Nasional    

Ketika BPKP Kini Lebih Mirip Corong Jaksa Ketimbang Auditor Independen

Oleh : Jauhari Fatria
Senin, 18 Agustus 2025
WhatsApp Icon
Ukuran Font
Kecil Besar

KALBARONLINE.com – Di atas kertas, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) adalah auditor internal pemerintah. Tapi dalam praktiknya, BPKP justru makin sering disebut sebagai alat yang digunakan oleh aparat penegak hukum (APH), khususnya jaksa, untuk "menguatkan" dakwaan. Bukan dalam semangat mencari kebenaran, melainkan justru untuk memproduksi kesalahan.

Hal ini mengemuka dalam berbagai pernyataan tegas dari Saut Situmorang, mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Feri Amsari, pakar hukum tata negara, hingga Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Fauzi Amro.

APH Minta Audit, BPKP Sediakan “Total Lost”

Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Fauzi Amro, tidak ragu menyebut BPKP kini seringkali menjadi alat bagi APH untuk mengglorifikasi perkara. Meski begitu, Fauzi Amro tak secara spesifik menyebut APH yang dimaksud.

“Ketika audit globalnya tidak ada masalah, lalu diminta audit dengan tujuan khusus—biasanya itu permintaan APH. Dan hasil audit yang dikeluarkan luar biasa, total lost. Padahal bangunannya ada,” kata Fauzi.

Ia menegaskan bahwa hal ini tidak sejalan dengan tugas pokok dan fungsi BPKP sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 2 Tahun 2025. Dalam regulasi itu, BPKP ditegaskan sebagai auditor internal yang harus menjaga kemandirian pemerintah—notabene bukan sebagai alat pemidanaan.

“Saya minta BPKP pusat mengkoordinasikan BPKP provinsi agar kembali ke tupoksi. Jangan jadi alat APH,” tegasnya.

Kasus Tom Lembong: “Audit Tambahan” yang Jadi Alat Tuduhan

Contoh paling telanjang dari dugaan penyalahgunaan audit BPKP ini terjadi dalam kasus impor gula di Kementerian Perdagangan yang menyeret nama Thomas Trikasih Lembong. Mantan Menteri Perdagangan itu akhirnya dipenjara, dan salah satu dasar hukum yang digunakan adalah audit kerugian negara versi BPKP.

Namun dalam putusannya, majelis hakim justru menolak sebagian besar hitungan BPKP.

“Hakim menyatakan kerugian negara bukan Rp578 miliar seperti yang diklaim BPKP dan jaksa, tapi hanya Rp194 miliar. Bahkan hakim menegaskan kerugian negara tidak boleh hanya berupa potensi—harus nyata,” ujar kuasa hukum Tom Lembong, Zaid Mushafi.

Tim hukum Tom bahkan sudah melaporkan dugaan ketidaksesuaian prosedur audit ini ke Ombudsman RI, serta menyurati langsung pimpinan BPKP sebagai bentuk koreksi agar ke depan audit tak dipakai untuk “menggiring” vonis.

Praktik yang menimpa Tom Lembong kabarnya banyak terjadi di daerah. Di mana, APH dalam hal ini kejaksaan memang kerap menggunakan auditor dari BPKP untuk menghitung kerugian dalam perkara tertentu dan tidak transparan. Sehingga rentan digunakan untuk membangun narasi perkara, bukan keadilan substantif.

Saut Situmorang: Kalau Mau Audit Tukang Tambal Ban, Jangan Sebar Paku Dulu

Mantan Komisioner KPK sekaligus pegiat antikorupsi, Saut Situmorang, setuju jika harus dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja auditor pemerintah dalam penanganan kasus-kasus dugaan korupsi.

“Pada dasarnya dia (BPKP) itu auditor pemerintah. Kalau tidak hati-hati, politisasi bisa semakin kuat. Itu terbukti di kasus Tom Lembong, BPK tidak menemukan (pelanggaran), makanya kemarin dilaporkan ke Ombudsman,” ujar Saut dalam keterangannya.

Menurut Saut, proses audit tidak semata soal hitungan angka, melainkan memiliki filosofi efisiensi dan efektivitas. Ia mencontohkan, dalam analoginya, audit tidak boleh dilakukan dengan logika “menebar paku lalu menambal ban.” Artinya, auditor harus objektif dan tidak menciptakan masalah baru untuk sekadar membenarkan proses audit.

Lebih jauh, ia menegaskan perlunya memastikan apakah auditor sudah bekerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi), standar operasional prosedur (SOP), serta pedoman yang berlaku.

“Terlebih kalau itu dikaitkan dengan kasus korupsi atau kasus-kasus yang menyangkut ekonomi, pertumbuhan daerah, ya memang harus di-challenge. Jangan dibiarkan juga kalau menyimpang. Kasus Tom Lembong itu kan sebenarnya ‘nabokin’ auditor,” tambahnya.

Saut juga menyoroti potensi kesalahan hitung auditor BPKP yang digunakan jaksa dalam sejumlah kasus. Menurutnya, jika terdapat perbedaan hasil audit, maka integritas hasil keduanya harus diuji.

“Tinggal dilihat nanti, dari dua versi auditor mana yang lebih berintegritas. Nanti ada adjustment (penyesuaian) dengan akal sehat, naluri dan logika, orang hukum kan paham itu. Biar nanti di-callenge aja,” jelasnya.

Lebih lanjut, Saut menekankan prinsip utama dalam hal pemberantasan korupsi, yakni diantaranya adalah transparansi, akuntabilitas, bebas dari konflik kepentingan, serta perlindungan terhadap pegiat antikorupsi.

“Kalau orang yang mau memberantas korupsi malah jadi musuh negara, itu kacau namanya,” tegasnya.

Feri Amsari: Aneh dan Bisa Jadi Jaksa yang Harus Diselidiki

Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari, menilai dari sisi kelembagaan, penggunaan BPKP sebagai rujukan utama oleh jaksa—saat BPK menyatakan tidak ada pelanggaran—adalah tindakan janggal.

“Secara kelembagaan, BPK itu adalah institusi negara yang lebih tinggi, yang sifat auditornya jauh lebih serius. Oleh karena itu agak janggal, ketika BPKP yang sifatnya auditor internal pemerintahan kemudian berkata lain, dan jaksa menggunakan BPKP,” kata Feri.

Menurutnya, perbedaan pandangan antara BPK dan BPKP dalam suatu perkara mestinya tidak serta-merta dijadikan dalih memaksakan pemidanaan dan dijadikan pembenar. Justru hal itu menunjukkan bahwa validitas dugaan tindak pidana belum sepenuhnya kokoh secara hukum, dan perlu dikonfirmasi dengan serius dan lebih hati-hati.

“Apalagi yang berbeda itu adalah lembaga negaranya. Pada titik itu, jaksa seharusnya lebih memahami posisi kelembagaan,” kata Feri Amsari.

Feri bahkan menyebut, sikap jaksa yang tetap bersikeras menggunakan audit BPKP dalam kondisi seperti itu dapat menjadi objek penyelidikan etik maupun hukum, karena berpotensi menyalahi standar profesional penegakan hukum dan masuk dalam kategori penyalahgunaan kewenangan.

“Menurut saya aneh juga kalau kemudian coba-coba dicari hal-hal yang tidak tepat,” lanjutnya.

Meski demikian, Feri mengakui bahwa jaksa memang memiliki ruang untuk membuktikan suatu perbuatan sebagai tindak pidana. Namun ia menilai, sikap yang tergesa dan dipaksakan seperti itu justru sangat janggal.

“Sehingga pada titik tertentu bukan tidak mungkin terhadap jaksanya dilakukan upaya penyelidikan, apakah dia sudah memenuhi standar untuk menentukan sebuah perkara dianggap tindak pidana atau tidak. Dan sekali lagi, tentu saja tidak boleh mencari-cari kesalahan untuk kemudian seseorang dipidanakan,” pungkasnya. (Tim)

Artikel Selanjutnya
Kapal Bermuatan 23 Ton Kopra Karam di Perairan Padang Tikar
Senin, 18 Agustus 2025
Artikel Sebelumnya
Humas Polres Sekadau Raih Penghargaan Bidang Kehumasan
Senin, 18 Agustus 2025

Berita terkait