Kolom    

Menanti Kebijakan Kesehatan dan HAM 2019

Oleh : Jauhari Fatria
Minggu, 06 Januari 2019
WhatsApp Icon
Ukuran Font
Kecil Besar

KalbarOnline, Opini – Isu wajib kerja dokter spesialis (WKDS) seakan menghipnotis masyarakat dan media. Tak terkecuali para kelompok akademisi dan praktisi khususnya kesehatan.

Bahkan yang menarik perhatian, ada diskusi kelompok akademisi dari perguruan tinggi ternama mengajak semua disiplin ilmu untuk fokus memikirkan bagaimana solusinya ketika putusan Mahkamah Agung mengabulkan gugatan kebijakan WKDS. Salah satu alasanya adalah jika pemerintah tidak menyediakan spesialis akan melanggar HAM (Hak Asasi Manusia).

Setidaknya sudah ada empat pilihan opsi yang ada tetapi

sayangnya semua opsi itu hanya fokus pada salah satu solusi dan sudut pandang

dari satu profesi tertentu dengan alasan diantaranya adalah untuk menekan dan

mencegah angka kematian Ibu (AKI).

Pertanyaan besarnya adalah, apakah kecukupan spesialis atau

tenaga medis bisa menjamin derajat kesehatan masyarakat dan AKI menurun? Secara

teori selain tenaga kesehatan medis masih ada belasan tenaga kesehatan dan

faktor lainya yang punya daya ungkit terhadap kesehatan secara jangka panjang.

Jika melihat data dan fakta yang sudah terjadi selain

berbagai kajian ilmiah yang menyatakan bahwa derajat kesmas tidak semata

ditentukan oleh satu sudut pandang dan satu profesi kesehatan. Bisa diingat dan

dibuka lagi bahwa Kota Semarang yang merupakan basisnya Provinsi Jawa Tengah

pernah memiliki AKI yang tinggi. Apakah Kota Semarang kekurangan dokter

spesialis? Tidak juga.

Tapi faktanya Kota Semarang lebih memilih menekan AKI dengan

pendekatan kebijakan paradigma sehat yaitu memilih menempatkan tenaga

surveilans. Kebijakan itu dianggap lebih berdampak secara jangka panjang dan

sampai ke akar masalah karena pendekatanya secara lintas profesi dan lintas

sektor.

Penempatan tenaga surveilans AKI untuk mencari dan

mendampingi ibu-ibu hamil yang berisiko tinggi. Selain juga menempatkan tenaga

surveilans TB, HIV dan DBD di setiap kelurahan. Hasilnya bukan hanya AKI yang

menurun beberapa kasus seperti DBD juga berhasil diminimalisir.

Salah satu tenaga yang ditugaskan itu adalah Sarjana

Kesehatan Masyarakat (SKM) selain profesi non spesialis. Tidak hanya di Kota

Semarang, tahun 2018 Kabupaten Bandung merekrut 80 lebih SKM untuk tenaga promosi

kesehatan dan epidemiologi sebagai wujud upaya realisasi revitalisasi Puskesmas

sesuai rencana strategis (renstra) kesehatan 2015-2019. Demikian juga

pemerintah Kabupaten Banyumas, Kabupaten Malang, Kalimantan Timur dan Kabupaten

Luwu Utara Sulawesi Selatan.

Coba kita telisik jauh lebih dalam renstra Kementerian

Kesehatan 2015-2019. Kebijakan WKDS lahir dengan output Perpres no 4 tahun

2017. Artinya kebijakan WKDS lahir dua tahun setelah Surat Keputusan Menteri

Kesehatan tentang Renstra Kesehatan 2015-2019. Meskipun WKDS tidak masuk ke

dalam renstra tersebut, tetapi WKDS punya kebijakan khusus dalam bentuk Perpres

yang kini dibatalkan oleh Mahkamah Agung.

Lalu bagaimana dengan kebijakan revitalisasi Puskesmas

dengan prioritas lima tenaga kesehatan, Apakah juga mendapat perhatian seperti

WKDS dikalangan akademisi dan politisi? Hingga waktu yang tinggal hanya satu

tahun lagi, belum ada indikasi dan publikasi bagaimana capaian target

revitalisasi puskesmas dalam renstra tersebut. Jangan sampai 2019, ikutan ramai

dengan tagar ganti isu kesehatan dan HAM.

Jika masih ingin lanjut fokus kepada kebijakan WKDS dan

menganggap pemerintah melanggar HAM baik kepada masyarakat maupun spesialisnya.

Lalu apakah masyarakat akdedemisi, pemerintah pusat maupun daerah tidak

melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) jika tidak mencapai target renstra dan

revitalisasi puskesmas.

Secara UU Pemerintah daerah urusan kesehatan adalah salah

satu urusan wajib yang harus terpenuhi. Masalah kesehatan dan HAM sudah

sewajarnya menjadi bagian wajib yang harus di prioritaskan oleh kalangan wakil

rakyat baik eksekutif maupun legislatif di tahun politik 2019 mendatang.

Tapi hingga akhir 2018 kebijakan upaya revitalisasi

Puskesmas dengan prioritas lima tenaga kesehatan (tenaga kesehatan masyarakat,

kesehatan lingkungan, tenaga gizi, tenaga kefarmasian dan analis kesehatan)

belum ada kebijakan nasional yang mengakomodir seperti WKDS.

Apalagi dengan defisitnya JKN yang semakin membengkak, jika

pengetahuan dan perilaku masyarakat mengenai kesehatan terabaikan, bukan

sesuatu yang tidak mungkin angka rujukan, angka kesakitan dan kematian yang

bisa dicegah akan kembali membebani pemerintah yang juga akan berdampak kepada

masyarakat.

Program Nusantara Sehat sendiri ternyata tidak dikhususkan

bagi kelima tenaga kesehatan yang diprioritaskan dalam revitalisasi puskesmas.

Selain programnya hanya bersifat sementara atau solusi jangka pendek karena

hanya ditugaskan 1-2 tahun saja. Sehingga prioritasnya kebijakan revitalisasi

puskesmas seakan tergeser oleh kepentingan akademisi, praktisi maupun politisi.

Oleh sebab itu WKDS memang diperlukan, tetapi kta juga punya

kewajiban merealisasikan renstra kesehatan. Diperlukan inovasi, kreatifitas dan

nyali yang besar. Karena seolah-olah revitalisasi puskesmas adalah hal yang

tabu untuk jadi isu yang dikampanyekan dan didiskusikan baik oleh akademisi,

praktisi maupun politisi. Tahun 2019 menjadi momentum yang tepat untuk menguji

calon wakil rakyat, kesehatan mana yang prioritas, wajib, efektif dan strategis

agar masalah kesehatan tidak melanggar HAM baik kepada masyarakat maupun tenaga

kesehatan.

Opini: Agus

Samsudrajat S., SKM.,MKM

*Pengurus Pusat

PERSAKMI (Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia)

*Pengurus Ikatan

Cendekiawan Muslim Se Indonesia (ICMI) Daerah Sintang

*Dosen luar biasa Universitas

Muhammadiyah Pontianak Kelas Sintang

*Penggagas Program

Satu Desa/Kelurahan Satu SKM untuk Indonesia Sehat

*Aktifis Kesehatan

Masyarakat

Artikel Selanjutnya
Hidupkan Tradisi dan Jalin Silaturrahmi Melalui Maulid Tradisional
Minggu, 06 Januari 2019
Artikel Sebelumnya
Seorang Duda Dihadiahi Timah Panas : 3 Kali Cabuli Anak di Bawah Umur
Minggu, 06 Januari 2019

Berita terkait