuk lahan dan harus taat prosedur.
Lebih lanjut, Pasal 51 ayat (6) dari regulasi yang sama menegaskan bahwa sekolah berbasis masyarakat bisa didanai dari berbagai sumber, di antaranya:
Semua pendanaan ini wajib dikelola secara transparan dan akuntabel, sebagaimana diatur dalam Pasal 78 ayat (1):
“Pengawasan penerimaan dan penggunaan dana satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar serta anggaran rumah tangga penyelenggara atau satuan pendidikan yang bersangkutan.”
UU Sisdiknas Juga Mendukung
Legalitas bantuan pemerintah terhadap sekolah masyarakat juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Dalam Pasal 55 ayat (4) disebutkan:
“Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.”
Artinya, tidak ada larangan, bahkan justru mandat untuk memberikan dukungan. Pemerintah wajib memperlakukan lembaga pendidikan masyarakat secara adil dalam hal akses terhadap bantuan.
Klausul ini secara langsung mengafirmasi bahwa lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat tidak boleh diperlakukan diskriminatif dalam hal akses terhadap bantuan pemerintah.
Yang dimaksud sekolah berbasis masyarakat bukan semata-mata sekolah swasta. Bisa saja berupa lembaga pendidikan yang dikelola yayasan, atau bahkan sekolah negeri yang dalam pengelolaannya melibatkan partisipasi aktif warga—mulai dari operasional hingga pengembangan mutu.
Prinsip utamanya adalah peran serta masyarakat dalam menjalankan fungsi pendidikan. Jadi, status "negeri" atau "swasta" bukan satu-satunya tolok ukur legalitas bantuan pemerintah.
Isu keterbatasan bangku sekolah negeri tidak bisa diselesaikan dengan melarang bantuan untuk sekolah masyarakat. Sebaliknya, justru perlu kolaborasi antara negara dan masyarakat. Asal memenuhi prosedur, bantuan dari pemerintah kepada lembaga pendidikan masyarakat itu sah dan dilindungi undang-undang.
Yang terpenting, semua bentuk bantuan dikelola secara akuntabel demi memperluas akses pendidikan bagi seluruh anak bangsa. Karena pendidikan adalah hak semua orang, bukan hanya yang kebagian kursi di sekolah negeri.
Kata Pengamat
Pengamat Pendidikan dari Universitas PGRI Pontianak, Suherdiyanto, menilai bahwa pembangunan sekolah baru oleh pemerintah tidak seharusnya dipersoalkan selama prosesnya telah sesuai dengan aturan yang berlaku.
"Kalau selama membangun sekolah sudah sesuai dengan petunjuk teknis, telah dianalisis kebutuhannya, serta merupakan aspirasi masyarakat, maka seharusnya tidak ada persoalan," ujarnya.
Menurut pria yang juga menjabat selaku Sekretaris Umum (Sekum) PGRI Kalbar ini, kepala daerah maupun dinas pendidikan yang memiliki kewenangan untuk membangun sekolah, tidak perlu ragu, selama tahapan dan prosedurnya telah dilalui secara benar.
"Sepanjang tidak melanggar aturan, dan semuanya sudah clear, maka tidak ada masalah. Justru pemerintah harus berani berbuat lebih banyak dalam meningkatkan layanan pendidikan," tambahnya.
Namun ia mengingatkan, jika ada kebijakan yang akhirnya dipersoalkan, kemungkinan besar disebabkan adanya kelalaian dalam prosedur atau mekanisme. Untuk itu, kehati-hatian dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan ke depan menjadi penting.
Lebih lanjut, ia mengutip aturan perundang-undangan yang secara eksplisit membolehkan pemerintah maupun masyarakat menyelenggarakan satuan pendidikan di semua jenjang.
"Undang-undang memberikan ruang kepada pemerintah dan masyarakat untuk menyelenggarakan sekolah demi kepentingan pendidikan warga negara. Tidak ada pasal pun yang melarang adanya bantuan pemerintah untuk sekolah berbasis masyarakat," jelasnya. (Jau)
KALBARONLINE.com – Kesenjangan daya tampung pendidikan menengah atas masih jadi persoalan di banyak daerah, termasuk Kalimantan Barat. Setiap tahun, jumlah lulusan SMP terus meningkat, namun bangku SMA/SMK belum mampu mengimbangi lonjakan itu. Bahkan untuk wilayah seperti Kota Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya, Angka Partisipasi Sekolah (APS) jenjang SMA belum pernah menyentuh 100 persen.
Sebagaimana telah diamanatkan dalam konstitusi, hak atas pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia. Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.”
Tak hanya sebagai hak, pendidikan juga diposisikan sebagai kewajiban. Pasal 31 ayat (2) menegaskan bahwa “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dan pemerintah wajib membiayainya.” Dengan demikian, negara tidak hanya diperbolehkan, tetapi justru wajib hadir untuk menjamin akses pendidikan bagi seluruh warga, termasuk lewat dukungan terhadap lembaga pendidikan berbasis masyarakat.
Dengan kata lain, negara tidak hanya diperbolehkan hadir, melainkan memang harus hadir dalam menjamin akses pendidikan yang layak bagi setiap anak Indonesia—termasuk melalui dukungan terhadap sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Di tengah persoalan tersebut, muncul narasi liar yang menyebut bahwa pemerintah tidak boleh membantu pembangunan sekolah berbasis masyarakat karena dianggap menyalahi aturan, atau dikhawatirkan akan dipersoalkan aparat penegak hukum di kemudian hari. Padahal, jika mengacu pada regulasi resmi, justru sebaliknya—pemerintah sah membantu sekolah yang didirikan masyarakat, selama memenuhi ketentuan hukum.
Kekhawatiran itu pun tak lepas dari realitas di lapangan. Di tengah menurunnya kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum, tak jarang penegakan aturan dilakukan secara sewenang-wenang, sarat subjektivitas, dan tidak berpijak pada semangat regulasi yang utuh. Hal inilah yang memunculkan ketakutan berlebihan, bahkan ketika langkah pemerintah sebenarnya sesuai jalur hukum. Hingga muncul istilah yang mencerminkan ironi di lapangan, tak berbuat salah, berbuat justru tambah salah.
Diatur Jelas dalam PP 48/2008
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan secara tegas mengatur legalitas bantuan pemerintah kepada sekolah berbasis masyarakat. Pasal 34 ayat (5) menyatakan:
“Pemerintah, pemerintah daerah, pemangku kepentingan pendidikan, dan pihak asing dapat membantu pendanaan biaya investasi selain lahan untuk satuan dan/atau program pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan masyarakat.”
Artinya, negara justru didorong hadir dalam memperkuat infrastruktur pendidikan masyarakat. Bukan malah dilarang. Yang penting, bantuannya tidak untuk lahan dan harus taat prosedur.
Lebih lanjut, Pasal 51 ayat (6) dari regulasi yang sama menegaskan bahwa sekolah berbasis masyarakat bisa didanai dari berbagai sumber, di antaranya:
Semua pendanaan ini wajib dikelola secara transparan dan akuntabel, sebagaimana diatur dalam Pasal 78 ayat (1):
“Pengawasan penerimaan dan penggunaan dana satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar serta anggaran rumah tangga penyelenggara atau satuan pendidikan yang bersangkutan.”
UU Sisdiknas Juga Mendukung
Legalitas bantuan pemerintah terhadap sekolah masyarakat juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Dalam Pasal 55 ayat (4) disebutkan:
“Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.”
Artinya, tidak ada larangan, bahkan justru mandat untuk memberikan dukungan. Pemerintah wajib memperlakukan lembaga pendidikan masyarakat secara adil dalam hal akses terhadap bantuan.
Klausul ini secara langsung mengafirmasi bahwa lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat tidak boleh diperlakukan diskriminatif dalam hal akses terhadap bantuan pemerintah.
Yang dimaksud sekolah berbasis masyarakat bukan semata-mata sekolah swasta. Bisa saja berupa lembaga pendidikan yang dikelola yayasan, atau bahkan sekolah negeri yang dalam pengelolaannya melibatkan partisipasi aktif warga—mulai dari operasional hingga pengembangan mutu.
Prinsip utamanya adalah peran serta masyarakat dalam menjalankan fungsi pendidikan. Jadi, status "negeri" atau "swasta" bukan satu-satunya tolok ukur legalitas bantuan pemerintah.
Isu keterbatasan bangku sekolah negeri tidak bisa diselesaikan dengan melarang bantuan untuk sekolah masyarakat. Sebaliknya, justru perlu kolaborasi antara negara dan masyarakat. Asal memenuhi prosedur, bantuan dari pemerintah kepada lembaga pendidikan masyarakat itu sah dan dilindungi undang-undang.
Yang terpenting, semua bentuk bantuan dikelola secara akuntabel demi memperluas akses pendidikan bagi seluruh anak bangsa. Karena pendidikan adalah hak semua orang, bukan hanya yang kebagian kursi di sekolah negeri.
Kata Pengamat
Pengamat Pendidikan dari Universitas PGRI Pontianak, Suherdiyanto, menilai bahwa pembangunan sekolah baru oleh pemerintah tidak seharusnya dipersoalkan selama prosesnya telah sesuai dengan aturan yang berlaku.
"Kalau selama membangun sekolah sudah sesuai dengan petunjuk teknis, telah dianalisis kebutuhannya, serta merupakan aspirasi masyarakat, maka seharusnya tidak ada persoalan," ujarnya.
Menurut pria yang juga menjabat selaku Sekretaris Umum (Sekum) PGRI Kalbar ini, kepala daerah maupun dinas pendidikan yang memiliki kewenangan untuk membangun sekolah, tidak perlu ragu, selama tahapan dan prosedurnya telah dilalui secara benar.
"Sepanjang tidak melanggar aturan, dan semuanya sudah clear, maka tidak ada masalah. Justru pemerintah harus berani berbuat lebih banyak dalam meningkatkan layanan pendidikan," tambahnya.
Namun ia mengingatkan, jika ada kebijakan yang akhirnya dipersoalkan, kemungkinan besar disebabkan adanya kelalaian dalam prosedur atau mekanisme. Untuk itu, kehati-hatian dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan ke depan menjadi penting.
Lebih lanjut, ia mengutip aturan perundang-undangan yang secara eksplisit membolehkan pemerintah maupun masyarakat menyelenggarakan satuan pendidikan di semua jenjang.
"Undang-undang memberikan ruang kepada pemerintah dan masyarakat untuk menyelenggarakan sekolah demi kepentingan pendidikan warga negara. Tidak ada pasal pun yang melarang adanya bantuan pemerintah untuk sekolah berbasis masyarakat," jelasnya. (Jau)
Bayar Sekarang, Tahu Lebih Banyak
Masukkan nomor WhatsApp Anda untuk mendapatkan akses penuh ke berita premium ini