Shopping cart
Your cart empty!
Terms of use dolor sit amet consectetur, adipisicing elit. Recusandae provident ullam aperiam quo ad non corrupti sit vel quam repellat ipsa quod sed, repellendus adipisci, ducimus ea modi odio assumenda.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Do you agree to our terms? Sign up
|
|
Oleh : Jauhari Fatria |
| Minggu, 10 Februari 2019 |
Oleh: Rhoni Rodin
KalbarOnline, Opini –
Memasuki perubahan iklim informasi era digital seperti sekarang ini,
perpustakaan dan pustakawan harus membuka mata hati untuk bersinergi dengan
perubahan. Perpustakaan dan pustakawan harus dapat menakar ulang seberapa besar
perannya dalam retrospeksi dan reposisi di era disrupsi teknologi seperti
sekarang ini. Walaupun zaman terus berkembang, perpustakaan senantiasa memegang
peranan penting sebagai sumber ilmu pengetahuan. Terlebih lagi di era industry
4.0.
Saat ini perpustakaan tidak bisa lagi dikelola secara
konvensional. Sesjen Kementerian Ristekdikti, Ainun (2018) mengatakan bahwa
perpustakaan harus bertransformasi mengikuti perkembangan teknologi agar dapat
menjawab kebutuhan masyarakat. Perpustakaan kedepannya tidak hanya menjadi
tempat berkumpul untuk membaca buku ataupun mencari informasi, namun
perpustakaan dapat menjadi working space
tempat munculnya inovasi-inovasi baru dan pengembangan kreativitas.
Perpustakaan juga dapat menjadi suatu virtual office yang menjadi wadah bagi generasi muda untuk menambah
wawasan dan mengembangkan kreativitas dan inovasi-inovasi yang konstrukif..
Revolusi Industri 4.0
Istilah Industri 4.0 sendiri secara resmi lahir di Jerman
tepatnya saat diadakan Hannover Fair pada tahun 2011 (Kagermann dkk, 2011).
Negara Jerman memiliki kepentingan yang besar terkait hal ini karena Industri
4.0 menjadi bagian dari kebijakan rencana pembangunannya yang disebut High-Tech Strategy 2020.
Kebijakan tersebut bertujuan untuk mempertahankan Jerman
agar selalu menjadi yang terdepan dalam dunia manufaktur (Heng, 2013). Beberapa
negara lain juga turut serta dalam mewujudkan konsep Industri 4.0 namun
menggunakan istilah yang berbeda seperti Smart
Factories, Industrial Internet of
Things, Smart Industry, atau Advanced Manufacturing.
Meski memiliki penyebutan istilah yang berbeda, semuanya
memiliki tujuan yang sama yaitu untuk meningkatkan daya saing industri tiap
negara dalam menghadapi pasar global yang sangat dinamis. Kondisi tersebut
diakibatkan oleh pesatnya perkembangan pemanfataan teknologi digital di
berbagai bidang.
Lebih lanjut, Angela Merkel (2014) berpendapat bahwa
Industri 4.0 adalah transformasi komprehensif dari keseluruhan aspek produksi
di industri melalui penggabungan teknologi digital dan internet dengan industri
konvensional. Sedangkan Schlechtendahl dkk (2015) menekankan definisi kepada
unsur kecepatan dari ketersediaan informasi, yaitu sebuah lingkungan industri
di mana seluruh entitasnya selalu terhubung dan mampu berbagi informasi satu
dengan yang lain.
Pengertian yang lebih teknis disampaikan oleh Kagermann dkk
(2013) bahwa Industri 4.0 adalah integrasi dari Cyber Physical System (CPS) dan Internet
of Things and Services (IoT dan IoS) ke dalam proses industri meliputi
manufaktur dan logistik serta proses lainnya. CPS adalah teknologi untuk
menggabungkan antara dunia nyata dengan dunia maya. Penggabungan ini dapat
terwujud melalui integrasi antara proses fisik dan komputasi (teknologi
embedded computers dan jaringan) secara close loop (Lee, 2008).
Hermann dkk (2015) menambahkan bahwa Industri 4.0 adalah
istilah untuk menyebut sekumpulan teknologi dan organisasi rantai nilai berupa
smart factory, CPS, IoT dan IoS. Smart factory adalah pabrik modular dengan
teknologi CPS yang memonitor proses fisik produksi kemudian menampilkannya
secara virtual dan melakukan desentralisasi pengambilan keputusan.
Melalui IoT, CPS mampu saling berkomunikasi dan bekerja sama
secara real time termasuk dengan manusia. IoS adalah semua aplikasi layanan
yang dapat dimanfaatkan oleh setiap pemangku kepentingan baik secara internal
maupun antar organisasi.
Revolusi industri 4.0 merupakan integrasi antara dunia
internet atau online dengan dunia usaha atau produksi di sebuah industri.
Artinya, semua proses produksi ditopang dengan internet. Menteri Perindustrian,
Airlangga Hartarto mengatakan bahwa revolusi industri 4.0 merupakan sesuatu
yang tidak bisa dihindarkan, namun menjadi peluang baru, sehingga Indonesia
perlu mempersiapkan diri.
Revolusi Industri 4.0 berjalan secara eksponensial.
Kemungkinan miliaran manusia akan terhubung mobile devices, dengan kemampuan
dan kekuatan untuk memproses, menyimpan, dan mengakses pengetahuan melalui
internet, sangat tidak terbatas. Luasan serta kedalaman dampak perubahan telah,
sedang, dan akan mentransformasi sistem produksi, manajemen, serta tata kelola
pemerintahan.
Perpustakaan:
Transformasi dan Disrupsi
Sis Ismiyati (2018) mengatakan bahwa ada beberapa kiat-kiat
yang harus dijalankan oleh pengelola perpustakaan agar perpustakaan tidak
semakin tergerus oleh dahsyatnya perkembangan globalisasi saat ini. Perpustakaan harus berani merubah mindset
yang awalnya sebagai pusat informasi, saat ini harus berubah tidak hanya menjadi
pusat informasi saja, tetapi harus sebagai pusat aktivitas.
Perpustakaan harus siap berbenah diri, perpustakaan harus
siap bertransformasi. Perpustakaan menjadi tempat untuk mempersiapkan
pemustakanya menjadi penuh kemampuan (skillfull) bukan hanya dengan teori
(pengetahuan) semata, namun juga melalui praktikum, dengan aktivitas yang mendukung
sesuai kreativitasnya.
Sementara itu, Erland Cahyo Saputro (2018) menambahkan dalam
upaya menghadapi tantangan di era 4.0 ini adalah perpustakaan harus berani
beradaptasi terhadap perkembangan teknologi saat ini, tidak menutup diri atas
kemajuan teknologi, sebab perpustakaan memiliki peran penting sebagai pusat
sumber ilmu pengetahuan. Sedangkan saat ini, di era yang serba instant seperti
sekarang ini, masyarakat menginginkan informasi yang cepat dan mudah aksesnya.
Sedangkan, Muhammad Rohmadi (2018) menyatakan bahwa kunci
awal dalam menghadapi teknologi era 4.0 ini adalah dimulai dari pengelola atau
pustakawannya. Pustakawan harus open minded terhadap kemajuan teknologi. Adapun
kepemimpinan, kegigihan seorang pustakawan menjadi kunci awal keberhasilan
dalam menghadapi era 4.0 ini.
Perpustakaan harus aktif menjalin kerjasama (networking)
dengan perpustakaan yang lain, karena perpustakaan pasti memiliki kekurangan
dan kelebihannya masing-masing. Dengan aktif menjalin kerjasama dan saling
bersinergi antar perpustakaan, maka perpustakaan sebagai pusat ilmu
pengetahuan, sebagai pusat aktivitas dan sebagai pusat rekreasi akan semakin
dapat dirasakan kemanfaatannya oleh masyarakat secara luas.
Transformasi ini juga disambut berbagai industri,
pemerintahan, lembaga pendidikan bahkan perpustakaan. Semua berusaha untuk
menyesuaikan dan menyelaraskan dengan perubahan iklim informasi era digital
yang menantang seperti sekarang ini.
Contoh, transformasi teknologi digital oleh industri besar
sektor manufaktur, akan tetapi masih tidak sejalan dengan peningkatan
kompetensi tenaga kerja dan mengakibatkan banyak tenaga kerja yang terpangkas
secara perlahan karena kurangnya kompetensi mereka akibat disrupsi digital (
Kompas, Sabtu 24 November 2018 halaman 1 ).
Contoh lain adalah disrupsi teknologi pada perusahaan
pengelola jalan tol. Lihatlah kisah mereka. Jalan favorit para pengendara yang
ingin melintas dengan cepat dan tepat waktu, dulu dijaga oleh pegawai di setiap
pintu sehingga membutuhkan SDM yang banyak untuk memperlancar arus kendaraan
sistem cepat tanpa macet.
Ribuan tenaga dibutuhkan dalam operasional setiap harinya.
Tapi keadaan sekarang bagaimana? Mereka terdampak disrupsi teknologi tanpa
ampun. Mereka yang berjumlah ribuan, tiba-tiba harus diberhentikan dan
digantikan dengan mesin pembaca barcode. Benda kecil yang praktis untuk
menjalankan operasional sesuai harapan manajemen. Lalu mereka dikemanakan?
Apakah mereka masih bekerja atau di PHK?
Apakah nasib pustakawan akan berujung sama seperti mereka?
Bisa jadi iya. Apabila pustakawan masih pasif, tidak mau memperbaharui ilmu,
maka lambat laun mereka akan tersingkir layaknya pekerja jalan tol. Betapa
tragis dan memilukan apabila hal tersebut benar terjadi. Pustakawan dapat
belajar dari hal tersebut. Bahwa kebutuhan manusia saat ini tertuju pada
perubahan yang sangat besar. Dan di sinilah peran profesional pustakawan harus ditunjukkan.
Oleh karena itu, pustakawan harus up to date, menerima, memaknai dan menjalankan perubahan dengan
sikap dan tindakan nyata melalui karya-karya dan inovasi bidang kepustakawaan.
Pustakawan harus menyesuaikan perkembangan dan meningkatkan profesionalitas
bidang teknologi, manajemen, relationship,
membangun daya saing dengan menyajikan konten digital yang beragam.
Pustakawan harus menjadi partner informasi generasi milenial
melalui pelaksanaan tupoksi yang dijalankan secara optimal. Merekalah
pustakawan singkong keju, pustakawan peka zaman yang sangat menggoda untuk
dikunjungi oleh pemustaka.
Begitu juga perpustakaannya, juga harus menerima kemajuan
teknologi informasi. Implementasi teknologi dalam hal ini Teknologi Informasi
bukan merupakan hal yang mudah dan murah. Untuk itu apabila perpustakaan ingin
mengimplementasikan Teknologi Informasi dalam layanan dan aktifitasnya perlu
direncanakan secara matang.
Hal ini untuk mengantisipasi agar tidak ada kesia-siaan
dalam perencanaan dan pengembangan yang berakibat pula pada pemborosan waktu,
tenaga, pikiran dan keuangan. Menurut Arif Surachman, ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan dan dipertimbangkan dalam rangka penerapan Teknologi
Informasi pada perpustakaan, yakni: Dukungan Top Manajemen/ Lembaga Induk;
Kesinambungan/ Kontinuitas; Perawatan dan Pemeliharaan; Sumber Daya Manusia;
Infrastruktur Lainnya seperti Listrik, Ruang/ Gedung, Furniture, Interior
Design, Jaringan Komputer, dsbnya; Pengguna Perpustakaan seperti faktor
kebutuhan, kenyamanan, pendidikan pengguna, kondisi pengguna, dan lain-lain.
Hal-hal inilah yang akan menentukan sejauh mana penerapan
Teknologi dan Informasi di perpustakaan khususnya di layanan perpustakaan dapat
berjalan dengan baik. Beberapa hal inilah yang menjadi starting point
perpustakaan dalam menghadapi era industri 4.0.
Berangkat dari pemaparan di atas, perpustakaan hendaknya
menyikapi kemajuan teknologi informasi terutama era industry 4.0 sekarang ini
secara bijak dan terbuka. Perpustakaan harus menyikapinya secara positif
sehingga perpustakaan tidak ditinggalkan oleh para penggunanya. Era industri
4.0 ini menjadi cambuk bagi perpustakaan dan pustakawan untuk berbenah dan
melakukan yang terbaik untuk eksistensi perpustakaan di tengah masyarakat
sehingga bisa memberikan kontribusi yang positif bagi generasi-generasi yang
akan datang.
*) Penulis adalah
Dosen Prodi Ilmu Perpustakaan IAIN Curup. Tutor UT Palembang Jurusan Ilmu
Perpustakaan. Pustakawan Madya IAIN Curup.
Oleh: Rhoni Rodin
KalbarOnline, Opini –
Memasuki perubahan iklim informasi era digital seperti sekarang ini,
perpustakaan dan pustakawan harus membuka mata hati untuk bersinergi dengan
perubahan. Perpustakaan dan pustakawan harus dapat menakar ulang seberapa besar
perannya dalam retrospeksi dan reposisi di era disrupsi teknologi seperti
sekarang ini. Walaupun zaman terus berkembang, perpustakaan senantiasa memegang
peranan penting sebagai sumber ilmu pengetahuan. Terlebih lagi di era industry
4.0.
Saat ini perpustakaan tidak bisa lagi dikelola secara
konvensional. Sesjen Kementerian Ristekdikti, Ainun (2018) mengatakan bahwa
perpustakaan harus bertransformasi mengikuti perkembangan teknologi agar dapat
menjawab kebutuhan masyarakat. Perpustakaan kedepannya tidak hanya menjadi
tempat berkumpul untuk membaca buku ataupun mencari informasi, namun
perpustakaan dapat menjadi working space
tempat munculnya inovasi-inovasi baru dan pengembangan kreativitas.
Perpustakaan juga dapat menjadi suatu virtual office yang menjadi wadah bagi generasi muda untuk menambah
wawasan dan mengembangkan kreativitas dan inovasi-inovasi yang konstrukif..
Revolusi Industri 4.0
Istilah Industri 4.0 sendiri secara resmi lahir di Jerman
tepatnya saat diadakan Hannover Fair pada tahun 2011 (Kagermann dkk, 2011).
Negara Jerman memiliki kepentingan yang besar terkait hal ini karena Industri
4.0 menjadi bagian dari kebijakan rencana pembangunannya yang disebut High-Tech Strategy 2020.
Kebijakan tersebut bertujuan untuk mempertahankan Jerman
agar selalu menjadi yang terdepan dalam dunia manufaktur (Heng, 2013). Beberapa
negara lain juga turut serta dalam mewujudkan konsep Industri 4.0 namun
menggunakan istilah yang berbeda seperti Smart
Factories, Industrial Internet of
Things, Smart Industry, atau Advanced Manufacturing.
Meski memiliki penyebutan istilah yang berbeda, semuanya
memiliki tujuan yang sama yaitu untuk meningkatkan daya saing industri tiap
negara dalam menghadapi pasar global yang sangat dinamis. Kondisi tersebut
diakibatkan oleh pesatnya perkembangan pemanfataan teknologi digital di
berbagai bidang.
Lebih lanjut, Angela Merkel (2014) berpendapat bahwa
Industri 4.0 adalah transformasi komprehensif dari keseluruhan aspek produksi
di industri melalui penggabungan teknologi digital dan internet dengan industri
konvensional. Sedangkan Schlechtendahl dkk (2015) menekankan definisi kepada
unsur kecepatan dari ketersediaan informasi, yaitu sebuah lingkungan industri
di mana seluruh entitasnya selalu terhubung dan mampu berbagi informasi satu
dengan yang lain.
Pengertian yang lebih teknis disampaikan oleh Kagermann dkk
(2013) bahwa Industri 4.0 adalah integrasi dari Cyber Physical System (CPS) dan Internet
of Things and Services (IoT dan IoS) ke dalam proses industri meliputi
manufaktur dan logistik serta proses lainnya. CPS adalah teknologi untuk
menggabungkan antara dunia nyata dengan dunia maya. Penggabungan ini dapat
terwujud melalui integrasi antara proses fisik dan komputasi (teknologi
embedded computers dan jaringan) secara close loop (Lee, 2008).
Hermann dkk (2015) menambahkan bahwa Industri 4.0 adalah
istilah untuk menyebut sekumpulan teknologi dan organisasi rantai nilai berupa
smart factory, CPS, IoT dan IoS. Smart factory adalah pabrik modular dengan
teknologi CPS yang memonitor proses fisik produksi kemudian menampilkannya
secara virtual dan melakukan desentralisasi pengambilan keputusan.
Melalui IoT, CPS mampu saling berkomunikasi dan bekerja sama
secara real time termasuk dengan manusia. IoS adalah semua aplikasi layanan
yang dapat dimanfaatkan oleh setiap pemangku kepentingan baik secara internal
maupun antar organisasi.
Revolusi industri 4.0 merupakan integrasi antara dunia
internet atau online dengan dunia usaha atau produksi di sebuah industri.
Artinya, semua proses produksi ditopang dengan internet. Menteri Perindustrian,
Airlangga Hartarto mengatakan bahwa revolusi industri 4.0 merupakan sesuatu
yang tidak bisa dihindarkan, namun menjadi peluang baru, sehingga Indonesia
perlu mempersiapkan diri.
Revolusi Industri 4.0 berjalan secara eksponensial.
Kemungkinan miliaran manusia akan terhubung mobile devices, dengan kemampuan
dan kekuatan untuk memproses, menyimpan, dan mengakses pengetahuan melalui
internet, sangat tidak terbatas. Luasan serta kedalaman dampak perubahan telah,
sedang, dan akan mentransformasi sistem produksi, manajemen, serta tata kelola
pemerintahan.
Perpustakaan:
Transformasi dan Disrupsi
Sis Ismiyati (2018) mengatakan bahwa ada beberapa kiat-kiat
yang harus dijalankan oleh pengelola perpustakaan agar perpustakaan tidak
semakin tergerus oleh dahsyatnya perkembangan globalisasi saat ini. Perpustakaan harus berani merubah mindset
yang awalnya sebagai pusat informasi, saat ini harus berubah tidak hanya menjadi
pusat informasi saja, tetapi harus sebagai pusat aktivitas.
Perpustakaan harus siap berbenah diri, perpustakaan harus
siap bertransformasi. Perpustakaan menjadi tempat untuk mempersiapkan
pemustakanya menjadi penuh kemampuan (skillfull) bukan hanya dengan teori
(pengetahuan) semata, namun juga melalui praktikum, dengan aktivitas yang mendukung
sesuai kreativitasnya.
Sementara itu, Erland Cahyo Saputro (2018) menambahkan dalam
upaya menghadapi tantangan di era 4.0 ini adalah perpustakaan harus berani
beradaptasi terhadap perkembangan teknologi saat ini, tidak menutup diri atas
kemajuan teknologi, sebab perpustakaan memiliki peran penting sebagai pusat
sumber ilmu pengetahuan. Sedangkan saat ini, di era yang serba instant seperti
sekarang ini, masyarakat menginginkan informasi yang cepat dan mudah aksesnya.
Sedangkan, Muhammad Rohmadi (2018) menyatakan bahwa kunci
awal dalam menghadapi teknologi era 4.0 ini adalah dimulai dari pengelola atau
pustakawannya. Pustakawan harus open minded terhadap kemajuan teknologi. Adapun
kepemimpinan, kegigihan seorang pustakawan menjadi kunci awal keberhasilan
dalam menghadapi era 4.0 ini.
Perpustakaan harus aktif menjalin kerjasama (networking)
dengan perpustakaan yang lain, karena perpustakaan pasti memiliki kekurangan
dan kelebihannya masing-masing. Dengan aktif menjalin kerjasama dan saling
bersinergi antar perpustakaan, maka perpustakaan sebagai pusat ilmu
pengetahuan, sebagai pusat aktivitas dan sebagai pusat rekreasi akan semakin
dapat dirasakan kemanfaatannya oleh masyarakat secara luas.
Transformasi ini juga disambut berbagai industri,
pemerintahan, lembaga pendidikan bahkan perpustakaan. Semua berusaha untuk
menyesuaikan dan menyelaraskan dengan perubahan iklim informasi era digital
yang menantang seperti sekarang ini.
Contoh, transformasi teknologi digital oleh industri besar
sektor manufaktur, akan tetapi masih tidak sejalan dengan peningkatan
kompetensi tenaga kerja dan mengakibatkan banyak tenaga kerja yang terpangkas
secara perlahan karena kurangnya kompetensi mereka akibat disrupsi digital (
Kompas, Sabtu 24 November 2018 halaman 1 ).
Contoh lain adalah disrupsi teknologi pada perusahaan
pengelola jalan tol. Lihatlah kisah mereka. Jalan favorit para pengendara yang
ingin melintas dengan cepat dan tepat waktu, dulu dijaga oleh pegawai di setiap
pintu sehingga membutuhkan SDM yang banyak untuk memperlancar arus kendaraan
sistem cepat tanpa macet.
Ribuan tenaga dibutuhkan dalam operasional setiap harinya.
Tapi keadaan sekarang bagaimana? Mereka terdampak disrupsi teknologi tanpa
ampun. Mereka yang berjumlah ribuan, tiba-tiba harus diberhentikan dan
digantikan dengan mesin pembaca barcode. Benda kecil yang praktis untuk
menjalankan operasional sesuai harapan manajemen. Lalu mereka dikemanakan?
Apakah mereka masih bekerja atau di PHK?
Apakah nasib pustakawan akan berujung sama seperti mereka?
Bisa jadi iya. Apabila pustakawan masih pasif, tidak mau memperbaharui ilmu,
maka lambat laun mereka akan tersingkir layaknya pekerja jalan tol. Betapa
tragis dan memilukan apabila hal tersebut benar terjadi. Pustakawan dapat
belajar dari hal tersebut. Bahwa kebutuhan manusia saat ini tertuju pada
perubahan yang sangat besar. Dan di sinilah peran profesional pustakawan harus ditunjukkan.
Oleh karena itu, pustakawan harus up to date, menerima, memaknai dan menjalankan perubahan dengan
sikap dan tindakan nyata melalui karya-karya dan inovasi bidang kepustakawaan.
Pustakawan harus menyesuaikan perkembangan dan meningkatkan profesionalitas
bidang teknologi, manajemen, relationship,
membangun daya saing dengan menyajikan konten digital yang beragam.
Pustakawan harus menjadi partner informasi generasi milenial
melalui pelaksanaan tupoksi yang dijalankan secara optimal. Merekalah
pustakawan singkong keju, pustakawan peka zaman yang sangat menggoda untuk
dikunjungi oleh pemustaka.
Begitu juga perpustakaannya, juga harus menerima kemajuan
teknologi informasi. Implementasi teknologi dalam hal ini Teknologi Informasi
bukan merupakan hal yang mudah dan murah. Untuk itu apabila perpustakaan ingin
mengimplementasikan Teknologi Informasi dalam layanan dan aktifitasnya perlu
direncanakan secara matang.
Hal ini untuk mengantisipasi agar tidak ada kesia-siaan
dalam perencanaan dan pengembangan yang berakibat pula pada pemborosan waktu,
tenaga, pikiran dan keuangan. Menurut Arif Surachman, ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan dan dipertimbangkan dalam rangka penerapan Teknologi
Informasi pada perpustakaan, yakni: Dukungan Top Manajemen/ Lembaga Induk;
Kesinambungan/ Kontinuitas; Perawatan dan Pemeliharaan; Sumber Daya Manusia;
Infrastruktur Lainnya seperti Listrik, Ruang/ Gedung, Furniture, Interior
Design, Jaringan Komputer, dsbnya; Pengguna Perpustakaan seperti faktor
kebutuhan, kenyamanan, pendidikan pengguna, kondisi pengguna, dan lain-lain.
Hal-hal inilah yang akan menentukan sejauh mana penerapan
Teknologi dan Informasi di perpustakaan khususnya di layanan perpustakaan dapat
berjalan dengan baik. Beberapa hal inilah yang menjadi starting point
perpustakaan dalam menghadapi era industri 4.0.
Berangkat dari pemaparan di atas, perpustakaan hendaknya
menyikapi kemajuan teknologi informasi terutama era industry 4.0 sekarang ini
secara bijak dan terbuka. Perpustakaan harus menyikapinya secara positif
sehingga perpustakaan tidak ditinggalkan oleh para penggunanya. Era industri
4.0 ini menjadi cambuk bagi perpustakaan dan pustakawan untuk berbenah dan
melakukan yang terbaik untuk eksistensi perpustakaan di tengah masyarakat
sehingga bisa memberikan kontribusi yang positif bagi generasi-generasi yang
akan datang.
*) Penulis adalah
Dosen Prodi Ilmu Perpustakaan IAIN Curup. Tutor UT Palembang Jurusan Ilmu
Perpustakaan. Pustakawan Madya IAIN Curup.
Bayar Sekarang, Tahu Lebih Banyak
Masukkan nomor WhatsApp Anda untuk mendapatkan akses penuh ke berita premium ini