Kolom    

Perpustakaan dan Era Industri 4.0

Oleh : Jauhari Fatria
Minggu, 10 Februari 2019
WhatsApp Icon
Ukuran Font
Kecil Besar

Oleh: Rhoni Rodin

KalbarOnline, Opini –

Memasuki perubahan iklim informasi era digital seperti sekarang ini,

perpustakaan dan pustakawan harus membuka mata hati untuk bersinergi dengan

perubahan. Perpustakaan dan pustakawan harus dapat menakar ulang seberapa besar

perannya dalam retrospeksi dan reposisi di era disrupsi teknologi seperti

sekarang ini. Walaupun zaman terus berkembang, perpustakaan senantiasa memegang

peranan penting sebagai sumber ilmu pengetahuan. Terlebih lagi di era industry

4.0.

Saat ini perpustakaan tidak bisa lagi dikelola secara

konvensional. Sesjen Kementerian Ristekdikti, Ainun (2018) mengatakan bahwa

perpustakaan harus bertransformasi mengikuti perkembangan teknologi agar dapat

menjawab kebutuhan masyarakat. Perpustakaan kedepannya tidak hanya menjadi

tempat berkumpul untuk membaca buku ataupun mencari informasi, namun

perpustakaan dapat menjadi working space

tempat munculnya inovasi-inovasi baru dan pengembangan kreativitas.

Perpustakaan juga dapat menjadi suatu virtual office yang menjadi wadah bagi generasi muda untuk menambah

wawasan dan mengembangkan kreativitas dan inovasi-inovasi yang konstrukif..

Revolusi Industri 4.0

Istilah Industri 4.0 sendiri secara resmi lahir di Jerman

tepatnya saat diadakan Hannover Fair pada tahun 2011 (Kagermann dkk, 2011).

Negara Jerman memiliki kepentingan yang besar terkait hal ini karena Industri

4.0 menjadi bagian dari kebijakan rencana pembangunannya yang disebut High-Tech Strategy 2020.

Kebijakan tersebut bertujuan untuk mempertahankan Jerman

agar selalu menjadi yang terdepan dalam dunia manufaktur (Heng, 2013). Beberapa

negara lain juga turut serta dalam mewujudkan konsep Industri 4.0 namun

menggunakan istilah yang berbeda seperti Smart

Factories, Industrial Internet of

Things, Smart Industry, atau Advanced Manufacturing.

Meski memiliki penyebutan istilah yang berbeda, semuanya

memiliki tujuan yang sama yaitu untuk meningkatkan daya saing industri tiap

negara dalam menghadapi pasar global yang sangat dinamis. Kondisi tersebut

diakibatkan oleh pesatnya perkembangan pemanfataan teknologi digital di

berbagai bidang.

Lebih lanjut, Angela Merkel (2014) berpendapat bahwa

Industri 4.0 adalah transformasi komprehensif dari keseluruhan aspek produksi

di industri melalui penggabungan teknologi digital dan internet dengan industri

konvensional. Sedangkan Schlechtendahl dkk (2015) menekankan definisi kepada

unsur kecepatan dari ketersediaan informasi, yaitu sebuah lingkungan industri

di mana seluruh entitasnya selalu terhubung dan mampu berbagi informasi satu

dengan yang lain.

Pengertian yang lebih teknis disampaikan oleh Kagermann dkk

(2013) bahwa Industri 4.0 adalah integrasi dari Cyber Physical System (CPS) dan Internet

of Things and Services (IoT dan IoS) ke dalam proses industri meliputi

manufaktur dan logistik serta proses lainnya. CPS adalah teknologi untuk

menggabungkan antara dunia nyata dengan dunia maya. Penggabungan ini dapat

terwujud melalui integrasi antara proses fisik dan komputasi (teknologi

embedded computers dan jaringan) secara close loop (Lee, 2008).

Hermann dkk (2015) menambahkan bahwa Industri 4.0 adalah

istilah untuk menyebut sekumpulan teknologi dan organisasi rantai nilai berupa

smart factory, CPS, IoT dan IoS. Smart factory adalah pabrik modular dengan

teknologi CPS yang memonitor proses fisik produksi kemudian menampilkannya

secara virtual dan melakukan desentralisasi pengambilan keputusan.

Melalui IoT, CPS mampu saling berkomunikasi dan bekerja sama

secara real time termasuk dengan manusia. IoS adalah semua aplikasi layanan

yang dapat dimanfaatkan oleh setiap pemangku kepentingan baik secara internal

maupun antar organisasi.

Revolusi industri 4.0 merupakan integrasi antara dunia

internet atau online dengan dunia usaha atau produksi di sebuah industri.

Artinya, semua proses produksi ditopang dengan internet. Menteri Perindustrian,

Airlangga Hartarto mengatakan bahwa revolusi industri 4.0 merupakan sesuatu

yang tidak bisa dihindarkan, namun menjadi peluang baru, sehingga Indonesia

perlu mempersiapkan diri.

Revolusi Industri 4.0 berjalan secara eksponensial.

Kemungkinan miliaran manusia akan terhubung mobile devices, dengan kemampuan

dan kekuatan untuk memproses, menyimpan, dan mengakses pengetahuan melalui

internet, sangat tidak terbatas. Luasan serta kedalaman dampak perubahan telah,

sedang, dan akan mentransformasi sistem produksi, manajemen, serta tata kelola

pemerintahan.

Perpustakaan:

Transformasi dan Disrupsi

Sis Ismiyati (2018) mengatakan bahwa ada beberapa kiat-kiat

yang harus dijalankan oleh pengelola perpustakaan agar perpustakaan tidak

semakin tergerus oleh dahsyatnya perkembangan globalisasi saat ini.  Perpustakaan harus berani merubah mindset

yang awalnya sebagai pusat informasi, saat ini harus berubah tidak hanya menjadi

pusat informasi saja, tetapi harus sebagai pusat aktivitas.

Perpustakaan harus siap berbenah diri, perpustakaan harus

siap bertransformasi. Perpustakaan menjadi tempat untuk mempersiapkan

pemustakanya menjadi penuh kemampuan (skillfull) bukan hanya dengan teori

(pengetahuan) semata, namun juga melalui praktikum, dengan aktivitas yang mendukung

sesuai kreativitasnya.

Sementara itu, Erland Cahyo Saputro (2018) menambahkan dalam

upaya menghadapi tantangan di era 4.0 ini adalah perpustakaan harus berani

beradaptasi terhadap perkembangan teknologi saat ini, tidak menutup diri atas

kemajuan teknologi, sebab perpustakaan memiliki peran penting sebagai pusat

sumber ilmu pengetahuan. Sedangkan saat ini, di era yang serba instant seperti

sekarang ini, masyarakat menginginkan informasi yang cepat dan mudah aksesnya.

Sedangkan, Muhammad Rohmadi (2018) menyatakan bahwa kunci

awal dalam menghadapi teknologi era 4.0 ini adalah dimulai dari pengelola atau

pustakawannya. Pustakawan harus open minded terhadap kemajuan teknologi. Adapun

kepemimpinan, kegigihan seorang pustakawan menjadi kunci awal keberhasilan

dalam menghadapi era 4.0 ini.

Perpustakaan harus aktif menjalin kerjasama (networking)

dengan perpustakaan yang lain, karena perpustakaan pasti memiliki kekurangan

dan kelebihannya masing-masing. Dengan aktif menjalin kerjasama dan saling

bersinergi antar perpustakaan, maka perpustakaan sebagai pusat ilmu

pengetahuan, sebagai pusat aktivitas dan sebagai pusat rekreasi akan semakin

dapat dirasakan kemanfaatannya oleh masyarakat secara luas.

Transformasi ini juga disambut berbagai industri,

pemerintahan, lembaga pendidikan bahkan perpustakaan. Semua berusaha untuk

menyesuaikan dan menyelaraskan dengan perubahan iklim informasi era digital

yang menantang seperti sekarang ini.

Contoh, transformasi teknologi digital oleh industri besar

sektor manufaktur, akan tetapi masih tidak sejalan dengan peningkatan

kompetensi tenaga kerja dan mengakibatkan banyak tenaga kerja yang terpangkas

secara perlahan karena kurangnya kompetensi mereka akibat disrupsi digital (

Kompas, Sabtu 24 November 2018 halaman 1 ).

Contoh lain adalah disrupsi teknologi pada perusahaan

pengelola jalan tol. Lihatlah kisah mereka. Jalan favorit para pengendara yang

ingin melintas dengan cepat dan tepat waktu, dulu dijaga oleh pegawai di setiap

pintu sehingga membutuhkan SDM yang banyak untuk memperlancar arus kendaraan

sistem cepat tanpa macet.

Ribuan tenaga dibutuhkan dalam operasional setiap harinya.

Tapi keadaan sekarang bagaimana? Mereka terdampak disrupsi teknologi tanpa

ampun. Mereka yang berjumlah ribuan, tiba-tiba harus diberhentikan dan

digantikan dengan mesin pembaca barcode. Benda kecil yang praktis untuk

menjalankan operasional sesuai harapan manajemen. Lalu mereka dikemanakan?

Apakah mereka masih bekerja atau di PHK?

Apakah nasib pustakawan akan berujung sama seperti mereka?

Bisa jadi iya. Apabila pustakawan masih pasif, tidak mau memperbaharui ilmu,

maka lambat laun mereka akan tersingkir layaknya pekerja jalan tol. Betapa

tragis dan memilukan apabila hal tersebut benar terjadi. Pustakawan dapat

belajar dari hal tersebut. Bahwa kebutuhan manusia saat ini tertuju pada

perubahan yang sangat besar. Dan di sinilah peran profesional pustakawan harus ditunjukkan.

Oleh karena itu, pustakawan harus up to date, menerima, memaknai dan menjalankan perubahan dengan

sikap dan tindakan nyata melalui karya-karya dan inovasi bidang kepustakawaan.

Pustakawan harus menyesuaikan perkembangan dan meningkatkan profesionalitas

bidang teknologi, manajemen, relationship,

membangun daya saing dengan menyajikan konten digital yang beragam.

Pustakawan harus menjadi partner informasi generasi milenial

melalui pelaksanaan tupoksi yang dijalankan secara optimal. Merekalah

pustakawan singkong keju, pustakawan peka zaman yang sangat menggoda untuk

dikunjungi oleh pemustaka.

Begitu juga perpustakaannya, juga harus menerima kemajuan

teknologi informasi. Implementasi teknologi dalam hal ini Teknologi Informasi

bukan merupakan hal yang mudah dan murah. Untuk itu apabila perpustakaan ingin

mengimplementasikan Teknologi Informasi dalam layanan dan aktifitasnya perlu

direncanakan secara matang.

Hal ini untuk mengantisipasi agar tidak ada kesia-siaan

dalam perencanaan dan pengembangan yang berakibat pula pada pemborosan waktu,

tenaga, pikiran dan keuangan. Menurut Arif Surachman, ada beberapa hal yang

perlu diperhatikan dan dipertimbangkan dalam rangka penerapan Teknologi

Informasi pada perpustakaan, yakni: Dukungan Top Manajemen/ Lembaga Induk;

Kesinambungan/ Kontinuitas; Perawatan dan Pemeliharaan; Sumber Daya Manusia;

Infrastruktur Lainnya seperti Listrik, Ruang/ Gedung, Furniture, Interior

Design, Jaringan Komputer, dsbnya; Pengguna Perpustakaan seperti faktor

kebutuhan, kenyamanan, pendidikan pengguna, kondisi pengguna, dan lain-lain.

Hal-hal inilah yang akan menentukan sejauh mana penerapan

Teknologi dan Informasi di perpustakaan khususnya di layanan perpustakaan dapat

berjalan dengan baik. Beberapa hal inilah yang menjadi starting point

perpustakaan dalam menghadapi era industri 4.0.

Berangkat dari pemaparan di atas, perpustakaan hendaknya

menyikapi kemajuan teknologi informasi terutama era industry 4.0 sekarang ini

secara bijak dan terbuka. Perpustakaan harus menyikapinya secara positif

sehingga perpustakaan tidak ditinggalkan oleh para penggunanya. Era industri

4.0 ini menjadi cambuk bagi perpustakaan dan pustakawan untuk berbenah dan

melakukan yang terbaik untuk eksistensi perpustakaan di tengah masyarakat

sehingga bisa memberikan kontribusi yang positif bagi generasi-generasi yang

akan datang.

*) Penulis adalah

Dosen Prodi Ilmu Perpustakaan IAIN Curup. Tutor UT Palembang Jurusan Ilmu

Perpustakaan. Pustakawan Madya IAIN Curup.

Artikel Selanjutnya
Ulin Nuha Nahkodai PGRI Air Upas
Minggu, 10 Februari 2019
Artikel Sebelumnya
Jalan Terjal OSO Menuju Kursi DPD RI
Minggu, 10 Februari 2019

Berita terkait