Shopping cart
Your cart empty!
Terms of use dolor sit amet consectetur, adipisicing elit. Recusandae provident ullam aperiam quo ad non corrupti sit vel quam repellat ipsa quod sed, repellendus adipisci, ducimus ea modi odio assumenda.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Do you agree to our terms? Sign up
|
|
Oleh : adminkalbaronline |
| Selasa, 19 Agustus 2025 |
KALBARONLINE.com - Setelah sebelumnya publik dikejutkan dengan pemberian abolisi dan amnesti kepada dua terpidana korupsi, kini giliran remisi dan program pembebasan bersyarat yang kembali menuai sorotan. Mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, resmi menghirup udara bebas berkat program Pembebasan Bersyarat (PB) yang diterimanya pada 16 Agustus 2025.
Setnov, sapaan akrabnya, merupakan terpidana kasus korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) yang menimbulkan kerugian keuangan negara sekitar Rp 2,3 triliun. Ia menjalani masa hukuman di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.
Kepala Bagian Humas dan Protokol di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Rika Aprianti menjelaskan, bahwa pengusulan pembebasan bersyarat Setnov telah disetujui dalam Sidang TPP Ditjenpas pada 10 Agustus 2025.
Keputusan itu kemudian direkomendasikan untuk persetujuan pimpinan bersama lebih dari 1.000 usulan program integrasi warga binaan lainnya.
“Dengan pertimbangan telah memenuhi persyaratan administratif dan substantif, berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022, telah memenuhi persyaratan, berkelakuan baik, aktif mengikuti pembinaan, dan telah menunjukkan penurunan risiko,” kata Rika, dikutip dari Kompas.com, Selasa (19/08/2025).
Ia menambahkan, Setnov juga sudah memenuhi Pasal 10 ayat (3) dengan menjalani 2/3 masa pidana, serta menyelesaikan kewajiban finansial. Hal itu dibuktikan dengan pembayaran denda sebesar Rp 500 juta serta cicilan uang pengganti Rp 43,7 miliar. Masih tersisa Rp 5,3 miliar yang belum dibayarkan, dengan konsekuensi hukuman subsider selama 2 bulan 15 hari.
“Ini sudah diselesaikan berdasarkan ketetapan dari KPK,” kata Rika.
Menanggapi hal ini, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Setyo Budiyanto menegaskan, bahwa bebas bersyarat merupakan bagian dari sistem hukum pidana yang berlaku, meskipun ia mengakui keputusan itu bisa menimbulkan rasa ketidakadilan di tengah masyarakat.
“Bebas bersyarat adalah bagian dari sistem hukum pidana. Prosedur itu harus dijalankan, meskipun saya yakin ada yang merasa kurang adil,” ujarnya.
Meski demikian, kebebasan Setnov ini menuai reaksi keras dari sejumlah pihak. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah menilai, kalau keputusan pemberiaan PB kepada Setnov merupakan kemunduran pemberantasan korupsi.
“Pembebasan SN (Setya Novanto) pada kasus korupsi e-KTP adalah bentuk kemunduran, mengingat kasus ini menimbulkan kerugian negara hingga Rp 2,3 triliun,” jelas Wana.
Tak hanya itu, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman bahkan menyebut, pembebasan bersyarat tersebut cacat hukum dan tidak sah. Ia menilai Setnov tidak layak menerima pembebasan bersyarat karena pernah melakukan pelanggaran disiplin saat di penjara, termasuk pelesiran ke toko bangunan dan penggunaan ponsel.
Terlebih, lanjut Boyamin, Setnov sendiri masih tersangkut perkara pencucian uang dalam kasus e-KTP yang ditangani Bareskrim Polri.
“Masa dugaan korupsi begitu mudahnya dikasi bebas bersyarat? Saya (secara pribadi) tidak setuju sebenarnya bebas bersyarat itu diberikan kepada perkara korupsi,” tegasnya, seperti dikutip dari Inilah.com.
Oleh karena itu, MAKI pun menuntut agar keputusan pembebasan bersyarat itu dibatalkan. Jika tidak, pihaknya siap menggugat Surat Keputusan tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Kami tidak hanya komplain, mengecam, tapi kita akan action untuk membatalkan SK pembebasan bersyarat dari Setya Novanto," pungkas Boyamin. (**)
KALBARONLINE.com - Setelah sebelumnya publik dikejutkan dengan pemberian abolisi dan amnesti kepada dua terpidana korupsi, kini giliran remisi dan program pembebasan bersyarat yang kembali menuai sorotan. Mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, resmi menghirup udara bebas berkat program Pembebasan Bersyarat (PB) yang diterimanya pada 16 Agustus 2025.
Setnov, sapaan akrabnya, merupakan terpidana kasus korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) yang menimbulkan kerugian keuangan negara sekitar Rp 2,3 triliun. Ia menjalani masa hukuman di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.
Kepala Bagian Humas dan Protokol di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Rika Aprianti menjelaskan, bahwa pengusulan pembebasan bersyarat Setnov telah disetujui dalam Sidang TPP Ditjenpas pada 10 Agustus 2025.
Keputusan itu kemudian direkomendasikan untuk persetujuan pimpinan bersama lebih dari 1.000 usulan program integrasi warga binaan lainnya.
“Dengan pertimbangan telah memenuhi persyaratan administratif dan substantif, berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022, telah memenuhi persyaratan, berkelakuan baik, aktif mengikuti pembinaan, dan telah menunjukkan penurunan risiko,” kata Rika, dikutip dari Kompas.com, Selasa (19/08/2025).
Ia menambahkan, Setnov juga sudah memenuhi Pasal 10 ayat (3) dengan menjalani 2/3 masa pidana, serta menyelesaikan kewajiban finansial. Hal itu dibuktikan dengan pembayaran denda sebesar Rp 500 juta serta cicilan uang pengganti Rp 43,7 miliar. Masih tersisa Rp 5,3 miliar yang belum dibayarkan, dengan konsekuensi hukuman subsider selama 2 bulan 15 hari.
“Ini sudah diselesaikan berdasarkan ketetapan dari KPK,” kata Rika.
Menanggapi hal ini, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Setyo Budiyanto menegaskan, bahwa bebas bersyarat merupakan bagian dari sistem hukum pidana yang berlaku, meskipun ia mengakui keputusan itu bisa menimbulkan rasa ketidakadilan di tengah masyarakat.
“Bebas bersyarat adalah bagian dari sistem hukum pidana. Prosedur itu harus dijalankan, meskipun saya yakin ada yang merasa kurang adil,” ujarnya.
Meski demikian, kebebasan Setnov ini menuai reaksi keras dari sejumlah pihak. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah menilai, kalau keputusan pemberiaan PB kepada Setnov merupakan kemunduran pemberantasan korupsi.
“Pembebasan SN (Setya Novanto) pada kasus korupsi e-KTP adalah bentuk kemunduran, mengingat kasus ini menimbulkan kerugian negara hingga Rp 2,3 triliun,” jelas Wana.
Tak hanya itu, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman bahkan menyebut, pembebasan bersyarat tersebut cacat hukum dan tidak sah. Ia menilai Setnov tidak layak menerima pembebasan bersyarat karena pernah melakukan pelanggaran disiplin saat di penjara, termasuk pelesiran ke toko bangunan dan penggunaan ponsel.
Terlebih, lanjut Boyamin, Setnov sendiri masih tersangkut perkara pencucian uang dalam kasus e-KTP yang ditangani Bareskrim Polri.
“Masa dugaan korupsi begitu mudahnya dikasi bebas bersyarat? Saya (secara pribadi) tidak setuju sebenarnya bebas bersyarat itu diberikan kepada perkara korupsi,” tegasnya, seperti dikutip dari Inilah.com.
Oleh karena itu, MAKI pun menuntut agar keputusan pembebasan bersyarat itu dibatalkan. Jika tidak, pihaknya siap menggugat Surat Keputusan tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Kami tidak hanya komplain, mengecam, tapi kita akan action untuk membatalkan SK pembebasan bersyarat dari Setya Novanto," pungkas Boyamin. (**)
Bayar Sekarang, Tahu Lebih Banyak
Masukkan nomor WhatsApp Anda untuk mendapatkan akses penuh ke berita premium ini