KalbarOnline, Pontianak – Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Kalbar, Basri Har, turut menyatakan pendapatnya terkait persoalan posisi Tempat Hiburan Malam (THM) yang berdekatan dengan rumah ibadah.
“Rumah ibadah itukan tempat orang melaksanakan ibadah, tentunya harus bisa jauh dari hal-hal yang bisa mengganggu,” ujarnya kepada tim investigasi, Senin (30/05/2022).
MUI bersyukur, demi menjaga kondusifitas umat dalam menjalankan ibadah, Pemerintah Kota Pontianak telah melakukan pengaturan tersendiri terkait ini melalui Perda Nomor 23 Tahun 2002.
“Seperti radius 500 meter dari masjid tidak boleh ada aktivitas atau kegiatan seperti minum-minuman keras dan sebagainya yang bisa mengganggu,” kata Basri.
“Oleh karena itu, kita berharap Perda dan SK Wali Kota ini betul-betul diamankan, (agar) memberikan ketenangan pada masyarakat, supaya masyarakat itu bisa melaksanakan ibadah dengan tenang dan khusyuk. Jangan ada gangguan,” harapnya.
MUI juga berharap, kepada semua pihak untuk mematuhi bersama, Perda yang telah dikeluarkan itu. Karena menurut dia, jika ada salah satu pihak yang melanggar, hal itu akan menyebabkan keresahan. Terlebih jika pelanggaran yang ada tidak cepat disikapi, maka ekses yang ditimbulkan akan lebih besar lagi.
“Karena apabila ini dibiarkan, katakanlah ada kegiatan yang menyalahi peraturan daerah, lama-lama masyarakat akan resah dan bisa menimbulkan hal yang tidak diinginkan. Karena itu harus secepatnya pemerintah daerah mengambil langkah-langkah preventif. Sehingga tidak terjadi pergerakan massa,” ujarnya.
Terkait dengan peredaran minuman beralkohol (minol), lanjutnya, secara hukum Islam jelas haram. Oleh karena itu, ketika ada masyarakat yang keberatan dengan aktivitas seperti itu di dekat lingkungan mereka, harus segera difasilitasi dan diakomodir.
Namun demikian, masyarakat yang merasa “dirugikan”, tetap dapat menyampaikan aspirasinya, tapi dengan cara-cara yang persuasif dan santun.
“Alangkah baiknya kepada pengurus masjid, tokoh masyarakat dan tokoh agama, bicara baik-baik kepada pihak berwajib untuk bisa menyelesaikan. Jadi jangan diselesaikan sendiri,” pesannya.
“Memberantas kemungkaran, harus dengan santun. Tidak bisa kemungkaran ditumpas dengan cara yang mungkar pula,” tambahnya.
Disinggung soal aspirasi masyarakat atau gabungan masyarakat yang terdiri dari ormas dan sebagainya, MUI menilai hal itu merupakan sesuatu yang baik. Karena dilihat dari sisi Perda pun hal itu jelas melanggar.
“Kan di Perda diatur radius 500 meter. Ketika itu memang melanggar, ya memang sebaiknya ditutup. Harusnya ditutup. Karena ini sudah melanggar Perda. Disamping juga mengganggu kekhusyukan orang-orang beribadah,” katanya.
Lebih jauh, Basri menilai, Perda yang dibuat tentu tidak sembarang, dan tentu juga telah melalui proses yang panjang dan matang dengan melibatkan segenap unsur masyarakat di masa itu.
“Saya kira Perda (Nomor 23 Tahun 2002) ini sudah bagus. Kalaupun ada keinginan-keinginan (merubah Perda) ini, itu subjektif. Itu mungkin bicara keuntungan, tapi kalau bicara kepentingan agama, kita tidak bisa bicara (kepentingan sesaat) itu,” jelasnya.
“Karena terus terang saja, minuman keras itu tidak ada manfaatnya. Itu kan sudah ada sejarahnya, nabi ditanya tentang khamar. Mudharatnya jauh lebih besar, lebih-lebih untuk anak muda kita, generasi yang akan datang,” tekan Basri.
Ia pun tak setuju, jika ada segelintir pihak yang menilai, bahwa perubahan Perda dapat dialaskan pada penyelamatan ekonomi dan investasi.
“Tidak bisa ada dalih seperti itu. Apalagi kedepan bukan hanya minol, dengan sudah diterapkannya UU nomor 31 tahun 2014 tentang produk halal, semua makanan dan konsumsi kedepan itu harus halal. Itu ada undang-undangnya,” bebernya.
“Insya Allah pemimpin kita, tidak akan melegalkan hal-hal seperti ini. Kita berhusnudzon kepada pemerintah kita. Mudah-mudahan Allah selalu memberikan kekuatan dan hidayah, sehingga bisa menciptakan daerah kita sebagai daerah yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur,” tutup Basri (Jau)
Comment