Shopping cart
Your cart empty!
Terms of use dolor sit amet consectetur, adipisicing elit. Recusandae provident ullam aperiam quo ad non corrupti sit vel quam repellat ipsa quod sed, repellendus adipisci, ducimus ea modi odio assumenda.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Do you agree to our terms? Sign up
|
|
Oleh : Jauhari Fatria |
| Kamis, 06 Desember 2018 |
Oleh:
Andi Ahmadi (Konsultan Sekolah Literasi Indonesia-Dompet Dhuafa Pendidikan)
“Good
morning students!” suara Bu Niar memecah keheningan kelas di pagi itu.
Seperti biasa, pagi itu Bu Niar menjadi
lakon tunggal di sebuah petak kecil berdinding papan dan beratapkan seng. Orang
menyebutnya sebagai sekolah. Meskipun kondisinya tak seperti sekolah pada
umumnya. Hanya ada dua petak kecil di sekolah tersebut. Satu petak untuk kelas
bawah, sepetak lagi untuk kelas atas. Mengajar kelas rangkap sudah menjadi
makanannya sehari-hari.
Sekolah Bu Niar terletak di sebuah dusun
kecil bernama Nunusan. Sebuah dusun kecil di Desa Rantau Langsat, Kabupaten
Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Dusun ini terpisah cukup jauh dari desa
induknya. Jarak Desa Rantau Langsat dari kecamatan pun juga sangat jauh,
melewati jalan tanah kuning yang licin, membelah barisan pohon sawit dan juga
belukar.
Bu Niar sebenarnya bukanlah warga Dusun
Nunusan. Ia didatangkan dari desa induk untuk mengajar di kelas jauh dari SD
yang ada di Desa Rantau Langsat. Tak banyak orang yang bersedia mengajar di
sekolah tersebut. Medan tempuh yang sulit dan letak dusun yang terpencil
menjadi alasan utama.
Hanya ada satu jalur menuju dusun Nunusan,
yakni jalur sungai. Perjalanan hanya bisa ditempuh dengan perahu mesin menyusuri
Sungai Gansal, salah satu sungai besar di Indragiri Hulu. Jika air sedang
tinggi, perjalanan bisa ditempuh dalam waktu 1-1,5 jam. Tetapi saat musim
kemarau, ketika debit air sedang berkurang, maka dibutuhkan waktu sekitar 4-5
jam untuk sampai ke dusun tersebut.
Selain jaraknya yang cukup jauh, dusun ini
juga sangat jauh dari sentuhan pembangunan. Hanya ada 17 kepala keluarga yang
mendiami. Tak ada listrik yang menerangi, apalagi sinyal telekomunikasi.
Aktivitas mandi, bersuci, mencuci, hingga buang hajat pribadi, dilakukan di
tepian sungai. Dan saat gelap mulai menyelimuti, seketika dusun ini menjelma
menjadi sebuah kampung mati.
Kondisi inilah yang menyebabkan orang
enggan mengajar di SD Filial Rantau Langsat. Beberapa kali ada yang mencoba,
tapi tak bertahan lama. Kini tinggal dua guru yang bertahan, salah satunya
adalah Bu Niar. Sudah enam tahun ia mengabdi di sana. Meninggalkan keluarga dan
juga hiruk pikuk sosial media, demi mengabdi untuk negara, meski gajinya tak
seberapa. Saat berkunjung ke sana beberapa hari yang lalu, Alhamdulillah saya
berkesempatan bertemu dengannya.
Bu Niar adalah guru muda dengan semangat
membaja. Usianya baru di bilangan dua puluh dua, tapi sikapnya dalam mengambil
keputusan sangatlah dewasa. Meski hanya lulusan SMK, gairah mengabdinya tak
kalah dengan mereka yang berstatus sarjana. Atas dasar itulah Dompet Dhuafa
Riau memberinya beasiswa lanjut studi di Universitas Terbuka.
Kondisi dusun yang kurang ideal memaksa Bu
Niar tidak bisa setiap waktu ada di Nunusan. Ada tanggung jawab lain yang juga
harus ia tunaikan, baik tanggung jawab sebagai anak atapun tanggung jawab
sebagai mahasiswa. Untuk menyiasatinya, Bu Niar dan satu guru lainnya, Bu
Hayati, membagi jadwal mengajarnya. Bu Niar dua minggu pertama, Bu Hayati dua
minggu berikutnya. Situasi seperti ini berjalan rutin setiap bulannya.
Akibat pembagian jadwal tersebut, otomatis
hanya ada satu guru di sekolah tiap harinya. Kepala sekolah hanya berkunjung
sesekali, karena ia harus mengurus sekolah induk dan beberapa sekolah filial
lainnya. Bisa dibayangkan betapa rumitnya pekerjaan Bu Niar. Menangani murid
satu kelas saja tidaklah mudah, apalagi satu sekolah. Tapi tentu saja ia tak
menyerah.
Dan Alhamdulillah, dengan adanya program
pendampingan dari Sekolah Literasi Indonesia yang dimulai sejak 2017 lalu,
tugas Bu Niar bisa sedikit terbantu.
Tak ada perjuangan tanpa adanya
pengorbanan. Itulah yang Bu Niar-dan juga Bu Hayati-rasakan. Dengan gaji yang
hanya 800 ribu perbulan, gajinya nyaris habis hanya untuk biaya perjalanan
Rantau Langsat-Nunusan. Biaya sewa sampan berkisar 350-400 ribu untuk sekali
jalan.
Jika sebulan dua kali menyeberang (PP),
maka tidak ada sisa untuk membeli kebutuhan. Untung saja pemilik sampan
memberinya sedikit keringanan, sebagai balasan untuk tugas mulia yang ia
lakukan.
Bu Niar telah mengajarkan kepada kita
tentang ketulusan hati, bahwa menjadi guru adalah soal panggilan hati. Ia tak
melulu soal materi. Bukan pula soal berapa rupiah yang masuk ke rekening
pribadi. Bagi mereka yang niatnya tulus mengabdi, masa depan anak-anak jauh
lebih penting ketimbang angka-angka yang kelak tak dibawa mati.
Selamat Hari Guru Nasional.
Oleh:
Andi Ahmadi (Konsultan Sekolah Literasi Indonesia-Dompet Dhuafa Pendidikan)
“Good
morning students!” suara Bu Niar memecah keheningan kelas di pagi itu.
Seperti biasa, pagi itu Bu Niar menjadi
lakon tunggal di sebuah petak kecil berdinding papan dan beratapkan seng. Orang
menyebutnya sebagai sekolah. Meskipun kondisinya tak seperti sekolah pada
umumnya. Hanya ada dua petak kecil di sekolah tersebut. Satu petak untuk kelas
bawah, sepetak lagi untuk kelas atas. Mengajar kelas rangkap sudah menjadi
makanannya sehari-hari.
Sekolah Bu Niar terletak di sebuah dusun
kecil bernama Nunusan. Sebuah dusun kecil di Desa Rantau Langsat, Kabupaten
Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Dusun ini terpisah cukup jauh dari desa
induknya. Jarak Desa Rantau Langsat dari kecamatan pun juga sangat jauh,
melewati jalan tanah kuning yang licin, membelah barisan pohon sawit dan juga
belukar.
Bu Niar sebenarnya bukanlah warga Dusun
Nunusan. Ia didatangkan dari desa induk untuk mengajar di kelas jauh dari SD
yang ada di Desa Rantau Langsat. Tak banyak orang yang bersedia mengajar di
sekolah tersebut. Medan tempuh yang sulit dan letak dusun yang terpencil
menjadi alasan utama.
Hanya ada satu jalur menuju dusun Nunusan,
yakni jalur sungai. Perjalanan hanya bisa ditempuh dengan perahu mesin menyusuri
Sungai Gansal, salah satu sungai besar di Indragiri Hulu. Jika air sedang
tinggi, perjalanan bisa ditempuh dalam waktu 1-1,5 jam. Tetapi saat musim
kemarau, ketika debit air sedang berkurang, maka dibutuhkan waktu sekitar 4-5
jam untuk sampai ke dusun tersebut.
Selain jaraknya yang cukup jauh, dusun ini
juga sangat jauh dari sentuhan pembangunan. Hanya ada 17 kepala keluarga yang
mendiami. Tak ada listrik yang menerangi, apalagi sinyal telekomunikasi.
Aktivitas mandi, bersuci, mencuci, hingga buang hajat pribadi, dilakukan di
tepian sungai. Dan saat gelap mulai menyelimuti, seketika dusun ini menjelma
menjadi sebuah kampung mati.
Kondisi inilah yang menyebabkan orang
enggan mengajar di SD Filial Rantau Langsat. Beberapa kali ada yang mencoba,
tapi tak bertahan lama. Kini tinggal dua guru yang bertahan, salah satunya
adalah Bu Niar. Sudah enam tahun ia mengabdi di sana. Meninggalkan keluarga dan
juga hiruk pikuk sosial media, demi mengabdi untuk negara, meski gajinya tak
seberapa. Saat berkunjung ke sana beberapa hari yang lalu, Alhamdulillah saya
berkesempatan bertemu dengannya.
Bu Niar adalah guru muda dengan semangat
membaja. Usianya baru di bilangan dua puluh dua, tapi sikapnya dalam mengambil
keputusan sangatlah dewasa. Meski hanya lulusan SMK, gairah mengabdinya tak
kalah dengan mereka yang berstatus sarjana. Atas dasar itulah Dompet Dhuafa
Riau memberinya beasiswa lanjut studi di Universitas Terbuka.
Kondisi dusun yang kurang ideal memaksa Bu
Niar tidak bisa setiap waktu ada di Nunusan. Ada tanggung jawab lain yang juga
harus ia tunaikan, baik tanggung jawab sebagai anak atapun tanggung jawab
sebagai mahasiswa. Untuk menyiasatinya, Bu Niar dan satu guru lainnya, Bu
Hayati, membagi jadwal mengajarnya. Bu Niar dua minggu pertama, Bu Hayati dua
minggu berikutnya. Situasi seperti ini berjalan rutin setiap bulannya.
Akibat pembagian jadwal tersebut, otomatis
hanya ada satu guru di sekolah tiap harinya. Kepala sekolah hanya berkunjung
sesekali, karena ia harus mengurus sekolah induk dan beberapa sekolah filial
lainnya. Bisa dibayangkan betapa rumitnya pekerjaan Bu Niar. Menangani murid
satu kelas saja tidaklah mudah, apalagi satu sekolah. Tapi tentu saja ia tak
menyerah.
Dan Alhamdulillah, dengan adanya program
pendampingan dari Sekolah Literasi Indonesia yang dimulai sejak 2017 lalu,
tugas Bu Niar bisa sedikit terbantu.
Tak ada perjuangan tanpa adanya
pengorbanan. Itulah yang Bu Niar-dan juga Bu Hayati-rasakan. Dengan gaji yang
hanya 800 ribu perbulan, gajinya nyaris habis hanya untuk biaya perjalanan
Rantau Langsat-Nunusan. Biaya sewa sampan berkisar 350-400 ribu untuk sekali
jalan.
Jika sebulan dua kali menyeberang (PP),
maka tidak ada sisa untuk membeli kebutuhan. Untung saja pemilik sampan
memberinya sedikit keringanan, sebagai balasan untuk tugas mulia yang ia
lakukan.
Bu Niar telah mengajarkan kepada kita
tentang ketulusan hati, bahwa menjadi guru adalah soal panggilan hati. Ia tak
melulu soal materi. Bukan pula soal berapa rupiah yang masuk ke rekening
pribadi. Bagi mereka yang niatnya tulus mengabdi, masa depan anak-anak jauh
lebih penting ketimbang angka-angka yang kelak tak dibawa mati.
Selamat Hari Guru Nasional.
Bayar Sekarang, Tahu Lebih Banyak
Masukkan nomor WhatsApp Anda untuk mendapatkan akses penuh ke berita premium ini