Laporkan akun media sosial @zianafazura ke Polda Kalbar
KalbarOnline, Pontianak – Ketua Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah (KPPAD) Provinsi Kalimantan Barat, Eka Nurhayati tidak bisa mengintervensi proses hukum kasus penganiayaan yang dilakukan oleh 12 siswi SMA di Pontianak terhadap seorang siswi SMP Kota Pontianak, AUD (14) yang tengah berlangsung.
“Saya tegaskan, KPPAD tidak bisa mengintervensi proses hukum yang sedang berlangsung,” ujar Eka tegas saat memimpin konferensi pers menanggapi isu negative berkaitan dengan kasus penganiayaan AUD, Selasa (9/4/2019) sore.
Penegaskan Eka ini guna menepis kabar di media sosial yang diposting oleh akun Instagram dan Twitter @zianafazura yang menyatakan bahwa KPPAD berharap (kasus) ini berakhir damai demi masa depan para pelaku.
Atas postingan tersebut, KPPAD melalui Tumbur Manulu selaku Wakil Ketua KPPAD Kalbar secara resmi melaporkan akun @zianafazura ke Ditreskrimsus Polda Kalbar tentang dugaan tindak pidana informasi dan transaksi elektronik (ITE), Selasa (9/4/2019) siang.
Eka menyatakan bahwa sampai saat ini pihak keluarga korban AUD tetap ingin menempuh jalur hukum.
KPPAD Kalbar Akan Dampingi Kedua Pihak : Korban dan Pelaku
Sebelumnya, Eka menegaskan bahwa KPPAD Kalimantan Barat akan melakukan pendampingan terhadap kedua belah pihak dalam kasus penganiayaan yang dilakukan oleh 12 siswi SMA di Pontianak terhadap seorang siswi SMP Kota Pontianak yang terjadi beberapa minggu lalu (29 Maret 2019).
Hal itu disampaikan Eka saat memimpin konfrensi pers kasus penganiayaan tersebut di kantor KPPAD Kalbar, Senin (8/4/2019).
Eka menjelaskan bahwa dalam penanganan kasus ini, pihaknya menerima aduan pada Jumat (5/4/2019) sekitar pukul 13.00 wib.
“Saat itu, korban yakni AUD (14) didampingi ibunya datang ke KPPAD. Dalam aduan tersebut, korban melaporkan bahwa dirinya menerima kekerasan fisik dan psikis. Ditendang, dipukul, diseret sampai kepalanya dibenturkan ke aspal,” ujar Eka.
“Terus ada pengakuan juga bahwa korban juga menerima kekerasan di bagian vital sehingga korban mengalami muntah kuning dan saat ini korban sedang diopname di salah satu rumah sakit di Kota Pontianak,” timpalnya.
Menurut pengakuan korban, lanjut Eka, pelaku utama penganiayaan terhadap AUD ada 3 orang, yakni berinisial NE, TP dan FZ. Ketiganya, kata dia, merupakan pelajar SMA di Kota Pontianak. Sedangkan 9 orang lainnya hanya sebagai penonton alias tim hore.
Dalam hal ini, Eka berujar, bahwa pihaknya tetap akan memberikan pendampingan yang sama terhadap kedua belah pihak baik pelaku maupun korban. Adapun pendampingan tersebut di antaranya berupa hipnoprana terapis dan psikolog klinis sebagai pendampingan trauma healing terhadap pelaku dan korban.
“Kami berupaya semaksimal mungkin agar kasus ini tidak sampai masuk ke ranah kepolisian, bahkan sampai ke ranah pengadilan. Mengingat anak-anak ini masih di bawah umur, maka akan memperoleh hak yang sama yaitu perlindungan UU nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak,” tukasnya.
Senada dengan Eka, Wakil Ketua KPPAD, Tumbu Manalu turut mengungkapkan bahwa KPPAD Kalbar akan memberikan pendampingan dan perlindungan hukum yang sama terhadap korban maupun pelaku. Hal ini kata dia sesuai dengan Undang-undang perlindungan anak.
Beberapa hari lalu, kata dia, korban juga sudah mendapatkan pendampingan hipnoprana dan kedepan akan dilakukan psikolog klinisnya. Demikian halnya terhadap pelaku. Sebab, kata dia, dengan adanya perlakuan pendampingan seperti ini, pihaknya ingin memahami adanya kasus ini dilakukan secara sadar atau tidak oleh pelaku.
“Karena kita melihat ada sesuatu yang perlu kita pahami oleh pelaku. Apakah mereka dengan sadar atau tidak apa yang mereka lakukan,” ujarnya.
Sedangkan untuk proses hukumnya, kata dia, sebetulnya dalam Undang-undang perlindungan anak itu terdapat ranah yang mengatur proses mediasi sebagai langkah awal proses pendampingan hukum bagi kedua belah pihak. Artinya, tegas dia, ada sebuah diversi yang mana pihaknya berupaya agar antara pelaku dan korban, menempuh proses damai dan tidak sampai pada ranah pidana pengadilan.
Alasannya, ketika kasus ini sampai ke ranah pengadilan maka proses penyelesaiannya juga semakin panjang. Tentunya, kata dia, dampak yang ditimbulkan juga semakin banyak.
“Misalnya saja hak untuk mendapatkan pendidikan yang sama bagi pelaku maupun korban. Oleh karena itu kami akan tetap mendampingi, supaya dapat mendorong proses diversi ini,” tukasnya.
“Karena memang amanah Undang-undang terutama di Undang-undang SPPA mengatur agar sebisa mungkin proses pendampingan kasus pada anak dilakukan diversi terutama pada tingkatan pidana yang melibatkan anak khususnya ancaman di bawah tujuh tahun penjara dan belum pernah dilakukan secara terus menerus atau berulang. Selain itu ada niat baik juga dari pelaku untuk berubah,” pungkasnya. (Fai)
Comment