KalbarOnline, Pontianak – Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar), Sutarmidji meminta agar masyarakat tidak merambah hutan untuk hidup, melainkan mengelola perkebunan sebagai hasil hutan non kayu untuk menunjang kesejahteraan ekonomi.
Hal itu ditekankannya saat membuka Rapat Koordinasi (Rakor) Kelompok Kerja (Pokja) Percepatan dan Penguatan Perhutanan Sosial Kalbar, di Hotel Aston Pontianak, Selasa (20/06/2023).
“Perhutanan sosial ini dalam rangka penata kelolaan hutan supaya menjadikan hutan lestari, karena setiap kampung dan desa itu berada di kawasan hutan atau berbatasan dengan kawasan hutan. Sehingga perhutanan sosial ini, bagaimana masyarakat bisa mengelola hutan itu,” ujarnya.
Tak hanya menjaga kelestarian hutan yang ada, Sutarmidji turut mendorong agar masyarakat dapat melakukan penanaman kembali di kawasan hutan-hutan yang tidak ada tanamannya–dengan tanam-tanaman yang sesuai dengan tipikal wilayahnya masing-masing.
“Misalnya tanam kopi, yang lagi tren itu (kopi) liberika, kafeinnya rendah, cocok atau tidak ditanam di situ. Kopi harus ada peneduh di kawasan itu, dan (masyarakat) bisa mendapatkan hasilnya,” ujarnya.
“Jadi hasil dari perhutanan sosial bisa dikelola (masyarakat) tapi dengan tidak menebang (pohon),” jelas Sutarmidji.
Terluas di Indonesia
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat, Adi Yani menerangkan, bahwa Rakor Pokja Percepatan dan Penguatan Perhutanan Sosial Kalbar ini merupakan salah satu kegiatan rutin pihaknya dalam rangka melakukan percepatan pengelolaan perhutanan sosial di Kalbar.
“Di Kalbar total luas perhutanan sosial ada 500 ribu hektare, paling luas di Indonesia. Nah untuk percepatan perhutanan sosial ini perlu adanya pendamping, salah satunya dari teman-teman mitra, yakni salah satunya dari teman-teman LSM,” ujarnya.
Yani menjelaskan, adapun pendampingan yang dilakukan terhadap pemanfaatan perhutanan sosial itu ada 3 model kelola. Pertama, kelola kawasan, kemudian kelola kelembagaan dan terakhir kelola usaha.
“Kelola kawasan itu seperti keberadaanya seperti ada, tanahnya seperti apa, tanaman yang (cocok) tumbuh seperti apa. Kemudian kelola kelembagaan, misalnya siapa yang mengelola dalam perhutanan sosial ini, apakah perorangan atau kelompok masyarakat hutan atau koperasi? BUMN bisa dan sebagainya atau swasta,” terangnya.
Selanjutnya kelola usaha, yaitu misalnya jika suatu kawasan tersebut bisa dijadikan sebagai ekowisata, maka bagaimana kawasan itu dapat dikelola sedemikian rupa, sehingga bisa menjadi tempat destinasi.
“Kalau ada hutan yang masih bagus, ambil hasil hutan yang bukan kayunya, di Kalbar ini hasil hutan non kayunya itu sudah ratusan (varian), tapi yang terkenal di kita kan hanya madu, padahal banyak selain madu, ada damar, rotan, kratom, minyak serai, banyak juga yang bisa utk obat-obatan. Nah kita ingin mendorong itu,” ulasnya.
Lebih lanjut Yani mendedahkan, terdapat 222 izin pengelola perhutanan sosial di Provinsi Kalbar. Perhutanan sosial itu, kata dia, ada 5 model, antara lain hutan adat, hutan desa, hutan tanaman rakyat, hutan kemitraan dan hutan kemasyarakatan.
“Yang paling banyak adalah hutan desa,” tambahnya.
Dengan demikian, Yani juga mengharapkan agar masyarakat tidak lagi merusak hutan, termasuk melakukan pembakaran yang bisa mengancam ekosistem atau keasrian hutan itu sendiri.
“Kami mengharapkan, dengan adanya perhutanan sosial di kawasan hutan, setidak-tidaknya gangguan terhadap hutan dari kegiatan-kegiatan ilegal bisa kita hindari. Saya harapkan semua unsur harus bekerjasama untuk menjaga hutan. karena hutan itu sebagai paru-paru kita, paru-paru dunia,” jelasnya.
“Seperti yang (sering) disampaikan Pak Gubernur, nanti ke depan, negara yang paling maju, negara yang paling menjadi adikuasa, adalah negara yang mempunyai alam untuk keberlangsungan hidupnya,” pungkas Yani. (Jau)
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Comment