KalbarOnline.com – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai, gerbang kapitalisme agraria resmi dibuka lebih lebar oleh Pemerintah setelah mengantongi ijin formil dari DPR RI, melalui pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja pada Senin (5/10). Sebab kedaulatan agraria rakyat dan bangsa resmi dipangkas.
“5 Oktober 2020 menjadi Hari Kejahatan Terhadap Konstitusi oleh DPR RI yang seharusnya menjadi penjaga dan penegak konstitusi,” kata Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika dalam keterangannya, Rabu (7/10).
Dewi menuturkan, sebanyak 79 Undang-Undang dan 186 pasal dibahas secara singkat oleh Pemerintah dan DPR RI. Menurutnya, DPR RI menutup mata dan telinganya dengan tetap maraton secepat kilat merumuskan landasan hukum, bagi kemudahan berbisnis badan-badan usaha melalui UU Cipta Kerja.
“Mulusnya proses di DPR tidaklah mengherankan karena mayoritas anggota DPR adalah pengusaha, pemilik modal atau pejabat teras dari badan-badan usaha negara/swasta,” ucap Dewi.
Baca juga: Muhammadiyah: Dari Awal Kita Desak DPR Batalkan RUU Cipta Kerja
Lantas Dewi membeberkan sejumlah masalah dalam UU Cipta Kerja yang kaitannya dengan agraria. Dewi berpendapat, UU Cipta Kerja menabrak konstitusi.
“Pengabaian terhadap konstitusi, secara khusus Pasal 33 UUD 1945, Ayat (3) mengenai kewajiban Negara atas tanah dan kekayaan alam Bangsa dan Ayat (4) mengenai prinsip dan corak demokrasi ekonomi yang dianut Bangsa. Lebih jauh lagi, banyak keputusan Mahkamah Konsitusi (MK) yang telah ditabrak UU Cipta Kerja, diantaranya Keputusan MK terhadap UU Penanaman Modal, UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani,” cetus Dewi.
Selain itu, tidak ada landasan filosofis, ideologis, yuridis dan sosiologis. Sehingga watak UU sangat liberal di bidang pertanahan.
“Tidak ada UU yang dijadikan acuan untuk masalah pertanahan. Argumen norma baru menjadi cara agar RUU Pertanahan yang bermasalah pada September 2019 lalu dapat dicopy-paste/diseludupkan ke dalam UU Cipta Kerja,” cetus Dewi.
Bahkan, azas dan cara-cara domein verklaring (negaraisasi tanah) dihidupkan kembali. Menurutnya, domein verklaring yang telah dihapus UUPA1960 dihidupkan lagi dengan cara menyelewengkan Hak Menguasai dari Negara (HMN) atas tanah.
“Seolah negara pemilik tanah, sehingga diberi kewenangan teramat luas melalui Hak Pengelolaan (HPL) atau Hak Atas Tanah Pemerintah. HPL ini disusun sedemikian rupa menjadi powerful dan luas cakupannya,” beber Dewi.
Kemudian, bank tanah hanya melayani pemilik modal, sarat monopoli dan spekulasi tanah. Untuk menampung, mengelola dan melakukan transaksi tanah-tanah hasil klaim sepihak negara. Meski disebut sebagai lembaga nonprofit, namun sumber pendanaannya membuka kesempatan pada pihak ke tiga (swasta) dan hutang lembaga asing.
“Tata cara kerjanya pun berorientasi melayani pemilik modal. Sehingga para pemilik modal memiliki akses lebih luas dan proses lebih mudah memperoleh tanah melalui skema BT. Proses negaraisasi tanah sebagai sumber HPL bagi BT, otomatis membahayakan konstitusionalitas petani dan rakyat miskin atas tanah-tanahnya, yang belum diakui secara de-jure oleh sistem Negara,” sesal Dewi.
“Pengalokasian tanah oleh BT tanpa batasan luas dan waktu mendorong eksploitasi sumber-sumber agraria, rentan praktik kolutif dan koruptif antara birokrat dan investor. BT juga berpotensi menjadi lembaga spekulan tanah versi pemerintah,” pungkasnya.
Saksikan video menarik berikut ini:
Comment