Serbaneka    

Perjuangan Guru Honorer Mengajar di Pedalaman

Oleh : Jauhari Fatria
Kamis, 06 Desember 2018
WhatsApp Icon
Ukuran Font
Kecil Besar

Oleh:

Andi Ahmadi (Konsultan Sekolah Literasi Indonesia-Dompet Dhuafa Pendidikan)

Good

morning students!” suara Bu Niar memecah keheningan kelas di pagi itu.

Seperti biasa, pagi itu Bu Niar menjadi

lakon tunggal di sebuah petak kecil berdinding papan dan beratapkan seng. Orang

menyebutnya sebagai sekolah. Meskipun kondisinya tak seperti sekolah pada

umumnya. Hanya ada dua petak kecil di sekolah tersebut. Satu petak untuk kelas

bawah, sepetak lagi untuk kelas atas. Mengajar kelas rangkap sudah menjadi

makanannya sehari-hari.

Sekolah Bu Niar terletak di sebuah dusun

kecil bernama Nunusan. Sebuah dusun kecil di Desa Rantau Langsat, Kabupaten

Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Dusun ini terpisah cukup jauh dari desa

induknya. Jarak Desa Rantau Langsat dari kecamatan pun juga sangat jauh,

melewati jalan tanah kuning yang licin, membelah barisan pohon sawit dan juga

belukar.

Bu Niar sebenarnya bukanlah warga Dusun

Nunusan. Ia didatangkan dari desa induk untuk mengajar di kelas jauh dari SD

yang ada di Desa Rantau Langsat. Tak banyak orang yang bersedia mengajar di

sekolah tersebut. Medan tempuh yang sulit dan letak dusun yang terpencil

menjadi alasan utama.

Hanya ada satu jalur menuju dusun Nunusan,

yakni jalur sungai. Perjalanan hanya bisa ditempuh dengan perahu mesin menyusuri

Sungai Gansal, salah satu sungai besar di Indragiri Hulu. Jika air sedang

tinggi, perjalanan bisa ditempuh dalam waktu 1-1,5 jam. Tetapi saat musim

kemarau, ketika debit air sedang berkurang, maka dibutuhkan waktu sekitar 4-5

jam untuk sampai ke dusun tersebut.

Selain jaraknya yang cukup jauh, dusun ini

juga sangat jauh dari sentuhan pembangunan. Hanya ada 17 kepala keluarga yang

mendiami. Tak ada listrik yang menerangi, apalagi sinyal telekomunikasi.

Aktivitas mandi, bersuci, mencuci, hingga buang hajat pribadi, dilakukan di

tepian sungai. Dan saat gelap mulai menyelimuti, seketika dusun ini menjelma

menjadi sebuah kampung mati.

Kondisi inilah yang menyebabkan orang

enggan mengajar di SD Filial Rantau Langsat. Beberapa kali ada yang mencoba,

tapi tak bertahan lama. Kini tinggal dua guru yang bertahan, salah satunya

adalah Bu Niar. Sudah enam tahun ia mengabdi di sana. Meninggalkan keluarga dan

juga hiruk pikuk sosial media, demi mengabdi untuk negara, meski gajinya tak

seberapa. Saat berkunjung ke sana beberapa hari yang lalu, Alhamdulillah saya

berkesempatan bertemu dengannya.

Bu Niar adalah guru muda dengan semangat

membaja. Usianya baru di bilangan dua puluh dua, tapi sikapnya dalam mengambil

keputusan sangatlah dewasa. Meski hanya lulusan SMK, gairah mengabdinya tak

kalah dengan mereka yang berstatus sarjana. Atas dasar itulah Dompet Dhuafa

Riau memberinya beasiswa lanjut studi di Universitas Terbuka.

Kondisi dusun yang kurang ideal memaksa Bu

Niar tidak bisa setiap waktu ada di Nunusan. Ada tanggung jawab lain yang juga

harus ia tunaikan, baik tanggung jawab sebagai anak atapun tanggung jawab

sebagai mahasiswa. Untuk menyiasatinya, Bu Niar dan satu guru lainnya, Bu

Hayati, membagi jadwal mengajarnya. Bu Niar dua minggu pertama, Bu Hayati dua

minggu berikutnya. Situasi seperti ini berjalan rutin setiap bulannya.

Akibat pembagian jadwal tersebut, otomatis

hanya ada satu guru di sekolah tiap harinya. Kepala sekolah hanya berkunjung

sesekali, karena ia harus mengurus sekolah induk dan beberapa sekolah filial

lainnya. Bisa dibayangkan betapa rumitnya pekerjaan Bu Niar. Menangani murid

satu kelas saja tidaklah mudah, apalagi satu sekolah. Tapi tentu saja ia tak

menyerah.

Dan Alhamdulillah, dengan adanya program

pendampingan dari Sekolah Literasi Indonesia yang dimulai sejak 2017 lalu,

tugas Bu Niar bisa sedikit terbantu.

Tak ada perjuangan tanpa adanya

pengorbanan. Itulah yang Bu Niar-dan juga Bu Hayati-rasakan. Dengan gaji yang

hanya 800 ribu perbulan, gajinya nyaris habis hanya untuk biaya perjalanan

Rantau Langsat-Nunusan. Biaya sewa sampan berkisar 350-400 ribu untuk sekali

jalan.

Jika sebulan dua kali menyeberang (PP),

maka tidak ada sisa untuk membeli kebutuhan. Untung saja pemilik sampan

memberinya sedikit keringanan, sebagai balasan untuk tugas mulia yang ia

lakukan.

Bu Niar telah mengajarkan kepada kita

tentang ketulusan hati, bahwa menjadi guru adalah soal panggilan hati. Ia tak

melulu soal materi. Bukan pula soal berapa rupiah yang masuk ke rekening

pribadi. Bagi mereka yang niatnya tulus mengabdi, masa depan anak-anak jauh

lebih penting ketimbang angka-angka yang kelak tak dibawa mati.

Selamat Hari Guru Nasional.

Artikel Selanjutnya
Kapolda Kalbar Tutup Pelatihan Fungsi Teknis Operasional Kepolisian dan Pembinaan Polri
Kamis, 06 Desember 2018
Artikel Sebelumnya
Sintang Mekarkan Empat Kecamatan Baru, Ini Lima Poin Bupati Jarot
Kamis, 06 Desember 2018

Berita terkait