Shopping cart
Your cart empty!
Terms of use dolor sit amet consectetur, adipisicing elit. Recusandae provident ullam aperiam quo ad non corrupti sit vel quam repellat ipsa quod sed, repellendus adipisci, ducimus ea modi odio assumenda.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Do you agree to our terms? Sign up
|
|
Oleh : Jauhari Fatria |
| Minggu, 06 Januari 2019 |
KalbarOnline, Opini – Isu wajib kerja dokter spesialis (WKDS) seakan menghipnotis masyarakat dan media. Tak terkecuali para kelompok akademisi dan praktisi khususnya kesehatan.
Bahkan yang menarik perhatian, ada diskusi kelompok akademisi dari perguruan tinggi ternama mengajak semua disiplin ilmu untuk fokus memikirkan bagaimana solusinya ketika putusan Mahkamah Agung mengabulkan gugatan kebijakan WKDS. Salah satu alasanya adalah jika pemerintah tidak menyediakan spesialis akan melanggar HAM (Hak Asasi Manusia).
Setidaknya sudah ada empat pilihan opsi yang ada tetapi
sayangnya semua opsi itu hanya fokus pada salah satu solusi dan sudut pandang
dari satu profesi tertentu dengan alasan diantaranya adalah untuk menekan dan
mencegah angka kematian Ibu (AKI).
Pertanyaan besarnya adalah, apakah kecukupan spesialis atau
tenaga medis bisa menjamin derajat kesehatan masyarakat dan AKI menurun? Secara
teori selain tenaga kesehatan medis masih ada belasan tenaga kesehatan dan
faktor lainya yang punya daya ungkit terhadap kesehatan secara jangka panjang.
Jika melihat data dan fakta yang sudah terjadi selain
berbagai kajian ilmiah yang menyatakan bahwa derajat kesmas tidak semata
ditentukan oleh satu sudut pandang dan satu profesi kesehatan. Bisa diingat dan
dibuka lagi bahwa Kota Semarang yang merupakan basisnya Provinsi Jawa Tengah
pernah memiliki AKI yang tinggi. Apakah Kota Semarang kekurangan dokter
spesialis? Tidak juga.
Tapi faktanya Kota Semarang lebih memilih menekan AKI dengan
pendekatan kebijakan paradigma sehat yaitu memilih menempatkan tenaga
surveilans. Kebijakan itu dianggap lebih berdampak secara jangka panjang dan
sampai ke akar masalah karena pendekatanya secara lintas profesi dan lintas
sektor.
Penempatan tenaga surveilans AKI untuk mencari dan
mendampingi ibu-ibu hamil yang berisiko tinggi. Selain juga menempatkan tenaga
surveilans TB, HIV dan DBD di setiap kelurahan. Hasilnya bukan hanya AKI yang
menurun beberapa kasus seperti DBD juga berhasil diminimalisir.
Salah satu tenaga yang ditugaskan itu adalah Sarjana
Kesehatan Masyarakat (SKM) selain profesi non spesialis. Tidak hanya di Kota
Semarang, tahun 2018 Kabupaten Bandung merekrut 80 lebih SKM untuk tenaga promosi
kesehatan dan epidemiologi sebagai wujud upaya realisasi revitalisasi Puskesmas
sesuai rencana strategis (renstra) kesehatan 2015-2019. Demikian juga
pemerintah Kabupaten Banyumas, Kabupaten Malang, Kalimantan Timur dan Kabupaten
Luwu Utara Sulawesi Selatan.
Coba kita telisik jauh lebih dalam renstra Kementerian
Kesehatan 2015-2019. Kebijakan WKDS lahir dengan output Perpres no 4 tahun
2017. Artinya kebijakan WKDS lahir dua tahun setelah Surat Keputusan Menteri
Kesehatan tentang Renstra Kesehatan 2015-2019. Meskipun WKDS tidak masuk ke
dalam renstra tersebut, tetapi WKDS punya kebijakan khusus dalam bentuk Perpres
yang kini dibatalkan oleh Mahkamah Agung.
Lalu bagaimana dengan kebijakan revitalisasi Puskesmas
dengan prioritas lima tenaga kesehatan, Apakah juga mendapat perhatian seperti
WKDS dikalangan akademisi dan politisi? Hingga waktu yang tinggal hanya satu
tahun lagi, belum ada indikasi dan publikasi bagaimana capaian target
revitalisasi puskesmas dalam renstra tersebut. Jangan sampai 2019, ikutan ramai
dengan tagar ganti isu kesehatan dan HAM.
Jika masih ingin lanjut fokus kepada kebijakan WKDS dan
menganggap pemerintah melanggar HAM baik kepada masyarakat maupun spesialisnya.
Lalu apakah masyarakat akdedemisi, pemerintah pusat maupun daerah tidak
melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) jika tidak mencapai target renstra dan
revitalisasi puskesmas.
Secara UU Pemerintah daerah urusan kesehatan adalah salah
satu urusan wajib yang harus terpenuhi. Masalah kesehatan dan HAM sudah
sewajarnya menjadi bagian wajib yang harus di prioritaskan oleh kalangan wakil
rakyat baik eksekutif maupun legislatif di tahun politik 2019 mendatang.
Tapi hingga akhir 2018 kebijakan upaya revitalisasi
Puskesmas dengan prioritas lima tenaga kesehatan (tenaga kesehatan masyarakat,
kesehatan lingkungan, tenaga gizi, tenaga kefarmasian dan analis kesehatan)
belum ada kebijakan nasional yang mengakomodir seperti WKDS.
Apalagi dengan defisitnya JKN yang semakin membengkak, jika
pengetahuan dan perilaku masyarakat mengenai kesehatan terabaikan, bukan
sesuatu yang tidak mungkin angka rujukan, angka kesakitan dan kematian yang
bisa dicegah akan kembali membebani pemerintah yang juga akan berdampak kepada
masyarakat.
Program Nusantara Sehat sendiri ternyata tidak dikhususkan
bagi kelima tenaga kesehatan yang diprioritaskan dalam revitalisasi puskesmas.
Selain programnya hanya bersifat sementara atau solusi jangka pendek karena
hanya ditugaskan 1-2 tahun saja. Sehingga prioritasnya kebijakan revitalisasi
puskesmas seakan tergeser oleh kepentingan akademisi, praktisi maupun politisi.
Oleh sebab itu WKDS memang diperlukan, tetapi kta juga punya
kewajiban merealisasikan renstra kesehatan. Diperlukan inovasi, kreatifitas dan
nyali yang besar. Karena seolah-olah revitalisasi puskesmas adalah hal yang
tabu untuk jadi isu yang dikampanyekan dan didiskusikan baik oleh akademisi,
praktisi maupun politisi. Tahun 2019 menjadi momentum yang tepat untuk menguji
calon wakil rakyat, kesehatan mana yang prioritas, wajib, efektif dan strategis
agar masalah kesehatan tidak melanggar HAM baik kepada masyarakat maupun tenaga
kesehatan.
Opini: Agus
Samsudrajat S., SKM.,MKM
*Pengurus Pusat
PERSAKMI (Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia)
*Pengurus Ikatan
Cendekiawan Muslim Se Indonesia (ICMI) Daerah Sintang
*Dosen luar biasa Universitas
Muhammadiyah Pontianak Kelas Sintang
*Penggagas Program
Satu Desa/Kelurahan Satu SKM untuk Indonesia Sehat
*Aktifis Kesehatan
Masyarakat
KalbarOnline, Opini – Isu wajib kerja dokter spesialis (WKDS) seakan menghipnotis masyarakat dan media. Tak terkecuali para kelompok akademisi dan praktisi khususnya kesehatan.
Bahkan yang menarik perhatian, ada diskusi kelompok akademisi dari perguruan tinggi ternama mengajak semua disiplin ilmu untuk fokus memikirkan bagaimana solusinya ketika putusan Mahkamah Agung mengabulkan gugatan kebijakan WKDS. Salah satu alasanya adalah jika pemerintah tidak menyediakan spesialis akan melanggar HAM (Hak Asasi Manusia).
Setidaknya sudah ada empat pilihan opsi yang ada tetapi
sayangnya semua opsi itu hanya fokus pada salah satu solusi dan sudut pandang
dari satu profesi tertentu dengan alasan diantaranya adalah untuk menekan dan
mencegah angka kematian Ibu (AKI).
Pertanyaan besarnya adalah, apakah kecukupan spesialis atau
tenaga medis bisa menjamin derajat kesehatan masyarakat dan AKI menurun? Secara
teori selain tenaga kesehatan medis masih ada belasan tenaga kesehatan dan
faktor lainya yang punya daya ungkit terhadap kesehatan secara jangka panjang.
Jika melihat data dan fakta yang sudah terjadi selain
berbagai kajian ilmiah yang menyatakan bahwa derajat kesmas tidak semata
ditentukan oleh satu sudut pandang dan satu profesi kesehatan. Bisa diingat dan
dibuka lagi bahwa Kota Semarang yang merupakan basisnya Provinsi Jawa Tengah
pernah memiliki AKI yang tinggi. Apakah Kota Semarang kekurangan dokter
spesialis? Tidak juga.
Tapi faktanya Kota Semarang lebih memilih menekan AKI dengan
pendekatan kebijakan paradigma sehat yaitu memilih menempatkan tenaga
surveilans. Kebijakan itu dianggap lebih berdampak secara jangka panjang dan
sampai ke akar masalah karena pendekatanya secara lintas profesi dan lintas
sektor.
Penempatan tenaga surveilans AKI untuk mencari dan
mendampingi ibu-ibu hamil yang berisiko tinggi. Selain juga menempatkan tenaga
surveilans TB, HIV dan DBD di setiap kelurahan. Hasilnya bukan hanya AKI yang
menurun beberapa kasus seperti DBD juga berhasil diminimalisir.
Salah satu tenaga yang ditugaskan itu adalah Sarjana
Kesehatan Masyarakat (SKM) selain profesi non spesialis. Tidak hanya di Kota
Semarang, tahun 2018 Kabupaten Bandung merekrut 80 lebih SKM untuk tenaga promosi
kesehatan dan epidemiologi sebagai wujud upaya realisasi revitalisasi Puskesmas
sesuai rencana strategis (renstra) kesehatan 2015-2019. Demikian juga
pemerintah Kabupaten Banyumas, Kabupaten Malang, Kalimantan Timur dan Kabupaten
Luwu Utara Sulawesi Selatan.
Coba kita telisik jauh lebih dalam renstra Kementerian
Kesehatan 2015-2019. Kebijakan WKDS lahir dengan output Perpres no 4 tahun
2017. Artinya kebijakan WKDS lahir dua tahun setelah Surat Keputusan Menteri
Kesehatan tentang Renstra Kesehatan 2015-2019. Meskipun WKDS tidak masuk ke
dalam renstra tersebut, tetapi WKDS punya kebijakan khusus dalam bentuk Perpres
yang kini dibatalkan oleh Mahkamah Agung.
Lalu bagaimana dengan kebijakan revitalisasi Puskesmas
dengan prioritas lima tenaga kesehatan, Apakah juga mendapat perhatian seperti
WKDS dikalangan akademisi dan politisi? Hingga waktu yang tinggal hanya satu
tahun lagi, belum ada indikasi dan publikasi bagaimana capaian target
revitalisasi puskesmas dalam renstra tersebut. Jangan sampai 2019, ikutan ramai
dengan tagar ganti isu kesehatan dan HAM.
Jika masih ingin lanjut fokus kepada kebijakan WKDS dan
menganggap pemerintah melanggar HAM baik kepada masyarakat maupun spesialisnya.
Lalu apakah masyarakat akdedemisi, pemerintah pusat maupun daerah tidak
melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) jika tidak mencapai target renstra dan
revitalisasi puskesmas.
Secara UU Pemerintah daerah urusan kesehatan adalah salah
satu urusan wajib yang harus terpenuhi. Masalah kesehatan dan HAM sudah
sewajarnya menjadi bagian wajib yang harus di prioritaskan oleh kalangan wakil
rakyat baik eksekutif maupun legislatif di tahun politik 2019 mendatang.
Tapi hingga akhir 2018 kebijakan upaya revitalisasi
Puskesmas dengan prioritas lima tenaga kesehatan (tenaga kesehatan masyarakat,
kesehatan lingkungan, tenaga gizi, tenaga kefarmasian dan analis kesehatan)
belum ada kebijakan nasional yang mengakomodir seperti WKDS.
Apalagi dengan defisitnya JKN yang semakin membengkak, jika
pengetahuan dan perilaku masyarakat mengenai kesehatan terabaikan, bukan
sesuatu yang tidak mungkin angka rujukan, angka kesakitan dan kematian yang
bisa dicegah akan kembali membebani pemerintah yang juga akan berdampak kepada
masyarakat.
Program Nusantara Sehat sendiri ternyata tidak dikhususkan
bagi kelima tenaga kesehatan yang diprioritaskan dalam revitalisasi puskesmas.
Selain programnya hanya bersifat sementara atau solusi jangka pendek karena
hanya ditugaskan 1-2 tahun saja. Sehingga prioritasnya kebijakan revitalisasi
puskesmas seakan tergeser oleh kepentingan akademisi, praktisi maupun politisi.
Oleh sebab itu WKDS memang diperlukan, tetapi kta juga punya
kewajiban merealisasikan renstra kesehatan. Diperlukan inovasi, kreatifitas dan
nyali yang besar. Karena seolah-olah revitalisasi puskesmas adalah hal yang
tabu untuk jadi isu yang dikampanyekan dan didiskusikan baik oleh akademisi,
praktisi maupun politisi. Tahun 2019 menjadi momentum yang tepat untuk menguji
calon wakil rakyat, kesehatan mana yang prioritas, wajib, efektif dan strategis
agar masalah kesehatan tidak melanggar HAM baik kepada masyarakat maupun tenaga
kesehatan.
Opini: Agus
Samsudrajat S., SKM.,MKM
*Pengurus Pusat
PERSAKMI (Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia)
*Pengurus Ikatan
Cendekiawan Muslim Se Indonesia (ICMI) Daerah Sintang
*Dosen luar biasa Universitas
Muhammadiyah Pontianak Kelas Sintang
*Penggagas Program
Satu Desa/Kelurahan Satu SKM untuk Indonesia Sehat
*Aktifis Kesehatan
Masyarakat
Bayar Sekarang, Tahu Lebih Banyak
Masukkan nomor WhatsApp Anda untuk mendapatkan akses penuh ke berita premium ini