KalbarOnline.com – Borok dari rezim Presiden AS Donald Trump kembali terungkap. Media AS melaporkan bahwa salah satu kroninya berusaha untuk ikut campur tangan terkait laporan Covid-19 dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC).
Michael Caputo, juru bicara Kementerian Kesehatan AS, merupakan sosok di balik intervensi tersebut. Melalui timnya, pria yang ditempatkan di Kemenkes sejak April lalu itu mulai mengirimi e-mail alias surat elektronik (surel) kepada kepada CDC.
- Baca juga: Hubungan Memanas, 92 Persen Perusahaan AS Ogah Hengkang dari Tiongkok
Mereka memprotes laporan yang ditulis peneliti Anne Schuchat dalam CDC Morbidity and Mortality Weekly Reports (MMWR). MMWR merupakan laporan mingguan dari lembaga tersebut yang disebar kepada semua penggiat medis setiap minggu.
’’Niat kami hanya memastikan bahwa hanya data yang terbukti secara sains yang boleh menjadi dasar kebijakan. Bukan upaya tersembunyi dari pemerintah bayangan di dalam CDC,’’ klaim Caputo seperti yang dilansir Politico.
Kantor berita itu berhasil mengecek beberapa pertukaran surel antara pejabat Kementerian Kesehatan dan CDC. Pada e-mail pertama, Caputo menuduh bahwa laporan Schuchat berusaha menjelek-jelekkan pemerintahan Trump, termasuk mengesankan tindakan penanggulangan Covid-19 di AS terlalu lambat.
Sejak itu, mereka meminta agar beberapa artikel dalam laporan tersebut bisa dicabut atau diralat. Mereka juga meminta agar semua laporan yang dimasukkan dalam MMWR bisa dievaluasi dulu sebelum dirilis. Ahli yang diberi tugas melakukan evaluasi adalah Paul Alexander.
’’Laporan harus terlebih dahulu dibaca orang di luar CDC seperti saya. Saya harus mengedit semua agar laporan itu bisa dijamin seimbang dan sempurna,’’ tulis Alexander dalam surel kepada Direktur CDC Robert Redfield dan pejabat lainnya.
Temuan tersebut benar-benar membuat pekerja medis resah. Selama ini, dunia kesehatan internasional merasa aman memercayai laporan CDC karena lembaga tersebut dianggap yang mendapat campur tangan politik paling minim.
Virus SARS-CoV-2 masih mengancam dunia. Di AS sendiri, angka kasus sudah mencapai 6,5 juta dengan 193 ribu kematian. Harapan satu-satunya adalah vaksin.
Beruntung, pengembangan beberapa vaksin masih berjalan. Akhir pekan lalu AstraZeneca, perusahaan yang mengembangkan vaksin dengan Oxford University, mengumumkan bakal melanjutkan pengembangan vaksin mereka.
Comment