Shopping cart
Your cart empty!
Terms of use dolor sit amet consectetur, adipisicing elit. Recusandae provident ullam aperiam quo ad non corrupti sit vel quam repellat ipsa quod sed, repellendus adipisci, ducimus ea modi odio assumenda.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Do you agree to our terms? Sign up
|
|
Oleh : Jauhari Fatria |
| Jumat, 16 Mei 2025 |
KALBARONLINE.com – Setelah Gubernur dan Wakil Gubernur Kalbar, Ria Norsan dan Krisantus menyatakan penolakan terhadap pendekatan barak militer ala Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi dalam membina anak-anak bermasalah, giliran Ketua Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah (KPPAD) Kalbar, Eka Nurhayati Ishak, angkat bicara. Ia menyampaikan pandangannya soal relevansi pendekatan tersebut jika diterapkan di Kalimantan Barat.
Menurut Eka, pendekatan seperti itu tetap bisa jadi alternatif pembinaan, selama tidak melanggar hak anak dan tidak melibatkan kekerasan dalam bentuk apa pun. Untuk anak yang berhadapan dengan hukum, penanganannya wajib mengikuti UU Sistem Peradilan Pidana Anak, termasuk melibatkan KPPAD dan pihak terkait, serta memungkinkan diversi jika memenuhi syarat.
Namun untuk anak-anak yang belum berstatus hukum dan masih dalam tahap pencegahan, pendekatannya harus berbeda. Ia menyebutkan, selain barak militer, ada opsi lain yang ramai dibicarakan belakangan ini, yakni menitipkan anak-anak bermasalah ke pondok pesantren. Keduanya, menurutnya, harus dipahami dalam konteks yang tepat.
Tanpa bermaksud men-downgrade peran pondok pesantren dalam sistem pendidikan di Indonesia, Eka menegaskan bahwa setiap lembaga memiliki fungsi dan kapasitas masing-masing. Menurutnya, pembinaan terhadap anak-anak bermasalah yang belum berstatus hukum tetap membutuhkan pendekatan yang kontekstual dan tidak bisa dipukul rata. Kedua opsi ini harus dipahami sesuai dengan tujuan dan karakter lembaganya.
“Pesantren itu lembaga pendidikan agama. 99 persen kurikulumnya fokus pada pengajaran agama. Kalau anak-anak bermasalah dicampur di situ, justru akan mengganggu anak-anak yang sedang fokus belajar agama,” katanya kepada wartawan belum lama ini.
Berbeda dengan barak militer yang bisa difungsikan sebagai tempat pembinaan karakter, selama tidak ada pelanggaran terhadap hak anak.
“Kalau di dalamnya ada nilai-nilai disiplin, bela negara, cinta tanah air, tanggung jawab, tanpa kekerasan fisik atau psikis, maka barak militer bisa jadi ruang pembentukan karakter,” ujarnya.
Ia juga menyampaikan keprihatinan terhadap semakin minimnya pendidikan moral dan nasionalisme dalam sistem pendidikan formal. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan kenapa ia tidak menolak wacana barak militer, selama tidak ada unsur kekerasan.
“Kecuali ada tindakan seperti memukul, menampar, atau merundung, itu sudah masuk pelanggaran hak anak dan harus diproses hukum. Tapi kalau pembinaannya murni pendidikan karakter, itu bisa jadi alternatif,” jelas Eka.
Eka mengungkapkan bahwa jumlah anak yang berhadapan dengan hukum di Kalimantan Barat dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan tren kenaikan.
“Kalau lihat trennya, ya naik. Ini karena anak-anak sekarang perlu lebih banyak diberikan kesadaran soal cinta tanah air dan pembentukan karakter,” ungkap Eka.
Ia menilai, salah satu penyebabnya adalah lemahnya karakter dasar anak dalam menghadapi proses kehidupan. Anak-anak kini cenderung serba instan dan minim empati.
“Anak-anak sekarang ini mentalnya sudah mulai bergeser. Ada yang kami sebut ‘mental tempe, mental TikTok’. Semua serba instan. Mereka tidak tahu apa itu proses. Tidak tahu apa itu rasa sakit dalam perjuangan,” jelasnya.
Eka juga menyoroti perubahan cara belajar generasi sekarang. Dulu anak harus membuka buku untuk memahami pelajaran, sekarang hanya perlu membuka Google.
“Mereka tidak lagi tahu bagaimana cara membaca buku dengan tekun. Semua hal sekarang tinggal search, tinggal klik. Akibatnya, mereka kehilangan kemampuan bertahan, memahami proses, dan itu berdampak pada pembentukan karakter mereka,” katanya.
Menurut Eka, penting untuk tidak serta-merta mengalihkan anak-anak bermasalah ke lembaga pendidikan seperti pesantren tanpa mempertimbangkan dampaknya. Ia mengingatkan bahwa pesantren memiliki kultur dan struktur pendidikan yang sangat spesifik, dan ketika anak-anak yang membutuhkan perhatian khusus dicampurkan begitu saja, justru bisa menimbulkan persoalan baru—baik bagi anak itu sendiri maupun lingkungan pesantren.
“Kalau misalnya dilarikan ke pondok pesantren, sangat sayang. Kenapa? Anak-anak di pesantren itu fokusnya menghafal, ngaji, bangun subuh, tahajud. Ketika mereka harus berbagi ruang dengan anak-anak yang belum bisa mengikuti ritme itu, justru akan jadi PR besar untuk para guru atau pengasuh ponpes. Akhirnya, anak-anak yang sedang fokus belajar ini bisa ikut terkontaminasi,” pungkasnya. (Lid/FikA/Jau)
KALBARONLINE.com – Setelah Gubernur dan Wakil Gubernur Kalbar, Ria Norsan dan Krisantus menyatakan penolakan terhadap pendekatan barak militer ala Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi dalam membina anak-anak bermasalah, giliran Ketua Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah (KPPAD) Kalbar, Eka Nurhayati Ishak, angkat bicara. Ia menyampaikan pandangannya soal relevansi pendekatan tersebut jika diterapkan di Kalimantan Barat.
Menurut Eka, pendekatan seperti itu tetap bisa jadi alternatif pembinaan, selama tidak melanggar hak anak dan tidak melibatkan kekerasan dalam bentuk apa pun. Untuk anak yang berhadapan dengan hukum, penanganannya wajib mengikuti UU Sistem Peradilan Pidana Anak, termasuk melibatkan KPPAD dan pihak terkait, serta memungkinkan diversi jika memenuhi syarat.
Namun untuk anak-anak yang belum berstatus hukum dan masih dalam tahap pencegahan, pendekatannya harus berbeda. Ia menyebutkan, selain barak militer, ada opsi lain yang ramai dibicarakan belakangan ini, yakni menitipkan anak-anak bermasalah ke pondok pesantren. Keduanya, menurutnya, harus dipahami dalam konteks yang tepat.
Tanpa bermaksud men-downgrade peran pondok pesantren dalam sistem pendidikan di Indonesia, Eka menegaskan bahwa setiap lembaga memiliki fungsi dan kapasitas masing-masing. Menurutnya, pembinaan terhadap anak-anak bermasalah yang belum berstatus hukum tetap membutuhkan pendekatan yang kontekstual dan tidak bisa dipukul rata. Kedua opsi ini harus dipahami sesuai dengan tujuan dan karakter lembaganya.
“Pesantren itu lembaga pendidikan agama. 99 persen kurikulumnya fokus pada pengajaran agama. Kalau anak-anak bermasalah dicampur di situ, justru akan mengganggu anak-anak yang sedang fokus belajar agama,” katanya kepada wartawan belum lama ini.
Berbeda dengan barak militer yang bisa difungsikan sebagai tempat pembinaan karakter, selama tidak ada pelanggaran terhadap hak anak.
“Kalau di dalamnya ada nilai-nilai disiplin, bela negara, cinta tanah air, tanggung jawab, tanpa kekerasan fisik atau psikis, maka barak militer bisa jadi ruang pembentukan karakter,” ujarnya.
Ia juga menyampaikan keprihatinan terhadap semakin minimnya pendidikan moral dan nasionalisme dalam sistem pendidikan formal. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan kenapa ia tidak menolak wacana barak militer, selama tidak ada unsur kekerasan.
“Kecuali ada tindakan seperti memukul, menampar, atau merundung, itu sudah masuk pelanggaran hak anak dan harus diproses hukum. Tapi kalau pembinaannya murni pendidikan karakter, itu bisa jadi alternatif,” jelas Eka.
Eka mengungkapkan bahwa jumlah anak yang berhadapan dengan hukum di Kalimantan Barat dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan tren kenaikan.
“Kalau lihat trennya, ya naik. Ini karena anak-anak sekarang perlu lebih banyak diberikan kesadaran soal cinta tanah air dan pembentukan karakter,” ungkap Eka.
Ia menilai, salah satu penyebabnya adalah lemahnya karakter dasar anak dalam menghadapi proses kehidupan. Anak-anak kini cenderung serba instan dan minim empati.
“Anak-anak sekarang ini mentalnya sudah mulai bergeser. Ada yang kami sebut ‘mental tempe, mental TikTok’. Semua serba instan. Mereka tidak tahu apa itu proses. Tidak tahu apa itu rasa sakit dalam perjuangan,” jelasnya.
Eka juga menyoroti perubahan cara belajar generasi sekarang. Dulu anak harus membuka buku untuk memahami pelajaran, sekarang hanya perlu membuka Google.
“Mereka tidak lagi tahu bagaimana cara membaca buku dengan tekun. Semua hal sekarang tinggal search, tinggal klik. Akibatnya, mereka kehilangan kemampuan bertahan, memahami proses, dan itu berdampak pada pembentukan karakter mereka,” katanya.
Menurut Eka, penting untuk tidak serta-merta mengalihkan anak-anak bermasalah ke lembaga pendidikan seperti pesantren tanpa mempertimbangkan dampaknya. Ia mengingatkan bahwa pesantren memiliki kultur dan struktur pendidikan yang sangat spesifik, dan ketika anak-anak yang membutuhkan perhatian khusus dicampurkan begitu saja, justru bisa menimbulkan persoalan baru—baik bagi anak itu sendiri maupun lingkungan pesantren.
“Kalau misalnya dilarikan ke pondok pesantren, sangat sayang. Kenapa? Anak-anak di pesantren itu fokusnya menghafal, ngaji, bangun subuh, tahajud. Ketika mereka harus berbagi ruang dengan anak-anak yang belum bisa mengikuti ritme itu, justru akan jadi PR besar untuk para guru atau pengasuh ponpes. Akhirnya, anak-anak yang sedang fokus belajar ini bisa ikut terkontaminasi,” pungkasnya. (Lid/FikA/Jau)
Bayar Sekarang, Tahu Lebih Banyak
Masukkan nomor WhatsApp Anda untuk mendapatkan akses penuh ke berita premium ini