Shopping cart
Your cart empty!
Terms of use dolor sit amet consectetur, adipisicing elit. Recusandae provident ullam aperiam quo ad non corrupti sit vel quam repellat ipsa quod sed, repellendus adipisci, ducimus ea modi odio assumenda.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Do you agree to our terms? Sign up
|
|
Oleh : Jauhari Fatria |
| Sabtu, 11 Mei 2019 |
KalbarOnline,
Pontianak – Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji membeberkan sejumlah hal yang
menjadi penyebab minimnya desa mandiri di Provinsi Kalimantan Barat. Bagaimana tidak,
dari 2.031 desa yang ada di Kalbar, hanya terdapat satu desa mandiri yakni Desa
Sutera yang terletak di Kabupaten Kayong Utara.
Tenaga Pendamping Tak
Paham Konsep Desa Mandiri
Salah satu penyebabnya yakni tenaga pendamping yang
menurutnya tak sepenuhnya memahami konsep desa mandiri yang terdiri dari 52
indikator di dalamnya.
“Banyak tenaga pendamping yang tak paham apa itu desa
mandiri. Apalagi memahami 52 indikator dari desa mandiri itu. Masa dari 2.031
desa di Kalbar hanya ada satu desa mandiri. Pendamping mungkin tak paham apa
yang bisa dilakukan untuk mengisi indikator-indikator dalam desa mandiri
sehingga desa yang didampinginya itu bisa menjadi desa mandiri,” ujarnya saat
diwawancarai di Pontianak, Jumat (10/5/2019).
Midji lantas mencontohkan, misalnya di Kabupaten Kubu Raya
dan Mempawah. Harusnya menurut dia, sejumlah desa yang berada di dua kabupaten
tersebut bisa menjadi desa mandiri. Terlebih lagi desa yang berbatasan dengan
kota, harusnya menurut dia, sudah menjadi desa mandiri.
“Di Kubu Raya dan Mempawah misalnya, harusnya desa yang berbatasan
dengan kota sudah jadi desa mandiri. Kemudian yang berada dalam pusat kota Kubu
Raya dan Mempawah, harusnya bisa menjadi desa mandiri. Harusnya jadi desa
mandiri. Tapi mungkin pendampingnya tak paham apa itu desa mandiri,” jelasnya.
Penanganan Desa Tak
Terkoordinir Dengan Baik
Selain tenaga pendamping, penanganan desa yang tak
terkoordinir dengan baik dalam menyelesaikan persoalan desa turut menjadi
penyebab minimnya desa mandiri di Kalbar.
Orang nomor wahid di Bumi Tanjungpura itu menjelaskan, untuk
menciptakan desa mandiri setidaknya ada 52 indikator yang harus dipenuhi dan
menurutnya indikator tersebut sangat berat untuk dicapai jika hanya berpangku
pada dana desa yang kurang lebih mencapai Rp2 miliar.
“Desa itu ada lima klasifikasi yaitu desa mandiri, desa
maju, desa berkembang, desa tertinggal dan desa sangat tertinggal. Dana desa
saat ini paling tinggi hanya Rp2 miliar. Dengan dana yang terbatas itu sampai
kiamat pun tak akan bisa menjadikan suatu desa sangat tertinggal menjadi desa
mandiri. Karena, desa mandiri itu ada 52 indikator dan indikatornya berat,” tukasnya.
Terbitkan SK Gubernur
Sebagai Acuan Penanganan Indikator Desa Mandiri
Agar penanganan desa terkoordinir dengan baik, dirinya saat
ini tengah menyiapkan SK Gubernur sebagai acuan bagi pemerintah provinsi,
kabupaten dan desa untuk menangani indikator-indikator desa mandiri.
“Jadi desa menangani 17 indikator, kabupaten menangani 15
indikator dan pemerintah provinsi akan menangani 15 indikator yang berat,”
jelasnya.
“Kalau ada sinergi antara desa, kabupaten dan provinsi dalam
hal memperbaiki indeks desa membangun (IDM) atau menciptakan desa mandiri, maka
akan banyak tercipta desa mandiri di Kalbar,” timpalnya.
Persepsi Kepala
Daerah Soal Dana Desa
Persoalan lainnya, menurut Midji terjadi pada persepsi atau
pola pikir kepala daerah tingkat II yang hanya berpangku pada dana desa untuk
membangunan desa.
“Banyak kepala daerah yang hanya berpangku pada dana desa.
Padahal dana desa yang jumlahnya seperti itu, kalau digunakan untuk pembangunan
jalan sepanjang tiga kilometer saja sudah habis dan tak bisa digunakan untuk
hal lain. Sudah tentu tak akan menyelesaikan persoalan desa,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa 52 indikator desa mandiri itu tak akan
mungkin diselesaikan dengan menggunakan dana desa yang ada.
“Dana desa itu jangan dibiarkan untuk menyelesaikan 52
indikator desa mandiri, itu tidak akan mungkin. Sampai kiamat pun tidak akan
selesai,” tegasnya.
Stigma Kepala Desa
Soal Desa Mandiri
Selain itu, yang tak kalah memperumit persoalan desa yakni
ada pada Kepala Desa itu sendiri. Midji berujar, banyak Kepala Desa yang enggan
mengubah desanya menjadi desa mandiri lantaran takut dana desa yang diterimanya
dikurangi pemerintah lantaran dinilai telah menjadi desa mandiri.
“Itu salah. Mohon Kepala Desa ubah pola pikirnya. Harusnya
berlomba-lomba mengubah status desanya yang sebelumnya tertinggal menjadi desa
berkembang atau desa maju bahkan menjadi desa mandiri. Nanti saya akan
sampaikan ke Presiden jika ada desa tertinggal yang kemudian berubah menjadi
desa mandiri untuk diberikan insentif atau dana desanya ditambah, sehingga
semuanya berlomba-lomba dan semangat menuju desa mandiri,” tukasnya.
“Karena sekarang ini, kalau sudah jadi desa mandiri, dananya
malah dikurangi. Itu salah sebenarnya. Harusnya kalau suatu desa berhasil
mengubah statusnya dari desa tertinggal menjadi desa mandiri, dana desanya
seharusnya ditambah bukan dikurangi. Apalagi stigma desa tertinggal lebih
banyak menerima anggaran sudah tertanam dalam pola pikir, sehingga lebih
memilih menjadi desa tertinggal, itu salah,” timpalnya.
Menyikapi hal itu, Midji menegaskan tak akan memberikan
perhatian lebih kepada desa yang tak serius untuk mengubah klasifikasi desanya
menjadi lebih baik.
“Saya terus terang saja. Kalau desanya tak serius untuk
berubah jadi desa yang lebih baik, saya tak akan sentuh. Tapi kalau yang mau
berubah kita akan perhatikan. Tahun depan saja kita akan memberikan bonus
kepada 10 BUMDes yang pengelolaannya baik. Akan kita berikan bonus berupa
anggaran, paling tinggi bisa sampai Rp100 juta dan anggaran itu diberikan untuk
tambahan modal BUMDes agar semakin bersemangat,” tukasnya.
“Kementerian Desa harusnya melakukan suatu perubahan, desa
yang statusnya berubah dari desa tertinggal menjadi desa berkembang, harusnya
dana yang diberikan meningkat. Supaya desa tersebut lebih cepat lagi berubah
statusnya ke tingkat yang lebih tinggi. Kemudian kalau statusnya sudah menjadi
desa mandiri, dananya juga harus meningkat agar kemandirian desa tersebut betul-betul
paripurna. Yang terjadi sekarang justru sebaliknya, tentu pemerintah desa tidak
mau seperti itu, sampai kiamat pun tak akan selesai persoalan desa,”
pungkasnya. (Fat)
KalbarOnline,
Pontianak – Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji membeberkan sejumlah hal yang
menjadi penyebab minimnya desa mandiri di Provinsi Kalimantan Barat. Bagaimana tidak,
dari 2.031 desa yang ada di Kalbar, hanya terdapat satu desa mandiri yakni Desa
Sutera yang terletak di Kabupaten Kayong Utara.
Tenaga Pendamping Tak
Paham Konsep Desa Mandiri
Salah satu penyebabnya yakni tenaga pendamping yang
menurutnya tak sepenuhnya memahami konsep desa mandiri yang terdiri dari 52
indikator di dalamnya.
“Banyak tenaga pendamping yang tak paham apa itu desa
mandiri. Apalagi memahami 52 indikator dari desa mandiri itu. Masa dari 2.031
desa di Kalbar hanya ada satu desa mandiri. Pendamping mungkin tak paham apa
yang bisa dilakukan untuk mengisi indikator-indikator dalam desa mandiri
sehingga desa yang didampinginya itu bisa menjadi desa mandiri,” ujarnya saat
diwawancarai di Pontianak, Jumat (10/5/2019).
Midji lantas mencontohkan, misalnya di Kabupaten Kubu Raya
dan Mempawah. Harusnya menurut dia, sejumlah desa yang berada di dua kabupaten
tersebut bisa menjadi desa mandiri. Terlebih lagi desa yang berbatasan dengan
kota, harusnya menurut dia, sudah menjadi desa mandiri.
“Di Kubu Raya dan Mempawah misalnya, harusnya desa yang berbatasan
dengan kota sudah jadi desa mandiri. Kemudian yang berada dalam pusat kota Kubu
Raya dan Mempawah, harusnya bisa menjadi desa mandiri. Harusnya jadi desa
mandiri. Tapi mungkin pendampingnya tak paham apa itu desa mandiri,” jelasnya.
Penanganan Desa Tak
Terkoordinir Dengan Baik
Selain tenaga pendamping, penanganan desa yang tak
terkoordinir dengan baik dalam menyelesaikan persoalan desa turut menjadi
penyebab minimnya desa mandiri di Kalbar.
Orang nomor wahid di Bumi Tanjungpura itu menjelaskan, untuk
menciptakan desa mandiri setidaknya ada 52 indikator yang harus dipenuhi dan
menurutnya indikator tersebut sangat berat untuk dicapai jika hanya berpangku
pada dana desa yang kurang lebih mencapai Rp2 miliar.
“Desa itu ada lima klasifikasi yaitu desa mandiri, desa
maju, desa berkembang, desa tertinggal dan desa sangat tertinggal. Dana desa
saat ini paling tinggi hanya Rp2 miliar. Dengan dana yang terbatas itu sampai
kiamat pun tak akan bisa menjadikan suatu desa sangat tertinggal menjadi desa
mandiri. Karena, desa mandiri itu ada 52 indikator dan indikatornya berat,” tukasnya.
Terbitkan SK Gubernur
Sebagai Acuan Penanganan Indikator Desa Mandiri
Agar penanganan desa terkoordinir dengan baik, dirinya saat
ini tengah menyiapkan SK Gubernur sebagai acuan bagi pemerintah provinsi,
kabupaten dan desa untuk menangani indikator-indikator desa mandiri.
“Jadi desa menangani 17 indikator, kabupaten menangani 15
indikator dan pemerintah provinsi akan menangani 15 indikator yang berat,”
jelasnya.
“Kalau ada sinergi antara desa, kabupaten dan provinsi dalam
hal memperbaiki indeks desa membangun (IDM) atau menciptakan desa mandiri, maka
akan banyak tercipta desa mandiri di Kalbar,” timpalnya.
Persepsi Kepala
Daerah Soal Dana Desa
Persoalan lainnya, menurut Midji terjadi pada persepsi atau
pola pikir kepala daerah tingkat II yang hanya berpangku pada dana desa untuk
membangunan desa.
“Banyak kepala daerah yang hanya berpangku pada dana desa.
Padahal dana desa yang jumlahnya seperti itu, kalau digunakan untuk pembangunan
jalan sepanjang tiga kilometer saja sudah habis dan tak bisa digunakan untuk
hal lain. Sudah tentu tak akan menyelesaikan persoalan desa,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa 52 indikator desa mandiri itu tak akan
mungkin diselesaikan dengan menggunakan dana desa yang ada.
“Dana desa itu jangan dibiarkan untuk menyelesaikan 52
indikator desa mandiri, itu tidak akan mungkin. Sampai kiamat pun tidak akan
selesai,” tegasnya.
Stigma Kepala Desa
Soal Desa Mandiri
Selain itu, yang tak kalah memperumit persoalan desa yakni
ada pada Kepala Desa itu sendiri. Midji berujar, banyak Kepala Desa yang enggan
mengubah desanya menjadi desa mandiri lantaran takut dana desa yang diterimanya
dikurangi pemerintah lantaran dinilai telah menjadi desa mandiri.
“Itu salah. Mohon Kepala Desa ubah pola pikirnya. Harusnya
berlomba-lomba mengubah status desanya yang sebelumnya tertinggal menjadi desa
berkembang atau desa maju bahkan menjadi desa mandiri. Nanti saya akan
sampaikan ke Presiden jika ada desa tertinggal yang kemudian berubah menjadi
desa mandiri untuk diberikan insentif atau dana desanya ditambah, sehingga
semuanya berlomba-lomba dan semangat menuju desa mandiri,” tukasnya.
“Karena sekarang ini, kalau sudah jadi desa mandiri, dananya
malah dikurangi. Itu salah sebenarnya. Harusnya kalau suatu desa berhasil
mengubah statusnya dari desa tertinggal menjadi desa mandiri, dana desanya
seharusnya ditambah bukan dikurangi. Apalagi stigma desa tertinggal lebih
banyak menerima anggaran sudah tertanam dalam pola pikir, sehingga lebih
memilih menjadi desa tertinggal, itu salah,” timpalnya.
Menyikapi hal itu, Midji menegaskan tak akan memberikan
perhatian lebih kepada desa yang tak serius untuk mengubah klasifikasi desanya
menjadi lebih baik.
“Saya terus terang saja. Kalau desanya tak serius untuk
berubah jadi desa yang lebih baik, saya tak akan sentuh. Tapi kalau yang mau
berubah kita akan perhatikan. Tahun depan saja kita akan memberikan bonus
kepada 10 BUMDes yang pengelolaannya baik. Akan kita berikan bonus berupa
anggaran, paling tinggi bisa sampai Rp100 juta dan anggaran itu diberikan untuk
tambahan modal BUMDes agar semakin bersemangat,” tukasnya.
“Kementerian Desa harusnya melakukan suatu perubahan, desa
yang statusnya berubah dari desa tertinggal menjadi desa berkembang, harusnya
dana yang diberikan meningkat. Supaya desa tersebut lebih cepat lagi berubah
statusnya ke tingkat yang lebih tinggi. Kemudian kalau statusnya sudah menjadi
desa mandiri, dananya juga harus meningkat agar kemandirian desa tersebut betul-betul
paripurna. Yang terjadi sekarang justru sebaliknya, tentu pemerintah desa tidak
mau seperti itu, sampai kiamat pun tak akan selesai persoalan desa,”
pungkasnya. (Fat)
Bayar Sekarang, Tahu Lebih Banyak
Masukkan nomor WhatsApp Anda untuk mendapatkan akses penuh ke berita premium ini