KALBARONLINE.com – Pemilihan kepala daerah 2024 telah berlalu, meninggalkan jejak pertempuran politik yang sengit. Kekalahan dalam sebuah kontestasi demokrasi adalah hal yang wajar, namun dampaknya tidak jarang meluas melampaui arena politik, menyentuh ranah sosial dan ekonomi. Hal inilah yang dirasakan oleh banyak pihak.
Bagi sebagian orang yang kalah, turbulensi politik menjadi bagian dari keseharian mereka pasca-pemilihan. Namun, yang mencolok adalah bagaimana lawan politik terkadang terlalu berlebihan menyikapi kemenangan mereka. Seolah-olah kampanye belum berakhir, serangan terus berlanjut bahkan setelah babak terakhir usai. Dalam sebuah pertarungan, dinamika seperti ini memang sulit dihindari. Tapi ada garis tipis antara strategi politik dan balas dendam politik yang menyakitkan.
Yang sering terlupakan adalah bahwa pihak yang kalah pun memiliki sumber daya. Mereka tidak akan tinggal diam melihat pemerintahan ke depan tanpa kritik. Suara kritis adalah bagian penting dari demokrasi. Ketika kebijakan tidak berpihak pada rakyat, ada tanggung jawab untuk bersuara. Dan ketika suara itu bergema, ia mampu menggoyang stabilitas. Pemerintahan tidak akan berjalan mulus jika lupa untuk mendengarkan.
Namun, di sinilah muncul dua pilihan besar: Kolaborasi atau Konfrontasi?
Kolaborasi berarti membuka pintu untuk berdialog, bekerja sama demi masa depan masyarakat. Sebuah jalan yang membutuhkan kelapangan hati, meski sulit dilakukan ketika luka politik masih segar. Tapi bukankah kepentingan masyarakat seharusnya menjadi prioritas utama?
Sebaliknya, Konfrontasi adalah jalan penuh gesekan. Dengan kekuatan opini publik yang dimiliki, suara kritis bisa menjadi duri dalam jalannya pemerintahan. Ini bukan ancaman, tetapi sebuah realitas yang harus dipahami. Suara kritis bisa menjadi api yang membakar stabilitas jika diabaikan atau dilawan tanpa bijaksana.
Sejarah telah membuktikan bahwa pemerintahan yang menutup diri terhadap kritik sering kali gagal memahami kebutuhan rakyatnya. Ketika penguasa merasa tak tersentuh, mereka lupa bahwa demokrasi adalah tentang mendengar dan merangkul perbedaan. Tanpa keseimbangan antara kritik dan respons, roda pemerintahan akan tersendat.
Pemerintahan yang akan datang dijadwalkan dilantik pada 6 Februari 2025. Mereka menghadapi tanggung jawab besar, termasuk memenuhi janji-janji politik yang telah diucapkan selama kampanye.
Janji untuk memperbaiki infrastruktur, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, hingga menjaga stabilitas ekonomi adalah beban yang tidak ringan. Belum lagi janji-janji kepada “tim sukses” yang harus dipenuhi. Peduli setan soal itu, yang pasti rakyat menanti realisasi dari komitmen tersebut, bukan sekadar retorika.
Di sisi lain, pihak yang kalah pun perlu merenungkan langkah mereka. Apakah kritik yang disampaikan benar-benar konstruktif atau justru menjurus pada penghancuran citra? Karena demokrasi tidak hanya menuntut kebebasan bersuara, tetapi juga tanggung jawab dalam menyampaikan suara itu. Jika semua pihak memilih ego di atas kepentingan bersama, maka masyarakatlah yang akan menanggung dampaknya.
Pilihannya ada pada mereka yang memegang kendali. Apakah mereka akan mengulurkan tangan untuk kolaborasi? Atau justru memperbesar jurang dengan memantik konfrontasi? Sejarah telah membuktikan, kekuasaan tanpa kontrol akan terjerumus pada kegagalan.
Pesan ini muncul sebagai pengingat: demokrasi bukan soal menang atau kalah semata. Ini tentang bagaimana bersama membangun. Karena pada akhirnya, rakyatlah yang akan menilai: siapa yang benar-benar berjuang untuk mereka dan siapa yang hanya sibuk mempertahankan ego kekuasaan. Dan ketika rakyat bersuara, tak ada kekuasaan yang mampu mengabaikan gema itu. Kebijaksanaan untuk merangkul atau menolak suara kritis akan menentukan arah masa depan, bukan hanya bagi pemerintahan, tetapi juga bagi demokrasi itu sendiri.
Comment