Oleh: Andi Ahmadi (Konsultan Sekolah Literasi Indonesia-Dompet Dhuafa Pendidikan)
“Good morning students!” suara Bu Niar memecah keheningan kelas di pagi itu.
Seperti biasa, pagi itu Bu Niar menjadi lakon tunggal di sebuah petak kecil berdinding papan dan beratapkan seng. Orang menyebutnya sebagai sekolah. Meskipun kondisinya tak seperti sekolah pada umumnya. Hanya ada dua petak kecil di sekolah tersebut. Satu petak untuk kelas bawah, sepetak lagi untuk kelas atas. Mengajar kelas rangkap sudah menjadi makanannya sehari-hari.
Sekolah Bu Niar terletak di sebuah dusun kecil bernama Nunusan. Sebuah dusun kecil di Desa Rantau Langsat, Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Dusun ini terpisah cukup jauh dari desa induknya. Jarak Desa Rantau Langsat dari kecamatan pun juga sangat jauh, melewati jalan tanah kuning yang licin, membelah barisan pohon sawit dan juga belukar.
Bu Niar sebenarnya bukanlah warga Dusun Nunusan. Ia didatangkan dari desa induk untuk mengajar di kelas jauh dari SD yang ada di Desa Rantau Langsat. Tak banyak orang yang bersedia mengajar di sekolah tersebut. Medan tempuh yang sulit dan letak dusun yang terpencil menjadi alasan utama.
Hanya ada satu jalur menuju dusun Nunusan, yakni jalur sungai. Perjalanan hanya bisa ditempuh dengan perahu mesin menyusuri Sungai Gansal, salah satu sungai besar di Indragiri Hulu. Jika air sedang tinggi, perjalanan bisa ditempuh dalam waktu 1-1,5 jam. Tetapi saat musim kemarau, ketika debit air sedang berkurang, maka dibutuhkan waktu sekitar 4-5 jam untuk sampai ke dusun tersebut.
Selain jaraknya yang cukup jauh, dusun ini juga sangat jauh dari sentuhan pembangunan. Hanya ada 17 kepala keluarga yang mendiami. Tak ada listrik yang menerangi, apalagi sinyal telekomunikasi. Aktivitas mandi, bersuci, mencuci, hingga buang hajat pribadi, dilakukan di tepian sungai. Dan saat gelap mulai menyelimuti, seketika dusun ini menjelma menjadi sebuah kampung mati.
Kondisi inilah yang menyebabkan orang enggan mengajar di SD Filial Rantau Langsat. Beberapa kali ada yang mencoba, tapi tak bertahan lama. Kini tinggal dua guru yang bertahan, salah satunya adalah Bu Niar. Sudah enam tahun ia mengabdi di sana. Meninggalkan keluarga dan juga hiruk pikuk sosial media, demi mengabdi untuk negara, meski gajinya tak seberapa. Saat berkunjung ke sana beberapa hari yang lalu, Alhamdulillah saya berkesempatan bertemu dengannya.
Bu Niar adalah guru muda dengan semangat membaja. Usianya baru di bilangan dua puluh dua, tapi sikapnya dalam mengambil keputusan sangatlah dewasa. Meski hanya lulusan SMK, gairah mengabdinya tak kalah dengan mereka yang berstatus sarjana. Atas dasar itulah Dompet Dhuafa Riau memberinya beasiswa lanjut studi di Universitas Terbuka.
Kondisi dusun yang kurang ideal memaksa Bu Niar tidak bisa setiap waktu ada di Nunusan. Ada tanggung jawab lain yang juga harus ia tunaikan, baik tanggung jawab sebagai anak atapun tanggung jawab sebagai mahasiswa. Untuk menyiasatinya, Bu Niar dan satu guru lainnya, Bu Hayati, membagi jadwal mengajarnya. Bu Niar dua minggu pertama, Bu Hayati dua minggu berikutnya. Situasi seperti ini berjalan rutin setiap bulannya.
Akibat pembagian jadwal tersebut, otomatis hanya ada satu guru di sekolah tiap harinya. Kepala sekolah hanya berkunjung sesekali, karena ia harus mengurus sekolah induk dan beberapa sekolah filial lainnya. Bisa dibayangkan betapa rumitnya pekerjaan Bu Niar. Menangani murid satu kelas saja tidaklah mudah, apalagi satu sekolah. Tapi tentu saja ia tak menyerah.
Dan Alhamdulillah, dengan adanya program pendampingan dari Sekolah Literasi Indonesia yang dimulai sejak 2017 lalu, tugas Bu Niar bisa sedikit terbantu.
Tak ada perjuangan tanpa adanya pengorbanan. Itulah yang Bu Niar-dan juga Bu Hayati-rasakan. Dengan gaji yang hanya 800 ribu perbulan, gajinya nyaris habis hanya untuk biaya perjalanan Rantau Langsat-Nunusan. Biaya sewa sampan berkisar 350-400 ribu untuk sekali jalan.
Jika sebulan dua kali menyeberang (PP), maka tidak ada sisa untuk membeli kebutuhan. Untung saja pemilik sampan memberinya sedikit keringanan, sebagai balasan untuk tugas mulia yang ia lakukan.
Bu Niar telah mengajarkan kepada kita tentang ketulusan hati, bahwa menjadi guru adalah soal panggilan hati. Ia tak melulu soal materi. Bukan pula soal berapa rupiah yang masuk ke rekening pribadi. Bagi mereka yang niatnya tulus mengabdi, masa depan anak-anak jauh lebih penting ketimbang angka-angka yang kelak tak dibawa mati.
Selamat Hari Guru Nasional.
Comment