Pontianak    

Sudah Saatnya Saprahan Miliki Standarisasi

Oleh : Jauhari Fatria
Jumat, 19 Oktober 2018
WhatsApp Icon
Ukuran Font
Kecil Besar

30 Peserta Meriahkan

Festival Saprahan

KalbarOnline, Pontianak

Sebanyak 30 kelompok peserta tampil menyajikan hidangan saprahan dalam

Festival Saprahan yang digelar TP PKK Kota Pontianak di Pontianak Convention

Center, Rabu (17/10/2018) lalu.

Seni menyajikan hidangan ini digelar dalam rangka

memeriahkan Hari Jadi Kota Pontianak ke-247. Satu persatu peserta dengan

memakai pakaian khas Melayu Pontianak, baju kurung, memasuki area yang sudah

disiapkan panitia. Mereka membawa berbagai hidangan dan menatanya di atas

lantai yang beralaskan kain.

Festival Saprahan dalam rangka melestarikan budaya khas Pontianak
Festival Saprahan dalam rangka melestarikan budaya khas Pontianak (Foto: jim)

Pelaksana tugas (Plt) Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono

mengatakan, Festival Saprahan ini sudah selayaknya memiliki standarisasi, baik

cara penyajiannya, penampilan penyaji saprahan, peralatan makannya, hingga

makanan yang dihidangkan.

“Kita akan menetapkan SOP saprahan supaya memiliki standar.

Misalnya jenis makanan yang wajib dihidangkan, makanan tambahan, pakaian

pembawa saprahan dan sebagainya,” ujarnya.

Gubernur Kalbar, Sutarmidji di Festival Saprahan Hari Jadi Pontianak ke-247
Gubernur Kalbar, Sutarmidji saat hendak menyantap hidangan Saprahan yang disajikan peserta lomba Festival Saprahan peringatan Hari Jadi Pontianak ke-247 (Foto: Fat)

Ia menilai, dari tampilan dan rasa makanan yang disajikan

oleh peserta sudah semakin baik. Sebagaimana diketahui, paceri nanas yang juga

menjadi hidangan dalam saprahan, telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak

Benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ke depan, pihaknya berencana

mengusulkan sambal Haji Dolah sebagai warisan budaya tak benda menyusul paceri

nanas.

“Ini merupakan salah satu upaya kita dalam melestarikan budaya

khas Pontianak,” sebut Edi.

Meskipun budaya saprahan secara umum juga ada di daerah lain

di wilayah Kalbar, namun Edi menegaskan, ada beberapa perbedaan dengan Saprahan

Melayu Pontianak.

“Secara umum sebagian hampir sama tetapi ada beberapa

perbedaan misalnya cara menghidangkannya, makanannya maupun penampilan pembawa

saprahan,” tuturnya.

Edi berharap Festival Saprahan yang rutin digelar setiap

tahun ini bisa memberikan edukasi kepada masyarakat terutama generasi muda

sehingga mereka bisa ikut melestarikan budaya saprahan ini.

Sementara Gubernur Kalbar, Sutarmidji menuturkan, saprahan

sudah terdaftar sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kemendikbud. Selain

saprahan, dirinya juga menyerahkan empat sertifikat budaya yang telah

ditetapkan sebagai warisan tak benda. Diantaranya, paceri nanas, sayok keladi,

kain tenun corak insang dan arakan pengantin.

“Kuliner ini menjadi satu pilihan wisata di satu daerah maka

kita harus melindungi hasil karya, hasil cipta kita agar tidak diklaim oleh

orang lain,” tegasnya.

Mantan Wali Kota Pontianak dua periode ini meminta saprahan

dan arakan pengantin harus terus dilestarikan. Selain itu, budaya tersebut

sudah semestinya memiliki standar yang baku tentang bagaimana tata cara melaksanakannya.

“Sehingga pakemnya atau SOP harus betul-betul disusun dengan

baik. Terus dilestarikan bahkan bisa se-Kalbar, atau dilaksanakan tingkat

nasional sehingga lombanya se-Indonesia,” katanya.

Plt Ketua TP PKK Kota Pontianak, Yanieta Arbiastuti menjelaskan,

peserta Festival Saprahan ini berusia maksimal 40 tahun.

“Ini dimaksudkan supaya kaum muda lebih paham dan mengenal

serta melestarikan nilai-nilai budaya makan saprahan Kota Pontianak,” jelasnya.

Untuk kriteria penilaian, kata dia, selain rasa makanan yang

dihidangkan, kekompakkan, penampilan peserta dan lainnya juga menjadi aspek

penilaian dewan juri. Dengan festival yang diikuti kader-kader PKK se-Kota

Pontianak ini, dirinya berharap para peserta memahami dan mengetahui bagaimana

penyajian saprahan yang sesuai dengan adat-istiadat Melayu Pontianak.

“Harapan kami generasi muda tetap bisa melestarikan budaya

makan saprahan,” pungkasnya.

Dari 30 kelompok peserta yang berasal dari 29 kelurahan,

Kelurahan Benua Melayu Laut berhasil merebut juara pertama. Disusul juara kedua

dari Kelurahan Darat Sekip dan ketiga Kelurahan Saigon. Masing-masing pemenang

mendapatkan hadiah berupa trophy dan uang tunai.

Makan Saprahan merupakan adat istiadat budaya Melayu.

Berasal dari kata ‘Saprah’ yang artinya berhampar, yakni budaya makan bersama

dengan cara duduk lesehan atau bersila di atas lantai secara berkelompok yang

terdiri dari enam orang dalam satu kelompoknya.

Dalam makan Saprahan, semua hidangan makanan disusun secara

teratur di atas kain saprah. Sedangkan peralatan dan perlengkapannya mencakup

kain Saprahan, piring makan, kobokan beserta serbet, mangkok nasi, mangkok lauk

pauk, sendok nasi dan lauk serta gelas minuman.

Untuk menu hidangan diantaranya, nasi putih atau nasi

kebuli, semur daging, sayur dalca, sayur paceri nanas atau terong, selada, acar

telur, sambal bawang dan sebagainya. Kemudian untuk minuman yang disajikan

adalah air serbat berwarna merah. (jim)

Artikel Selanjutnya
Bangun Karakter Bangsa, Satgas TMMD Kodim 1205/Stg Tinggal Bersama Warga
Jumat, 19 Oktober 2018
Artikel Sebelumnya
Garuda Cyber Indonesia Bagikan 1000 Website Gratis Untuk Kampus
Jumat, 19 Oktober 2018

Berita terkait