KalbarOnline, Jakarta – Menteri PPN/Bappenas RI, Suharso Monoarfa merespon positif usulan Penjabat (Pj) Gubernur Kalbar, Harisson soal permintaan dukungan pemerintah pusat agar membantu penyediaan pelayanan dasar, khususnya pendidikan, di Provinsi Kalbar.
Menteri Suharso Monoarfa bahkan menyatakan pihaknya akan segera menindaklanjuti usulan itu berupa Instruksi Presiden (Inpres) tentang peningkatan layanan pendidikan di daerah.
“Pak Menteri (PPN/Bappenas) tadi sudah berjanji untuk layanan dasar sekolah, akan di-Inpres-kan agar lebih terjamin kesinambungannya. Misalnya yang seperti sudah dilakukan (ada) Inpres jalan daerah, dan lainnya. Jadi akan ada Inpres untuk peningkatan layanan pendidikan,” kata Harisson.
Hal itu disampaikan Harisson di sela-sela Rapat Koordinasi (Rakorgub) Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dengan gubernur se-Indonesia Tahun 2024 di The Ritz-Carlton, Selasa (02/04/2024). Di mana Harisson menjadi salah satu narasumber kegiatan itu.
Sebagai informasi, rakorgub se-Indonesia itu dilaksanakan dalam rangka memperkuat keselarasan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025 – 2045, dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2025 – 2045. Selain, rakorgub ini juga bertujuan untuk memperkuat fondasi transformasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2025 – 2029, dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP).
Sebelumnya, dalam presentasinya di forum tersebut, Pj Gubernur Harisson turut mengemukakan akar masalah serta solusi strategis dalam menangani isu pelayanan dasar pendidikan di Provinsi Kalbar. Harisson menyebutkan, kalau angka HLS Kalbar sendiri baru 12,67 tahun, sementara angka rata-rata nasional sudah 13,15 tahun.
Sedangkan untuk RLS, Kalbar masih berada di angka 7,71 tahun, atau di bawah angka rata-rata nasional sebesar 8,77 tahun.
“Ini yang sebenarnya diminta untuk saya menjadi narasumber, dan untuk dibahas nanti perencanaan Bappenas ke depan. Karena kita (Kalbar) telah mengambil langkah-langkah untuk percepatan peningkatan HLS, dan RLS,” ungkapnya.
Lebih lanjut Harisson menjelaskan, sebenarnya ada beberapa faktor yang menyebabkan angka RLS, dan HLS Kalbar masih di bawah nasional. Pertama karena kondisi geografis provinsi ini yang sangat luas.
Jika dibanding dengan Pulau Jawa, Provinsi Kalbar memiliki luas sekitar 147.307 kilometer persegi, sementara luas Pulau Jawa hanya sebesar 128.297 kilometer persegi. Jadi Pulau Jawa yang terdiri dari enam provinsi luasnya hanya 87 persen dari luas wilayah Kalbar.
“Saya mengistilahkan, bahwa sebenarnya dari segi geografis Kalbar ini yang jumlah penduduknya sekitar 5,5 juta, ini daerahnya banyak yang terpencil, terpencar dan terserak,” katanya.
Dengan kata lain, lanjut Harisson, masih banyak daerah-daerah yang sulit diakses karena infrastruktur yang belum memadai. Kemudian terpencar, menggambarkan jarak antara pemukiman, dusun dan desa yang cukup berjauhan. Dan terserak, sambung dia, untuk menggambarkan jumlah populasi di suatu desa, di satu dusun, yang sebenarnya sedikit-sedikit, atau tidak banyak.
“Itu yang menyebabkan anak-anak sulit mengakses sekolah, karena mereka ini misalnya tinggal di satu desa, tidak punya SD di desa itu atau SMP sehingga mereka harus pergi ke desa atau kecamatan lain yang jaraknya cukup jauh,” ujarnya.
Harisson mencontohkan, misalnya di daerah Kabupaten Bengkayang, Kapuas Hulu dan Kayong Utara. Terutama di daerah kepulauan yang sangat jauh akses untuk mendapat pelayanan pendidikan, sehingga menyebabkan warga sekitar tidak dapat melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Belum lagi, kata Harisson, juga ada permasalahan mengenai kuantitas dan kualitas tenaga pendidik di Kalbar. Untuk jenjang SMA/SMK saja misalnya, yang menjadi kewenangan Pemprov, saat ini masih membutuhkan sekitar 5.900 guru. Sedangkan di level kabupaten/kota, masih membutuhkan guru TK, SD dan SMP sampai sekitar 40 ribu.
“Belum lagi masalah mutu, artinya misalnya ketika kita mengangkat tenaga honorer, itu sarjana hukum atau sarjana ekonomi yang sebenarnya bukan tenaga pendidikan, itu yang menyebabkan mungkin dalam penyampaian materi relatif kurang optimal,” paparnya.
Selanjutnya yang masih menjadi masalah, Harisson menerangkan, bahwa angka perkawinan anak di Kalbar juga masih tinggi. Dari data yang ada, sebanyak 32 persen dari total angka pernikahan, merupakan pernikahan dini. Angka tersebut dinilai masih relatif tinggi.
“Jadi kadang-kadang begitu tamat SMA bahkan ada yang tamat SMP langsung dinikahkan oleh orang tuanya. Ini menyangkut regulasi sebenarnya, kalau regulasinya ketat bahwa 19 tahun baru boleh menikah, tidak ada istilah dispensasi, mungkin anak-anak akan terus sekolah,” katanya.
“Tetapi begitu ada peraturan 19 tahun tidak boleh menikah, tetapi kalau mau mengajukan permohonan izin, lalu diberikan izin, inikan percuma kita membuat aturannya,” timpalnya.
Tak cukup sampai di situ, banyak juga anak-anak di Kalbar, karena untuk membantu ekonomi keluarga, mereka harus bekerja dan meninggalkan sekolah. Semisal ada pelajar SM yang bekerja ke kebun sawit atau bahkan ada yang bekerja di Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI).
“Karena di PETI itu mereka satu minggu bisa menghasilkan tiga juta rupiah, pasti anak-anak akan tergiur untuk bekerja daripada sekolah, disamping untuk membantu orang tua, lalu mereka juga akan memegang uang,” terangnya.
Persoalan lainnya dipaparkan Harisson, ada juga penduduk yang berusia 25 tahun ke atas tapi belum menamatkan pendidikan. Misalnya ada yang belum tamat SMA, tetapi sudah bekerja di sebuah perusahaan. Para pekerja yang belum lulus SMA ini, ketika diminta untuk mengikuti pendidikan penyetaraan, mereka banyak yang tidak mau.
“Mungkin karena mereka sudah bekerja mereka sudah malas, kami sebenarnya sudah meminta ke perusahaan-perusahaan agar memfasilitasi karyawan, dan pekerja yang belum tamat untuk mengikuti paket-paket. Paket C misalnya, tetapi itu hanya beberapa perusahaan saja yang menjawab, dan meminta karyawannya yang tidak menamatkan sekolah untuk bisa meneruskan pendidikan melalui paket,” terangnya.
Harisson pun menyampaikan, kalau Pemprov Kalbar selama ini telah berupaya melakukan pembangunan unit-unit sekolah baru, sekaligus asrama, sehingga anak-anak di daerah yang tempat tinggalnya jauh, tetap bisa sekolah.
Lalu untuk meningkatkan kualitas guru, Harisson meminta agar dilakukan pelatihan-pelatihan kepada seluruh guru melalui Balai Penjaminan Mutu Pendidikan. Meski selama ini, pemprov melalui APBD juga sudah melaksanakan kegiatan pelatihan untuk para guru, tapi ia merasa tetap perlu dukungan pemerintah pusat lewat APBN.
“Kita (pemprov) juga sebenarnya sudah membantu pelajar, diantaranya dengan pemberian beasiswa Rp 100 ribu per anak untuk (SPP) SMA/SMK. Kemudian untuk SLB diberikan bantuan Rp 200 ribu per orang per bulan,” tambahnya.
Belum lagi, pemprov kata dia, juga memiliki program bantuan peralatan atau perlengkapan sekolah untuk pelajar kurang mampu, yakni berupa seragam sekolah, tas sekolah, kaus kaki dan sepatu sekolah, termasuk membantu sekolah-sekolah dalam pengadaan meubeler agar murid-murid dapat belajar dengan baik di sekolah tersebut. (Jau)
Comment