KalbarOnline, Pontianak – Gratifikasi seringkali dihubungkan dengan tindakan korupsi. Pasalnya tindakan itu dapat merusak integritas dan kepercayaan masyarakat terhadap sebuah institusi atau pemerintahan.
Gratifikasi adalah sebuah bentuk pemberian atau janji pemberian sesuatu kepada seseorang berkaitan dengan penyelenggara negara atau pelayanan publik.
Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono mengatakan, Pemerintah Kota (Pemkot) Pontianak berkomitmen untuk mengikis gratifikasi di lingkungannya. Gratifikasi memiliki dampak negatif pada orang yang menerimanya sebab dapat mempengaruhi integritas dan profesionalismenya.
“Oleh sebab itu, gratifikasi harus dihindari dan dianggap sebagai tindakan yang tidak etis,” ujarnya pada sosialisasi pengendalian gratifikasi bagi pegawai negara dan BUMD di lingkup Pemkot Pontianak oleh KPK RI di Aula Sultan Syarif Abdurrahman (SSA) Kantor Wali Kota Pontianak, Senin (27/02/2023).
Edi juga menambahkan, capaian Monitoring Center for Prevention (MCP) Pemkot Pontianak memperoleh nilai 90,05 persen di tahun 2022. MCP merupakan aplikasi atau dashboard yang dikembangkan oleh KPK untuk melakukan monitoring capaian kinerja program pencegahan korupsi melalui perbaikan tata kelola pemerintahan yang dilaksanakan pemerintah daerah di seluruh Indonesia.
“Jajaran Pemkot Pontianak berupaya untuk meningkatkan MCP melalui perbaikan dan evaluasi serta capaian-capaian target sebagai cerminan pelaksanaan pelayanan publik atau tata kelola di Pemerintahan Kota Pontianak,” ungkapnya.
Muhammad Indra Furqon, Direktorat dan Pelayanan Publik KPK RI menjelaskan, pemahaman makna gratifikasi oleh masyarakat memang masih sangat minim. Betapa tidak, di tahun 2019, KPK melakukan survei partisipasi publik.
Hasil dari survei itu ternyata hanya 37 persen saja masyarakat yang paham apa itu gratifikasi. Sedangkan 63 persennya tidak paham makna gratifikasi.
“Karena dari survei yang kami lakukan, banyak masyarakat yang termasuk dalam 63 persen itu beranggapan gratifikasi ini cabang ilmu pengetahuan alam,” ungkapnya.
Oleh karena ketidakpahaman itulah, lanjutnya lagi, menjadi satu di antara penyebab, hanya 13 persen yang pernah melaporkan soal gratifikasi di tahun 2019. Di beberapa tempat, ada yang mengklaim bahwa mereka tidak melaporkan karena di tempatnya nihil gratifikasi. Ternyata pendapat itu terbantahkan oleh Survei Penilaian Integritas di tahun yang sama, yang mana gratifikasi ditemukan di 91 persen peserta survei.
“Artinya gratifikasi itu ada, hanya belum mau lapor saja,” sebut Indra.
Lebih lanjut, dia bilang, selain ketidakpahaman, penyebab lainnya orang tidak melaporkan gratifikasi adalah karena takut. Sehingga gratifikasi ini masih terjadi akibat tidak banyak yang melaporkannya.
“Soal gratifikasi, ada beberapa perspektif yakni perspektif logika, etika, agama dan hukum,” tuturnya.
Menurutnya, dalam kaitan gratifikasi, tidak ada kriteria atau batasan nilai dari uang atau barang yang diberikan sebab gratifikasi luas maknanya. Sekecil apapun itu nilainya, kalau sudah termasuk kategori gratifikasi maka itu adalah gratifikasi. Gratifikasi korelasinya dengan pelayanan publik, bisa menghancurkan sistem dan timbulnya diskriminasi dalam pelayanan publik.
Ia menambahkan, kaitannya dengan perizinan, perizinan itu harus transparan. Misalnya mulai dari persyaratan, berapa lama prosesnya, berapa biayanya, diumumkan di website, poster, media sosial dan sebagainya. Jika tidak ada transparansi, inilah yang menjadi pintu masuk gratifikasi.
“Tidak pantas kita sebagai pegawai negeri atau pejabat publik menerima pemberian atas pelayanan yang kita berikan karena hak berupa gaji dan insentif sudah kita terima, sementara pelayanan yang diberikan sudah menjadi tugasnya,” tegasnya. (Jau)
Comment