Shopping cart
Your cart empty!
Terms of use dolor sit amet consectetur, adipisicing elit. Recusandae provident ullam aperiam quo ad non corrupti sit vel quam repellat ipsa quod sed, repellendus adipisci, ducimus ea modi odio assumenda.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Do you agree to our terms? Sign up
|
|
Oleh : Jauhari Fatria |
| Jumat, 19 Oktober 2018 |
Oleh : Nehru Asyikin
Mahasiswa
Pascasarjana Program Magister Ilmu Hukum UII Yogyakarta
KalbarOnline, Opini –
Pasca diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 tentang tata cara
pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana korupsi tentu menjadi berita baik bagi
masyarakat.
Sebab, dalam isi PP tersebut, Pasal 17 ditegaskan bahwa
dalam hal hasil penilaian disepakati untuk memberikan penghargaan berupa premi,
besaran premi diberikan sebesar 2%o (dua permil) dari jumlah kerugian keuangan
negara yang dapat dikembalikan kepada negara.
Besaran premi yang diberikan paling banyak Rp200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah). Dalam hal tindak pidana korupsi berupa suap, besaran
premi diberikan sebesar 2%o (dua permil) dari nilai uang suap dan/atau uang
dari hasil lelang barang rampasan. Besaran premi yang diberikan paling banyak
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Akan tetapi, pada Peraturan Pemerintah terbaru ini ada
beberapa subjek hukum yang dihilangkan di beberapa pasalnya, hal ini bisa
dilihat pada PP No 43 tahun 2018 Pasal 1 ayat (2), dijelaskan bahwa masyarakat
adalah orang perseorangan atau kelompok orang.
Bandingkan dengan PP No 71 Tahun 2000, subjek hukum yang
tertulis dalam pasal 1 ayat (1) adalah, “peran serta masyarakat adalah peran
aktif perorangan, Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi”. Pada PP yang lama,
pasalnya mencantumkan Organisasi Masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), namun pada Peraturan Pemerintah (PP) terbaru ini peran keduanya
dihapuskan.
Tentu saja PP ini menimbulkan pertanyaan, mengapa subjek
hukum seperti Organisasi Masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tidak
dicantumkan pada Peraturan Pemerintah yang baru saja diterbitkan itu. Sehingga
timbul asumsi, apakah masyarakat dan kelompok orang yang tertulis pada Pasal 1
ayat (2) PP Nomor 43 Tahun 2018 akan mampu mengatasi praktik korupsi di tanah
air, melihat bahwa korupsi bukan hanya musuh KPK, tetapi musuh seluruh rakyat
Indonesia, baik itu orang perseorangan, kelompok orang, dan organisasi
masyarakat beserta Lembaga Swadaya Masyarakat.
Dengan demikian, perlu kiranya di analisis kelebihan dan
kelemahan dari PP No. 43 Tahun 2018 di atas.
Kelebihan dari PP No
43 Tahun 2018
Berdasarkan Pasal 5 Ayat 2 UUD Negara Republik Indonesia
1945, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang
sebagaimana mestinya”. Sebagaimana telah diterbitkannya PP Nomor 43 Tahun 2018
berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagai peraturan pelaksana dari undang-undang ini.
Meskipun kehadiran KPK dianggap sudah efektif menangkap para
pelaku korupsi setelah lembaga ini dibentuk, namun tidak pula dipungkiri bahwa
kejahatan korupsi pun semakin banyak dan masif, hal ini dapat dilihat dari
berita yang sempat gempar pada bulan September satu bulan lalu, yaitu sebanyak
41 dari 45 anggota DPRD kota Malang yang ditangkap oleh KPK.
Dengan hadirnya PP ini, paling tidak aturan ini dapat
menjadi motivasi masyarakat untuk ikut serta dalam membantu pemberantasan
korupsi dilingkungan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah yang selama ini
telah meradang di Indonesia.
Maka dari itu, penulis mencoba menganalisis kelebihannya.
Pertama, PP No. 43 Tahun 2018 memberikan penghargaan kepada masyarakat berupa
piagam dan premi, apabila ada orang atau kelompok yang melaporkan dugaan
korupsi kepada aparat penegak hukum, meskipun sudah sejak lama pemerintah
mengajak keterlibatan masyarakat agar dapat memaksimalkan kinerja KPK, dimulai
dari PP No.71 Tahun 2000.
Namun, penghargaan berupa besaran/nominal premi baru di
tuliskan pada PP No 43 Tahun 2018, hal ini akan menjadi dorongan masyarakat
untuk aktif dan berani dalam pemberantasan korupsi mengingat premi yang
diberikan cukup besar, tetapi bukan hal yang mahal untuk memberantas korupsi.
Kedua, membuka ruang bagi orang perseorangan atau kelompok
untuk berpartisipasi dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi dilingkungannya,
baik di pemerintahan daerah maupun pusat, yang selama ini segala upaya telah
dilakukan agar negara ini lepas dari praktik-praktik kejahatan korupsi yang
merugikan keuangan negara.
Ketiga, Membantu Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
menjalankan fungsinya sebagai suatu lembaga yang melakukan pemberantasan
korupsi serta memonitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara (Lihat
Pasal 6 UU KPK), sebab sebagaimana kita ketahui bahwa lembaga KPK berkedudukan
berada di ibu kota yang jauh dari jangkauan daerah-daerah, sehingga
pengawasannya cukup terbatas maka diperlukan peran serta masyarakat yang ikut
mengawasai jalannya pemerintahan terutama di daerah-daerah.
Kelemahan dari PP No
43 Tahun 2018
Di dalam PP No 43 Tahun 2018 tidak dituliskan secara tegas
mengenai organisasi masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai subjek
hukum yang dapat melaporkan suatu tindak pidana korupsi, yang sebelumnya pada
PP No 17 Tahun 2000 terdapat frasa “organisasi masyarakat dan Lembaga Swadaya
Masyarakat” dituliskan pada pasal-pasalnya.
Secara definisi dari keduanya, kelompok orang dan Organisasi
masyarakat itu berbeda, sebab Organisasi Masyarakat dan LSM memiliki Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dan terdaftar pada Kementrian Hukum dan HAM,
sedangkan Kelompok orang adalah sekumpulan orang yang memiliki identitas sama,
baik itu adat istiadat, aliran kepercayaan, maupun profesi. Kelompok orang juga
tidak memiliki AD/ART seperti Ormas dan LSM, kecuali yang dimaksud kelompok
orang termasuk di dalamnya adalah Ormas dan LSM.
Sebenarnya peran Ormas dan LSM (civil society) atau biasa
disebut sebagai masyarakat madani, tetap harus dicantumkan pada PP No 43 Tahun
2018, dan juga perannya harus pula dilibatkan.
Sebab, kemandirian yang dimilikinya itu bebas dari kontrol
pemerintah. Sebagai organisasi, civil society membuka ruang publik untuk
membuka selebar-lebarnya aspirasi masyarakat untuk mengkritik pejabat publik
yang korup. Sebagai penyeimbang pemerintah, muncul harapan untuk menata dan
menciptakan civil society yang mandiri dan otonom serta kritis dalam mengawal
sistem pemerintahan yang dilaksanakan oleh penguasa.
Tawaran Saran
Di Indonesia terdapat berbagai organisasi civil society yang
tersebar di wilayah-wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
bermacam-macam program yang telah dilakukan oleh mereka. Kebanyakan visi dan
misinya ialah agar dapat menyebarkan kebaikan bersama. Atau yang biasa kita
lihat, seperti membuka sekolah gratis.
Kegiatan semacam ini dapat pula sebagai pendidikan usia dini
mengenai pengajaran dan pemahaman mengenai Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
sehingga sedikit demi sedikit prilaku korupsi dapat dihindari sedini mungkin
melalui pendidikan di sekolah-sekolah.
Maka dari itu, cita-cita bangsa harus pula sejalan dengan
perkembangan zaman dan terus menyesuaikan agar negara lebih luwes, setiap
aturan yang di buat pemerintah tidak hanya untuk mengatur masyarakat tetapi
juga mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Penguatan arah demokratisasi terhadap infrasturkur politik
(outside) seperti NGO (Non Goverment Organization) LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat, Kelompok-kelompok ideologis) tidak bertentangan dengan Pancasila,
Masyarakat Eknomi, Interest Politik bahkan Partai Politik, dalam hal ini satu
visi dan misi dengan pemerintah untuk membangun Indonesia, sehingga campur
tangan civil soicety (Masyarakat Madani) sejalan dengan apa yang dicita-citakan.
Maka negara harus memberikan pengakuan terhadap
Kelompok-kelompok Masyarakat Madani agar seluruh masyarakat Indonesia menjadi
Masyarakat Madani yang bersinergi dengan ideologi pancasila demi kebaikan
bersama dan membebaskan bangsa ini dari prilaku korupsi. (*)
Oleh : Nehru Asyikin
Mahasiswa
Pascasarjana Program Magister Ilmu Hukum UII Yogyakarta
KalbarOnline, Opini –
Pasca diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 tentang tata cara
pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana korupsi tentu menjadi berita baik bagi
masyarakat.
Sebab, dalam isi PP tersebut, Pasal 17 ditegaskan bahwa
dalam hal hasil penilaian disepakati untuk memberikan penghargaan berupa premi,
besaran premi diberikan sebesar 2%o (dua permil) dari jumlah kerugian keuangan
negara yang dapat dikembalikan kepada negara.
Besaran premi yang diberikan paling banyak Rp200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah). Dalam hal tindak pidana korupsi berupa suap, besaran
premi diberikan sebesar 2%o (dua permil) dari nilai uang suap dan/atau uang
dari hasil lelang barang rampasan. Besaran premi yang diberikan paling banyak
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Akan tetapi, pada Peraturan Pemerintah terbaru ini ada
beberapa subjek hukum yang dihilangkan di beberapa pasalnya, hal ini bisa
dilihat pada PP No 43 tahun 2018 Pasal 1 ayat (2), dijelaskan bahwa masyarakat
adalah orang perseorangan atau kelompok orang.
Bandingkan dengan PP No 71 Tahun 2000, subjek hukum yang
tertulis dalam pasal 1 ayat (1) adalah, “peran serta masyarakat adalah peran
aktif perorangan, Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi”. Pada PP yang lama,
pasalnya mencantumkan Organisasi Masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), namun pada Peraturan Pemerintah (PP) terbaru ini peran keduanya
dihapuskan.
Tentu saja PP ini menimbulkan pertanyaan, mengapa subjek
hukum seperti Organisasi Masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tidak
dicantumkan pada Peraturan Pemerintah yang baru saja diterbitkan itu. Sehingga
timbul asumsi, apakah masyarakat dan kelompok orang yang tertulis pada Pasal 1
ayat (2) PP Nomor 43 Tahun 2018 akan mampu mengatasi praktik korupsi di tanah
air, melihat bahwa korupsi bukan hanya musuh KPK, tetapi musuh seluruh rakyat
Indonesia, baik itu orang perseorangan, kelompok orang, dan organisasi
masyarakat beserta Lembaga Swadaya Masyarakat.
Dengan demikian, perlu kiranya di analisis kelebihan dan
kelemahan dari PP No. 43 Tahun 2018 di atas.
Kelebihan dari PP No
43 Tahun 2018
Berdasarkan Pasal 5 Ayat 2 UUD Negara Republik Indonesia
1945, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang
sebagaimana mestinya”. Sebagaimana telah diterbitkannya PP Nomor 43 Tahun 2018
berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagai peraturan pelaksana dari undang-undang ini.
Meskipun kehadiran KPK dianggap sudah efektif menangkap para
pelaku korupsi setelah lembaga ini dibentuk, namun tidak pula dipungkiri bahwa
kejahatan korupsi pun semakin banyak dan masif, hal ini dapat dilihat dari
berita yang sempat gempar pada bulan September satu bulan lalu, yaitu sebanyak
41 dari 45 anggota DPRD kota Malang yang ditangkap oleh KPK.
Dengan hadirnya PP ini, paling tidak aturan ini dapat
menjadi motivasi masyarakat untuk ikut serta dalam membantu pemberantasan
korupsi dilingkungan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah yang selama ini
telah meradang di Indonesia.
Maka dari itu, penulis mencoba menganalisis kelebihannya.
Pertama, PP No. 43 Tahun 2018 memberikan penghargaan kepada masyarakat berupa
piagam dan premi, apabila ada orang atau kelompok yang melaporkan dugaan
korupsi kepada aparat penegak hukum, meskipun sudah sejak lama pemerintah
mengajak keterlibatan masyarakat agar dapat memaksimalkan kinerja KPK, dimulai
dari PP No.71 Tahun 2000.
Namun, penghargaan berupa besaran/nominal premi baru di
tuliskan pada PP No 43 Tahun 2018, hal ini akan menjadi dorongan masyarakat
untuk aktif dan berani dalam pemberantasan korupsi mengingat premi yang
diberikan cukup besar, tetapi bukan hal yang mahal untuk memberantas korupsi.
Kedua, membuka ruang bagi orang perseorangan atau kelompok
untuk berpartisipasi dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi dilingkungannya,
baik di pemerintahan daerah maupun pusat, yang selama ini segala upaya telah
dilakukan agar negara ini lepas dari praktik-praktik kejahatan korupsi yang
merugikan keuangan negara.
Ketiga, Membantu Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
menjalankan fungsinya sebagai suatu lembaga yang melakukan pemberantasan
korupsi serta memonitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara (Lihat
Pasal 6 UU KPK), sebab sebagaimana kita ketahui bahwa lembaga KPK berkedudukan
berada di ibu kota yang jauh dari jangkauan daerah-daerah, sehingga
pengawasannya cukup terbatas maka diperlukan peran serta masyarakat yang ikut
mengawasai jalannya pemerintahan terutama di daerah-daerah.
Kelemahan dari PP No
43 Tahun 2018
Di dalam PP No 43 Tahun 2018 tidak dituliskan secara tegas
mengenai organisasi masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai subjek
hukum yang dapat melaporkan suatu tindak pidana korupsi, yang sebelumnya pada
PP No 17 Tahun 2000 terdapat frasa “organisasi masyarakat dan Lembaga Swadaya
Masyarakat” dituliskan pada pasal-pasalnya.
Secara definisi dari keduanya, kelompok orang dan Organisasi
masyarakat itu berbeda, sebab Organisasi Masyarakat dan LSM memiliki Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dan terdaftar pada Kementrian Hukum dan HAM,
sedangkan Kelompok orang adalah sekumpulan orang yang memiliki identitas sama,
baik itu adat istiadat, aliran kepercayaan, maupun profesi. Kelompok orang juga
tidak memiliki AD/ART seperti Ormas dan LSM, kecuali yang dimaksud kelompok
orang termasuk di dalamnya adalah Ormas dan LSM.
Sebenarnya peran Ormas dan LSM (civil society) atau biasa
disebut sebagai masyarakat madani, tetap harus dicantumkan pada PP No 43 Tahun
2018, dan juga perannya harus pula dilibatkan.
Sebab, kemandirian yang dimilikinya itu bebas dari kontrol
pemerintah. Sebagai organisasi, civil society membuka ruang publik untuk
membuka selebar-lebarnya aspirasi masyarakat untuk mengkritik pejabat publik
yang korup. Sebagai penyeimbang pemerintah, muncul harapan untuk menata dan
menciptakan civil society yang mandiri dan otonom serta kritis dalam mengawal
sistem pemerintahan yang dilaksanakan oleh penguasa.
Tawaran Saran
Di Indonesia terdapat berbagai organisasi civil society yang
tersebar di wilayah-wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
bermacam-macam program yang telah dilakukan oleh mereka. Kebanyakan visi dan
misinya ialah agar dapat menyebarkan kebaikan bersama. Atau yang biasa kita
lihat, seperti membuka sekolah gratis.
Kegiatan semacam ini dapat pula sebagai pendidikan usia dini
mengenai pengajaran dan pemahaman mengenai Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
sehingga sedikit demi sedikit prilaku korupsi dapat dihindari sedini mungkin
melalui pendidikan di sekolah-sekolah.
Maka dari itu, cita-cita bangsa harus pula sejalan dengan
perkembangan zaman dan terus menyesuaikan agar negara lebih luwes, setiap
aturan yang di buat pemerintah tidak hanya untuk mengatur masyarakat tetapi
juga mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Penguatan arah demokratisasi terhadap infrasturkur politik
(outside) seperti NGO (Non Goverment Organization) LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat, Kelompok-kelompok ideologis) tidak bertentangan dengan Pancasila,
Masyarakat Eknomi, Interest Politik bahkan Partai Politik, dalam hal ini satu
visi dan misi dengan pemerintah untuk membangun Indonesia, sehingga campur
tangan civil soicety (Masyarakat Madani) sejalan dengan apa yang dicita-citakan.
Maka negara harus memberikan pengakuan terhadap
Kelompok-kelompok Masyarakat Madani agar seluruh masyarakat Indonesia menjadi
Masyarakat Madani yang bersinergi dengan ideologi pancasila demi kebaikan
bersama dan membebaskan bangsa ini dari prilaku korupsi. (*)
Bayar Sekarang, Tahu Lebih Banyak
Masukkan nomor WhatsApp Anda untuk mendapatkan akses penuh ke berita premium ini