KalbarOnline, Pontianak – Kendati Iskandar Zulkarnaen sudah habis-habisan membantah bahwa tidak ada kalimat “perintah Sutarmidji” yang keluar dari bibirnya pada saat sidang tipikor terkait perkara dugaan korupsi pembangunan waterfront Sambas di Pengadilan Tipikor Pontianak sepekan lalu, namun beberapa media massa terus saja memberitakan hal itu secara pincang. Tanpa konfirmasi.
“Kan yang hadir di sidang itu ada penasihat hukum, ada jaksa penuntut umum, ada hakim, ada orang-orang Dinas PUPR provinsi, bisa dimintai keterangan mereka, ada atau tidak saya menyebut Pak Sutarmidji, kok mereka (media) berani mengarang cerita saya menyebut nama Pak Sutarmidji,” sergah Iskandar saat dimintai klarifikasinya, Selasa (30/04/2024) siang.
Iskandar menyebut, kalau ia memang dihadirkan sebagai saksi dalam sidang yang digelar pada Senin tanggal 22 April 2024—dalam kapasitasnya selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) sekaligus ex-officio dari Pengguna Anggaran (PA) pada proyek waterfront Sambas.
Selama dirinya duduk di muka persidangan, Iskandar mengaku banyak dicecar mengenai proyek yang lahir dari perut dinasnya itu. Termasuk hal-hal teknis yang berkaitan dengan alasan pemutusan kontrak yang dinilai penasehat hukum terdakwa kurang tepat.
Disampaikan Iskandar, kalau pemutusan kontrak itu tentu tidak dilakukan secara sepihak atau sewenang-wenang, melainkan telah melalui kajian teknis oleh konsultan pengawas (supervisi) yang dikerjasamakan secara resmi oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) PUPR Kalbar yang notabene menggunakan dana APBD.
“Kasus ini kan awalnya mencuat dan heboh di media sosial gara-gara excavator yang disediakan pelaksana terguling di tepi sungai, setelah pihak pelaksana mencoba melakukan pemancangan tiang dermaga menggunakan excavator dari darat, yang padahal itu jelas-jelas menyalahi persyaratan teknis pengerjaan,” kata dia.
“Harusnya pakai crane, jadi dari arah sungai tiang itu dipancangkan. Kan pontonnya sudah ada di situ untuk (membawa) crane. Tapi hingga sampai Desember tidak pernah dilaporkan keberadaan/mobilisasi crane,” timpalnya.
Itu artinya pelaksana tidak ada niat untuk melaksanakan kegiatan sesuai kontrak, mengganti pengadaan crane itu dengan excavator guna efesiensi, lantaran harga sewanya yang lebih murah. Padahal keberadaan crane itu sendiri sangatlah vital—dan memang akhirnya terbukti berakibat fatal karena diabaikan. Dan benar saja, pada Januari 2023, buntut insiden tergulingnya excavator tersebut menjadi persoalan hukum hingga saat ini.
“Kita sudah ingatkan berkali-kali, pakai crane, pemancangan tiangnya dari sungai, bukan dari darat. Crane itu sudah ada biayanya, jangan diubah-ubah dengan excavator, dan itu salah, tidak diizinkan. Crane itu ada tertuang dalam penawaran dan bagian dari nilai kontrak, jangan diubah-ubah jika ingin mengubah harus mengajukan penawaran baru dan mendapat perrimbangan teknis dari konsultannya,” tegas Iskandar.
“Penasehat hukum dan hakim kan hanya bertanya (saat sidang), kenapa diputus kontrak, kan? Saya (jawab) tidak pernah memerintahkan putus kontrak, saya bilang saya hanya menyarankan—sesuai ketentuan, saya menyarankan dua opsi (waktu rapat pertimbangan, red), yakni putus kontrak atau memberikan kesempatan, dan itu harus melalui kajian dan juga berdasarkan ketentuan yang berlaku. Jadi tidak ada hubungannya dengan Pak Sutarmidji, apa hubungannya melaksanakan ketentuan kontrak dengan Pak Sutarmidji dan itu terlalu mengada-ada atau fitnah?” kata dia.
“Tapi dituliskan dalam narasi berita online tersebut (berita fitnah)—ketika memberikan kesaksian di sidang—Iskandar Zulkarnaen menyebutkan pemutusan kontrak proyek waterfront Sambas atas perintah atasannya, atau Gubernur Kalbar saat itu Sutarmidji,” kata Iskandar merasa heran.
Menurut Iskandar lagi, ia bahkan sudah bertanya ke beberapa orang yg mengikuti persidangan, pasca pemberitaan itu terbit, apakah ada dirinya menyebutkan perintah pimpinan atau menyebut Sutarmidji di persidangan—dalam konteks pemutusan kontrak terhadap pekerja proyek waterfront Sambas, dan dijawab tidak ada.
“Ini tiba-tiba membuat narasi atas perintah Pak Sutarmidji. Ini menurut saya fitnah. Ini korelasinya dengan hukum, ‘perintah’, ‘komando’ yang salah, (karena) bukan kapasitas beliau. Apa hubungan Pak Sutarmidji (gubernur) memerintahkan ini (pemutusan kontrak)? Yang berkontrak itu PPK dan pelaksana,” kata Iskandar.
“Saya saja sebagai Kepala Dinas PUPR, sebagai Pengguna Anggaran, tidak dapat memerintahkan PPK memutus kontrak, melainkan memberikan saran, agar (proses pekerjaan) kembali pada aturan, dan saya rasa PPK sudah melakukan pertimbangan teknis (sesuai ketentuan kontrak) untuk memutus kontrak,” terangnya lagi.
Atas berita bohong alias hoaks itu, Iskandar menyatakan kalau pihaknya akan mengambil jalur hukum untuk memberikan somasi. Somasi itu akan dilayangkannya sesuai mekanisme yang ada.
“Somasi ini juga dilakukan tidak serampangan dan tidak emosional. Mereka (pembuat berita) harus menjelaskan, sumber dan dasar berita mereka dari mana? Apakah mereka berada di dalam persidangan atau tidak? Ada satu media online yang judul awalnya menuliskan nama Pak Sutarmidji, belakangan diganti menjadi diksi ‘atasan’, belakangan lagi beritanya sudah hilang. Tapi kami sudah simpan (bukti) tangkapan layar pemberitaan tersebut,” jelasnya.
Iskandar pun menambahkan, kalau ia sebenarnya sangat menghormati para pekerja media, tanpa memandang dari media manapun, ia selalu menerima dengan baik permintaan wawancara maupun konfirmasi. Karena menurutnya, media massa juga merupakan mitra pemerintah dalam memberikan informasi seputar pembangunan dan edukasi terhadap masyarakat.
“Hanya saya sangat menyayangkan, kenapa (untuk yang satu ini) tidak konfirmasi dulu. Padahal saya sudah bilang itu tidak benar, tidak ada saya ngomong seperti itu, tapi entah kenapa tetap juga ditulis demikian,” sesalnya.
“Somasi ini terpaksa saya lakukan, karena pemberitaan yang dibuat oleh sejumlah media itu sudah terlanjur menjadi opini di publik. Dan saya rasa fair kalau saya melayangkan somasi secara resmi,” tutup Iskandar. (Jau)
Comment