KalbarOnline.com – Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan dan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata bersaksi dalam sidang judicial review (JR) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Keduanya berbeda pendapat mengenai independensi lembaga antirasuah itu pascarevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Novel Baswedan dihadirkan sebagai saksi oleh pihak penggugat. Sedangkan, Alexander Marwata menjadi saksi sebagai pihak terkait, dalam hal ini KPK.
Dalam kesaksiannya, Novel khawatir, kinerja lembaga pemberantas koruptor itu mudah diintervensi, lantaran berada di bawah kekuasaan eksekutif. Hal ini merupakan permasalahan independensi kinerja KPK dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi.
“Terjadinya kekhawatiran intervensi suatu pekerjaan,” kata Novel bersaksi dalam sidang siaran Youtube MK, Rabu (23/9).
- Baca Juga: Alexander: Izin Penyadapan Hingga Penyitaan ke Dewas KPK Tak Tepat
Penasihat Wadah Pegawai KPK ini pun menyebut, tekah terjadi permasalahan independensi pasca-revisi UU KPK. Sebab kini, pegawai KPK beralih status menjadi aparatur sipil negara (ASN).
“Tentunya ketika sampaikan hal itu bukan dari saya, tapi pegawai-pegawai KPK lainnya,” cetus Novel.
Novel juga menuturkan, kinerja lembaga antirasuah pun kini dinilai sudah tidak berdaya. Menurutnya, kini KPK tidak lagi leluasa untuk melakukan kinerjanya dalam upaya pemberantasan korupsi.
“Dibanding dengan semua aparat penegak hukum lain, bahkan dibandingkan dengan PPNS (penyidik pegawai negeri sipil) sekalipun, KPK menjadi lebih tidak berdaya karena KPK tidak bisa melakukan tindakan dalam hal keadaan mendesak,” beber Novel.
Sebelum UU KPK direvisi, lanjut Novel, lembaga antirasuah menorehkan banyak prestasi, bukan hanya pada sisi penindakan tapi juga dalam bidang pencegahan. Menurutnya, banyak perkara-perkara besar yang telah diselesaikan oleh KPK, baik yang melibatkan pejabat-pejabat tinggi di level eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
“Semua prestasi bukan hanya penindakan, tapi juga pencegahan. Kita bisa lihat upaya-upaya perbaikan sistem yang sudah KPK lakukan. Bagaimana dengan upaya mengembalikan kerugian keuangan negara atau potensi keuangan negara dengan gerakan nasional penyelamatan sumber daya alam yang sudah dilakukan,” tegas Novel.
Sementara itu, Alexander Marwata yang merupakan Wakil Ketua KPK periode 2015-2019 dan 2019-2023 memandang, peralihan status pegawai KPK menjadi ASN tidak akan memengaruhi independensi lembaga antirasuah. Dia menegaskan, independensi akan tetap menjadi dasar dalam kinerja KPK.
“Apakah status pegawai sebagai ASN itu akan berdampak kepada kemandirian atau independensi pegawai? Saya berkali-kali ketika berdiskusi dengan staf di bawah selalu kami sampaikan, profesionalisme, indepedensi itu akan tetap kita junjung, tidak ada hubungannya independensi dengan status pegawai selaku ASN,” cetus Alex.
Sebab imbas dari revisi UU KPK, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN. Alex lantas mencontohkan penyidik Kejaksaan maupun Polri yang juga berstatus ASN.
“Apakah jaksa selaku penyidik di Kejagung itu mereka bekerja tidak independen, independen. Penyidik di kepolisian apakah mereka bekerja tidak independen, tidak, pasti juga independen, profesional, lepas dari statusnya sebagai ASN,” beber Alex.
Selain itu, Alex pun mengklaim kehadiran Dewas KPK buah dari revisi UU KPK dinilai dinilai tidak menghambat proses penyadapan yang akan dilakukan oleh penyidik. Dia menyebut, Dewas KPK responsif memberikan perizinan kerja-kerja pemberantasan korupsi.
“Terkait dengan penyadapan ini keberadaan Dewas apakah ada hambatan? Sebetulnya sejauh ini kalau dianggap itu hambatan mungkin juga tidak, karena hampir, bukan hampir, semua permohonan penyadapan yang diajukan itu selalu disetujui oleh Dewas,” urai Alex.
Kendati demikian, Alex mengaku permintaan izin berbagai kegiatan terkait penyadapan, penggeledahan dan penyitaan dinilai kurang tepat. Seharusnya, berbagai kegiatan di KPK harus menjadi tanggungjawab pimpinan.
“Bagi kami sendirinya pun rasanya kurang pas juga. Kalau sebelum UU yang baru ini yang mulia, penggeledahan atau penyitaan itu quality controlnya itu cukup di kedeputian, mereka yang melaksanakan itu bagian dari upaya-upaya paksa yang dilakukan penyidik, apa tempat dan apa yang akan dilakukan, disita, itu kami serahkan ke penyidik,” pungkas Alex.
Meski dinilai kurang tepat, namun sejauh ini Dewas KPK belum pernah menolak terkait perizinan penyadapan, penggeledahan maupun penyitaan dalam menangani setiap perkara.
“Kalau terkait dengan waktu, di dalam SOP Dewas harus memberikan persetujuan 1×24 jam, kalau toh ada penundaan paling lama 1×24 jam, tapi praktiknya bisa cepat dan anggota Dewas sangat responsif terhadap surat-surat permohonan penyitaan yang diajukan penyidik KPK,” pungkasnya.
Comment