Shopping cart
Your cart empty!
Terms of use dolor sit amet consectetur, adipisicing elit. Recusandae provident ullam aperiam quo ad non corrupti sit vel quam repellat ipsa quod sed, repellendus adipisci, ducimus ea modi odio assumenda.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Do you agree to our terms? Sign up
|
|
Oleh : Jauhari Fatria |
| Selasa, 09 April 2019 |
Laporkan akun media sosial @zianafazura ke Polda Kalbar
KalbarOnline,
Pontianak – Ketua Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah (KPPAD)
Provinsi Kalimantan Barat, Eka Nurhayati tidak bisa mengintervensi proses hukum
kasus penganiayaan yang dilakukan oleh 12 siswi SMA di Pontianak terhadap
seorang siswi SMP Kota Pontianak, AUD (14) yang tengah berlangsung.
“Saya tegaskan, KPPAD tidak bisa mengintervensi proses hukum
yang sedang berlangsung,” ujar Eka tegas saat memimpin konferensi pers menanggapi
isu negative berkaitan dengan kasus penganiayaan AUD, Selasa (9/4/2019) sore.
Penegaskan Eka ini guna menepis kabar di media sosial yang
diposting oleh akun Instagram dan Twitter @zianafazura yang menyatakan bahwa
KPPAD berharap (kasus) ini berakhir damai demi masa depan para pelaku.
Atas postingan tersebut, KPPAD melalui Tumbur Manulu selaku
Wakil Ketua KPPAD Kalbar secara resmi melaporkan akun @zianafazura ke Ditreskrimsus
Polda Kalbar tentang dugaan tindak pidana informasi dan transaksi elektronik
(ITE), Selasa (9/4/2019) siang.
Eka menyatakan bahwa sampai saat ini pihak keluarga korban
AUD tetap ingin menempuh jalur hukum.
KPPAD Kalbar Akan
Dampingi Kedua Pihak : Korban dan Pelaku
Sebelumnya, Eka menegaskan bahwa KPPAD Kalimantan Barat akan
melakukan pendampingan terhadap kedua belah pihak dalam kasus penganiayaan yang
dilakukan oleh 12 siswi SMA di Pontianak terhadap seorang siswi SMP Kota
Pontianak yang terjadi beberapa minggu lalu (29 Maret 2019).
Hal itu disampaikan Eka saat memimpin konfrensi pers kasus
penganiayaan tersebut di kantor KPPAD Kalbar, Senin (8/4/2019).
Eka menjelaskan bahwa dalam penanganan kasus ini, pihaknya
menerima aduan pada Jumat (5/4/2019) sekitar pukul 13.00 wib.
“Saat itu, korban yakni AUD (14) didampingi ibunya datang ke
KPPAD. Dalam aduan tersebut, korban melaporkan bahwa dirinya menerima kekerasan
fisik dan psikis. Ditendang, dipukul, diseret sampai kepalanya dibenturkan ke
aspal,” ujar Eka.
“Terus ada pengakuan juga bahwa korban juga menerima
kekerasan di bagian vital sehingga korban mengalami muntah kuning dan saat ini
korban sedang diopname di salah satu rumah sakit di Kota Pontianak,” timpalnya.
Menurut pengakuan korban, lanjut Eka, pelaku utama
penganiayaan terhadap AUD ada 3 orang, yakni berinisial NE, TP dan FZ.
Ketiganya, kata dia, merupakan pelajar SMA di Kota Pontianak. Sedangkan 9 orang
lainnya hanya sebagai penonton alias tim hore.
Dalam hal ini, Eka berujar, bahwa pihaknya tetap akan
memberikan pendampingan yang sama terhadap kedua belah pihak baik pelaku maupun
korban. Adapun pendampingan tersebut di antaranya berupa hipnoprana terapis dan
psikolog klinis sebagai pendampingan trauma healing terhadap pelaku dan korban.
“Kami berupaya semaksimal mungkin agar kasus ini tidak
sampai masuk ke ranah kepolisian, bahkan sampai ke ranah pengadilan. Mengingat
anak-anak ini masih di bawah umur, maka akan memperoleh hak yang sama yaitu
perlindungan UU nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak,” tukasnya.
Senada dengan Eka, Wakil Ketua KPPAD, Tumbu Manalu turut
mengungkapkan bahwa KPPAD Kalbar akan memberikan pendampingan dan perlindungan
hukum yang sama terhadap korban maupun pelaku. Hal ini kata dia sesuai dengan Undang-undang
perlindungan anak.
Beberapa hari lalu, kata dia, korban juga sudah mendapatkan
pendampingan hipnoprana dan kedepan akan dilakukan psikolog klinisnya. Demikian
halnya terhadap pelaku. Sebab, kata dia, dengan adanya perlakuan pendampingan
seperti ini, pihaknya ingin memahami adanya kasus ini dilakukan secara sadar
atau tidak oleh pelaku.
“Karena kita melihat ada sesuatu yang perlu kita pahami oleh
pelaku. Apakah mereka dengan sadar atau tidak apa yang mereka lakukan,”
ujarnya.
Sedangkan untuk proses hukumnya, kata dia, sebetulnya dalam
Undang-undang perlindungan anak itu terdapat ranah yang mengatur proses mediasi
sebagai langkah awal proses pendampingan hukum bagi kedua belah pihak. Artinya,
tegas dia, ada sebuah diversi yang mana pihaknya berupaya agar antara pelaku
dan korban, menempuh proses damai dan tidak sampai pada ranah pidana
pengadilan.
Alasannya, ketika kasus ini sampai ke ranah pengadilan maka
proses penyelesaiannya juga semakin panjang. Tentunya, kata dia, dampak yang ditimbulkan
juga semakin banyak.
“Misalnya saja hak untuk mendapatkan pendidikan yang sama
bagi pelaku maupun korban. Oleh karena itu kami akan tetap mendampingi, supaya
dapat mendorong proses diversi ini,” tukasnya.
“Karena memang amanah Undang-undang terutama di
Undang-undang SPPA mengatur agar sebisa mungkin proses pendampingan kasus pada
anak dilakukan diversi terutama pada tingkatan pidana yang melibatkan anak
khususnya ancaman di bawah tujuh tahun penjara dan belum pernah dilakukan
secara terus menerus atau berulang. Selain itu ada niat baik juga dari pelaku
untuk berubah,” pungkasnya. (Fai)
Laporkan akun media sosial @zianafazura ke Polda Kalbar
KalbarOnline,
Pontianak – Ketua Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah (KPPAD)
Provinsi Kalimantan Barat, Eka Nurhayati tidak bisa mengintervensi proses hukum
kasus penganiayaan yang dilakukan oleh 12 siswi SMA di Pontianak terhadap
seorang siswi SMP Kota Pontianak, AUD (14) yang tengah berlangsung.
“Saya tegaskan, KPPAD tidak bisa mengintervensi proses hukum
yang sedang berlangsung,” ujar Eka tegas saat memimpin konferensi pers menanggapi
isu negative berkaitan dengan kasus penganiayaan AUD, Selasa (9/4/2019) sore.
Penegaskan Eka ini guna menepis kabar di media sosial yang
diposting oleh akun Instagram dan Twitter @zianafazura yang menyatakan bahwa
KPPAD berharap (kasus) ini berakhir damai demi masa depan para pelaku.
Atas postingan tersebut, KPPAD melalui Tumbur Manulu selaku
Wakil Ketua KPPAD Kalbar secara resmi melaporkan akun @zianafazura ke Ditreskrimsus
Polda Kalbar tentang dugaan tindak pidana informasi dan transaksi elektronik
(ITE), Selasa (9/4/2019) siang.
Eka menyatakan bahwa sampai saat ini pihak keluarga korban
AUD tetap ingin menempuh jalur hukum.
KPPAD Kalbar Akan
Dampingi Kedua Pihak : Korban dan Pelaku
Sebelumnya, Eka menegaskan bahwa KPPAD Kalimantan Barat akan
melakukan pendampingan terhadap kedua belah pihak dalam kasus penganiayaan yang
dilakukan oleh 12 siswi SMA di Pontianak terhadap seorang siswi SMP Kota
Pontianak yang terjadi beberapa minggu lalu (29 Maret 2019).
Hal itu disampaikan Eka saat memimpin konfrensi pers kasus
penganiayaan tersebut di kantor KPPAD Kalbar, Senin (8/4/2019).
Eka menjelaskan bahwa dalam penanganan kasus ini, pihaknya
menerima aduan pada Jumat (5/4/2019) sekitar pukul 13.00 wib.
“Saat itu, korban yakni AUD (14) didampingi ibunya datang ke
KPPAD. Dalam aduan tersebut, korban melaporkan bahwa dirinya menerima kekerasan
fisik dan psikis. Ditendang, dipukul, diseret sampai kepalanya dibenturkan ke
aspal,” ujar Eka.
“Terus ada pengakuan juga bahwa korban juga menerima
kekerasan di bagian vital sehingga korban mengalami muntah kuning dan saat ini
korban sedang diopname di salah satu rumah sakit di Kota Pontianak,” timpalnya.
Menurut pengakuan korban, lanjut Eka, pelaku utama
penganiayaan terhadap AUD ada 3 orang, yakni berinisial NE, TP dan FZ.
Ketiganya, kata dia, merupakan pelajar SMA di Kota Pontianak. Sedangkan 9 orang
lainnya hanya sebagai penonton alias tim hore.
Dalam hal ini, Eka berujar, bahwa pihaknya tetap akan
memberikan pendampingan yang sama terhadap kedua belah pihak baik pelaku maupun
korban. Adapun pendampingan tersebut di antaranya berupa hipnoprana terapis dan
psikolog klinis sebagai pendampingan trauma healing terhadap pelaku dan korban.
“Kami berupaya semaksimal mungkin agar kasus ini tidak
sampai masuk ke ranah kepolisian, bahkan sampai ke ranah pengadilan. Mengingat
anak-anak ini masih di bawah umur, maka akan memperoleh hak yang sama yaitu
perlindungan UU nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak,” tukasnya.
Senada dengan Eka, Wakil Ketua KPPAD, Tumbu Manalu turut
mengungkapkan bahwa KPPAD Kalbar akan memberikan pendampingan dan perlindungan
hukum yang sama terhadap korban maupun pelaku. Hal ini kata dia sesuai dengan Undang-undang
perlindungan anak.
Beberapa hari lalu, kata dia, korban juga sudah mendapatkan
pendampingan hipnoprana dan kedepan akan dilakukan psikolog klinisnya. Demikian
halnya terhadap pelaku. Sebab, kata dia, dengan adanya perlakuan pendampingan
seperti ini, pihaknya ingin memahami adanya kasus ini dilakukan secara sadar
atau tidak oleh pelaku.
“Karena kita melihat ada sesuatu yang perlu kita pahami oleh
pelaku. Apakah mereka dengan sadar atau tidak apa yang mereka lakukan,”
ujarnya.
Sedangkan untuk proses hukumnya, kata dia, sebetulnya dalam
Undang-undang perlindungan anak itu terdapat ranah yang mengatur proses mediasi
sebagai langkah awal proses pendampingan hukum bagi kedua belah pihak. Artinya,
tegas dia, ada sebuah diversi yang mana pihaknya berupaya agar antara pelaku
dan korban, menempuh proses damai dan tidak sampai pada ranah pidana
pengadilan.
Alasannya, ketika kasus ini sampai ke ranah pengadilan maka
proses penyelesaiannya juga semakin panjang. Tentunya, kata dia, dampak yang ditimbulkan
juga semakin banyak.
“Misalnya saja hak untuk mendapatkan pendidikan yang sama
bagi pelaku maupun korban. Oleh karena itu kami akan tetap mendampingi, supaya
dapat mendorong proses diversi ini,” tukasnya.
“Karena memang amanah Undang-undang terutama di
Undang-undang SPPA mengatur agar sebisa mungkin proses pendampingan kasus pada
anak dilakukan diversi terutama pada tingkatan pidana yang melibatkan anak
khususnya ancaman di bawah tujuh tahun penjara dan belum pernah dilakukan
secara terus menerus atau berulang. Selain itu ada niat baik juga dari pelaku
untuk berubah,” pungkasnya. (Fai)
Bayar Sekarang, Tahu Lebih Banyak
Masukkan nomor WhatsApp Anda untuk mendapatkan akses penuh ke berita premium ini