Shopping cart
Your cart empty!
Terms of use dolor sit amet consectetur, adipisicing elit. Recusandae provident ullam aperiam quo ad non corrupti sit vel quam repellat ipsa quod sed, repellendus adipisci, ducimus ea modi odio assumenda.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Do you agree to our terms? Sign up
|
|
Oleh : Jauhari Fatria |
| Sabtu, 13 April 2019 |
KalbarOnline,
Pontianak – Polresta Pontianak menggelar upaya hukum diversi dalam
penanganan kasus penganiayaan siswi SMP di Kota Pontianak, AUD (14) yang
dilangsungkan di Posko Zona Integritas Mapolresta Pontianak, Kamis (11/4/2019)
malam.

Upaya diversi ini berlangsung alot dan belum menemukan kata
sepakat alias gagal.
Ketua tim Kuasa hukum pelaku, Denie Amiruddin mengatakan
bahwa upaya diversi ini memang sudah ditentukan dalam Undang-undang pidana anak
yang berhadapan dengan hukum (ABH). Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA)
juga wajib dilakukan diversi.
Namun, kata dia, diversi juga memiliki syarat yakni ancaman
pidana tidak boleh melebih 7 tahun dan bukan bentuk pidana pengulangan.
“Maka dalam kasus ini, sudah memenuhi syarat dan unsur untuk
diversi. Alhamdulillah penyidik bersama Litmas (Penelitian Kemasyarakatan) dari
Bapas (Balai Pemasyarakatan) melakukan diversi,” ujarnya saat
diwawancarai usai pertemuan diversi.
Diversi yang dimaksud, jelas dia, bukan merupakan upaya
damai. Hal ini diakui Denie, salah diterjemahkan oleh pihak pelapor.
“Diversi ini bukan upaya damai. Bukan. Ini yang salah
diterjemahkan. Diversi tidak menggugurkan pidana dari pelaku. Diversi ini
merupakan bagaimana menyelesaikan perkara pidana anak di luar peradilan. Bukan berarti
mendamaikan, tidak. Selama ini memang banyak kesalahpahaman. Diversi bukan
mediasi tapi menyelesaikan perkaranya,” jelasnya.
Denie turut membeberkan putusan dari Litmas Bapas bahwa untuk
ketiga ABH ini dikenakan sanksi sosial selama 3 bulan di Bapas. Putusan tersebut
kata dia, berdasarkan hasil penelitian kemasyarakatan yang dilakukan oleh Bapas
selama beberapa hari ini terhadap perkara penganiayaan tersebut.
“Rekomendasi dari Litmas Bapas bahwa untuk ketiga ABH ini
dikenakan sanksi sosial berupaya pelayanan masyarakat selama 3 bulan di Bapas. Itu
hasil putusan penelitian kemasyarakatan yang dilakukan Bapas selama beberapa
hari ini terhadap perkara ini. Mengingat pidana yang dituduhkan dalam pasal kepada
ABH ini tidak memenuhi 7 tahun dan bukan perkara pengulangan pidana yang
dilakukan ketiganya,” ungkapnya.
“Pertimbangan Litmas juga yakni adanya penyesalan dari
pelaku (ABH) dan juga ada kesanggupan orang tua untuk betul-betul mendidik
anaknya serta ada permohonan maaf tentunya,” timpalnya.
Sebagai kuasa hukum, pihaknya menyadari gejolak yang ada di
tengah publik. Pihaknya dalam kesempatan diversi itu juga menyampaikan
permohonan maaf kepada pihak korban.
“Ini musibah. Karena kalau dalam perkara pidana anak itu,
baik korban maupun pelaku sama-sama merupakan korban. Karena anak itu tidak
cakap hukum atau manusia yang belum memiliki kebebasan melakukan hukum, jadi
patut dilindungi,” tukasnya.
Di luar sebagai kuasa hukum, Denie secara pribadi meminta
kepada masyarakat untuk tidak menghukum pelaku dengan menyebarkan berita yang
tidak benar.
“Sampai hari ini, hasil visum negatif. Tapi bentuk pidana, ada.
Walaupun ini kemungkinan besar ada peluang untuk dibuktikan lagi di forum
formil (pengadilan anak). Tapi diversi masih ada dua tahap lagi di tingkat
Kejaksaan dan pengadilan walaupun di tahap penyidikan gagal tapi wajib
dilakukan diversi sekalipun di tingkat pengadilan, itu yang diatur dalam Undang-undang
nomor 11 tahun 2012 tentang SPPA,” tegasnya.
Denie kembali menekankan bahwa diversi bukanlah upaya
mendamaikan melainkan upaya menyelesaikan perkara pidana anak dengan cepat di
luar peradilan.
“Pada intinya, kami sangat menghormati proses hukum yang
tengah berjalan,” ucapnya.
Terkait dengan pendidikan para ABH ini, Denie meminta agar
pihak sekolah tidak gegabah. Pasalnya kata dia, belum ada kepastian hukum dalam
kasus ini.
“Pendidikan tetap harus lanjut. Harus tetap sekolah. Kami mendengar
ada sanksi-sanksi moral, ada sekolah yang menolak. Kami imbau sekolah jangan
bersikap demikian. Belum ada kepastian hukum, putusannya apa. Kalau kita lihat
sanksi moral yang diderita oleh ABH ini jauh lebih berat, ini sudah mendunia,
sudah banyak yang menghujat dan sebagainya,” tukasnya.
“Hak sekolah itu harus didapat mereka. Karena hak mereka dilindungi Undang-undang. Siapa yang menghalangi hak mereka untuk sekolah, berhadapan dengan Undang-undang. Kesalahan mereka ini harus dilihat dari kadar yang mereka buat. Hukum berdasarkan kadar yang mereka perbuat. Jangan hukum dengan opini yang berkembang di masyarakat yang belum melalui pembuktian secara materiil,” pungkasnya.
Upaya diversi yang dipimpin oleh Kanit PPA Polresta Pontianak, Iptu Inayatun Nurhasanah dan dihadiri kedua belah pihak dalam pusaran kasus penganiayaan ini serta pihak Bapas dan KPPAD Kalbar ini berlangsung alot. (Fai)
KalbarOnline,
Pontianak – Polresta Pontianak menggelar upaya hukum diversi dalam
penanganan kasus penganiayaan siswi SMP di Kota Pontianak, AUD (14) yang
dilangsungkan di Posko Zona Integritas Mapolresta Pontianak, Kamis (11/4/2019)
malam.

Upaya diversi ini berlangsung alot dan belum menemukan kata
sepakat alias gagal.
Ketua tim Kuasa hukum pelaku, Denie Amiruddin mengatakan
bahwa upaya diversi ini memang sudah ditentukan dalam Undang-undang pidana anak
yang berhadapan dengan hukum (ABH). Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA)
juga wajib dilakukan diversi.
Namun, kata dia, diversi juga memiliki syarat yakni ancaman
pidana tidak boleh melebih 7 tahun dan bukan bentuk pidana pengulangan.
“Maka dalam kasus ini, sudah memenuhi syarat dan unsur untuk
diversi. Alhamdulillah penyidik bersama Litmas (Penelitian Kemasyarakatan) dari
Bapas (Balai Pemasyarakatan) melakukan diversi,” ujarnya saat
diwawancarai usai pertemuan diversi.
Diversi yang dimaksud, jelas dia, bukan merupakan upaya
damai. Hal ini diakui Denie, salah diterjemahkan oleh pihak pelapor.
“Diversi ini bukan upaya damai. Bukan. Ini yang salah
diterjemahkan. Diversi tidak menggugurkan pidana dari pelaku. Diversi ini
merupakan bagaimana menyelesaikan perkara pidana anak di luar peradilan. Bukan berarti
mendamaikan, tidak. Selama ini memang banyak kesalahpahaman. Diversi bukan
mediasi tapi menyelesaikan perkaranya,” jelasnya.
Denie turut membeberkan putusan dari Litmas Bapas bahwa untuk
ketiga ABH ini dikenakan sanksi sosial selama 3 bulan di Bapas. Putusan tersebut
kata dia, berdasarkan hasil penelitian kemasyarakatan yang dilakukan oleh Bapas
selama beberapa hari ini terhadap perkara penganiayaan tersebut.
“Rekomendasi dari Litmas Bapas bahwa untuk ketiga ABH ini
dikenakan sanksi sosial berupaya pelayanan masyarakat selama 3 bulan di Bapas. Itu
hasil putusan penelitian kemasyarakatan yang dilakukan Bapas selama beberapa
hari ini terhadap perkara ini. Mengingat pidana yang dituduhkan dalam pasal kepada
ABH ini tidak memenuhi 7 tahun dan bukan perkara pengulangan pidana yang
dilakukan ketiganya,” ungkapnya.
“Pertimbangan Litmas juga yakni adanya penyesalan dari
pelaku (ABH) dan juga ada kesanggupan orang tua untuk betul-betul mendidik
anaknya serta ada permohonan maaf tentunya,” timpalnya.
Sebagai kuasa hukum, pihaknya menyadari gejolak yang ada di
tengah publik. Pihaknya dalam kesempatan diversi itu juga menyampaikan
permohonan maaf kepada pihak korban.
“Ini musibah. Karena kalau dalam perkara pidana anak itu,
baik korban maupun pelaku sama-sama merupakan korban. Karena anak itu tidak
cakap hukum atau manusia yang belum memiliki kebebasan melakukan hukum, jadi
patut dilindungi,” tukasnya.
Di luar sebagai kuasa hukum, Denie secara pribadi meminta
kepada masyarakat untuk tidak menghukum pelaku dengan menyebarkan berita yang
tidak benar.
“Sampai hari ini, hasil visum negatif. Tapi bentuk pidana, ada.
Walaupun ini kemungkinan besar ada peluang untuk dibuktikan lagi di forum
formil (pengadilan anak). Tapi diversi masih ada dua tahap lagi di tingkat
Kejaksaan dan pengadilan walaupun di tahap penyidikan gagal tapi wajib
dilakukan diversi sekalipun di tingkat pengadilan, itu yang diatur dalam Undang-undang
nomor 11 tahun 2012 tentang SPPA,” tegasnya.
Denie kembali menekankan bahwa diversi bukanlah upaya
mendamaikan melainkan upaya menyelesaikan perkara pidana anak dengan cepat di
luar peradilan.
“Pada intinya, kami sangat menghormati proses hukum yang
tengah berjalan,” ucapnya.
Terkait dengan pendidikan para ABH ini, Denie meminta agar
pihak sekolah tidak gegabah. Pasalnya kata dia, belum ada kepastian hukum dalam
kasus ini.
“Pendidikan tetap harus lanjut. Harus tetap sekolah. Kami mendengar
ada sanksi-sanksi moral, ada sekolah yang menolak. Kami imbau sekolah jangan
bersikap demikian. Belum ada kepastian hukum, putusannya apa. Kalau kita lihat
sanksi moral yang diderita oleh ABH ini jauh lebih berat, ini sudah mendunia,
sudah banyak yang menghujat dan sebagainya,” tukasnya.
“Hak sekolah itu harus didapat mereka. Karena hak mereka dilindungi Undang-undang. Siapa yang menghalangi hak mereka untuk sekolah, berhadapan dengan Undang-undang. Kesalahan mereka ini harus dilihat dari kadar yang mereka buat. Hukum berdasarkan kadar yang mereka perbuat. Jangan hukum dengan opini yang berkembang di masyarakat yang belum melalui pembuktian secara materiil,” pungkasnya.
Upaya diversi yang dipimpin oleh Kanit PPA Polresta Pontianak, Iptu Inayatun Nurhasanah dan dihadiri kedua belah pihak dalam pusaran kasus penganiayaan ini serta pihak Bapas dan KPPAD Kalbar ini berlangsung alot. (Fai)
Bayar Sekarang, Tahu Lebih Banyak
Masukkan nomor WhatsApp Anda untuk mendapatkan akses penuh ke berita premium ini