Midji Berang Ada Oknum ASN Terbukti Markup Sampai Rp1 Miliar
KalbarOnline, Pontianak – Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji dibuat berang oleh sejumlah oknum ASN di lingkungan Pemerintah Provinsi Kalbar yang terbukti melakukan praktik pungli atau markup anggaran. Hal itu disampaikannya saat peringatan Hari Korpri, Senin kemarin.
“Ada beberapa ASN kita, tidak bisa kembalikan (uang),” kata Midji.
Kata Midji, kewajiban untuk mengembalikan uang itu juga sudah sesuai dengan Tuntutan Perbendaharan dan Tuntutan Ganti Rugi.
“Apa boleh buat. Keluarganya juga sudah kita beritahu. Karena dia juga tidak peduli. Enak-enak saja dia,” katanya.
Bahkan kata Midji, yang bersangkutan justru minta dipindahkan ke Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) dengan alasan, agar dapat mengangsur uang yang diminta untuk dikembalikan.
“Masa dia bilang pindahkan saya ke Bapenda, supaya saya bisa mengangsur, itu kan otaknya sudah saraf. Sudah model begitu, kalau dipindahkan ke Bapenda, kan makin jadi tuh. Niat mau mengembalikan itu tidak ada. Itu hasil audit dari BPK (Badan Pemeriksa Keuangan),” katanya.
Menurut Midji, penegakan aturan hukum itu perlu dilakukan. Sebab, hal itu bukan kehendaknya sebagai Gubernur melainkan prosedur yang mengharuskan. Sebab, dalam TP TGR terdapat batas waktu pengembalian.
“Karena sudah waktunya (deadline), harus ada pembelajaran, penegakan hukum itu perlu. Bukan tega, ini penegakan aturan. Penegakan hukum. Kemarin Inspektorat lapor ke saya, kalau memang itu sudah prosedurnya, jalankan saja,” katanya.
Midji pun mengungkapkan, besaran markup yang dilakukan oknum ASN itu tak tanggung-tanggung. Mencapai Rp1 miliar lebih.
“Makanya saya minta sudahlah, kontraktor kerja dengan baik, saya selalu minta kualitas baik. Makanya saya kalau sudah si A, si B, si C mengerjakan dan orang tak kompeten, apalagi misalnya tender buang 20 persen, inilah akibatnya. Begitu diklarifikasi, dia tak datang, akhirnya gagal tender lagi,” katanya.
Menurut Midji, dalam kasus semacam ini, yang harus dimasukan ke dalam daftar hitam adalah orangnya, bukan perusahaannya.
“Kalau perusahaannya kita blacklist nanti mereka buat perusahaan baru, tapi kalau sudah orangnya di-blacklist kan susah tuh. Banyak sekali itu, DAK (Dana Alokasi Khusus) kita saja di Disdikbud ada 36 miliar yang tak bisa diapa-apakan. Karena itulah. Ini begini, ini begitu. Di LHK juga, Dana Bagi Hasil itu tidak bisa digunakan, karena yang seperti itu, berkutat pada sistem ini itu, jadi kerja tak pernah bisa cepat,” katanya.
“Logikanya, kalau kerja tak bisa cepat, berarti ada hal-hal lain. Sebenarnya kalau sistem dijalankan, tentu tak ada yang sulit,” tutupnya.
Comment