Shopping cart
Your cart empty!
Terms of use dolor sit amet consectetur, adipisicing elit. Recusandae provident ullam aperiam quo ad non corrupti sit vel quam repellat ipsa quod sed, repellendus adipisci, ducimus ea modi odio assumenda.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Do you agree to our terms? Sign up
|
|
Oleh : adminkalbaronline |
| Selasa, 29 Juli 2025 |
KALBARONLINE.com - Di balik wajah pendidikan yang tampak teduh, terkadang tersimpan luka yang diam-diam menganga. Seorang guru—yang mestinya dihormati, didengar dan dilindungi—mendadak menjadi sasaran amarah publik, direkam, dipertontonkan tanpa kendali.
Kasus di sebuah madrasah di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, membuka kembali luka lama itu, bahwa profesi guru kerap berada di garis depan konflik sosial, namun tanpa cukup perlindungan.
Hanya karena sebuah video dan percakapan pribadi yang disebarluaskan, seorang guru bernama Yanti dihakimi tanpa proses, disudutkan tanpa ruang pembelaan.
Ketika simpati mengalir untuk seorang murid yang menangis, suara sang guru justru tenggelam dalam riuhnya media sosial. Mirisnya, negara turun tangan—namun bukan sebagai penengah, tapi sebagai hakim yang datang dengan kamera dan mikrofon.
Guruku (Dibuat) Malang
Kasus ini membuncah saat Penikasih, ibu dari salah satu murid MTs Al-Raudhatul Islamiyah di Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, membawa percakapan pribadinya dengan wali kelas bernama Yanti ke ruang publik. Isinya seputar rapor anaknya yang belum bisa diambil dan Lembar Kerja Siswa (LKS) seharga Rp 350.000 yang belum dibayar.
Unggahan itu disertai tangkapan layar percakapan WhatsApp dengan sang wali kelas serta sebuah video sang anak yang menangis di ruang kelas. Video tersebut sejatinya dikirim secara pribadi oleh wali kelas sebagai pengingat agar orang tua hadir mengambil rapor.
Namun, alih-alih diselesaikan secara langsung, video itu justru diduga "sengaja" disebarluaskan hingga viral. Simpati publik pun terkerek membahana. Video itu bahkan menyebar ke berbagai grup WhatsApp, termasuk milik wartawan, lengkap dengan narasi yang telah diteruskan berkali-kali.
Tak berselang lama, Bupati Kubu Raya, Sujiwo, turun tangan. Ia mengunjungi rumah keluarga Penikasih dan berjanji akan menanggung penuh biaya pendidikan anak tersebut. Namun, yang mengundang perhatian publik adalah aksinya saat mendatangi sekolah. Di hadapan kamera dan para guru, Sujiwo menyampaikan teguran keras kepada pihak sekolah. Ia bahkan menyatakan siap menempuh jalur hukum jika terbukti ada kebohongan dari pihak sekolah.
Masalah yang sejatinya sederhana—yaitu sumbatnya komunikasi antara orang tua dan pihak sekolah—mendadak membesar. Kehadiran negara dinilai justru memperburuk keadaan. Bukannya memberikan ruang yang adil melalui jalur mediasi atau edukasi, namun malah melakukan intervensi personal guna seolah ingin menunjukkan kepedulian.
Saat ini pihak sekolah dan orang tua memang telah berdamai. Namun, kejadian ini menimbulkan banyak pertanyaan publik tentang relasi antara guru dan wali murid, gaya komunikasi kepala daerah, serta dampak psikologis terhadap tenaga pendidik.
Tak Ada Guru Tak Ada Kita
Tokoh pendidikan Kalimantan Barat, Samion, angkat bicara terkait polemik yang terjadi antara orang tua murid dan guru di MTs Al-Raudhatul Islamiyah.
Meskipun persoalan ini telah diselesaikan secara damai, Samion menilai, bahwa peristiwa ini menyisakan sejumlah pelajaran penting, khususnya mengenai hubungan antara guru dan orang tua, serta etika komunikasi seorang pemimpin di ruang publik.
“Pertama, semua kita harus menyadari harkat dan martabat profesi guru, harus kita junjung tinggi, jangan kita hancurkan, termasuk dengan pola atau cara-cara yang tidak profesional. Karena adanya kita, saya, anda, para pemimpin, mulai dari bupati/wali kota, gubernur, presiden bahkan profesor sekalipun, kyai, itu karena keberadaan guru,” katanya kepada wartawan.
Samion menegaskan, penghormatan terhadap profesi guru merupakan bentuk penghargaan terhadap fondasi peradaban. Namun sayangnya, beberapa pihak seringkali terlalu reaktif dalam membela yang lemah dan tanpa sadar justru menekan yang seharusnya dihormati.
“Jadi harus disadari betul, jangan sampai harkat martabat profesi guru itu kita lenyapkan hanya gara-gara—ya mohon maaf saja—kadang kita terlalu latah membela yang kecil, menghancurkan yang besar. Ini keliru,” ujarnya.
Samion juga mengingatkan, bahwa tugas guru tidaklah mudah. Mengelola satu kelas dengan 30 hingga 40 siswa bukan perkara sederhana. Oleh karena itu, menurut dia, kesalahan yang mungkin terjadi harus pula dilihat secara proporsional dan manusiawi.
“(Termasuk) kalau ada kesalahan pribadi (antara guru dan orang tua), diselesaikan secara pribadi, jangan sengaja diangkat, diviralkan, seolah-olah pahlawan, padahal tidak seperti itu, guru manusia, orang tua juga manusia. Tugas guru mendisiplinkan, mendidik karakter, itu tidak gampang,” jelas Samion.
“Kalau memang guru salah ya wajar, karena mungkin kita saja (contohnya) ada dua-tiga orang anak di rumah, kadang-kadang bingung, ada yang ke barat ada yang ke timur, apalagi guru yang satu kelasnya bisa 30 sampai 40 orang? Jadi jangan hal kecil seolah-olah terbakar lah dunia pendidikan kita, itu keliru menurut saya,” sambungnya.
Ikut Terluka
Sejalan dengan itu, Samion juga menyampaikan pesan kepada para pemimpin agar menunjukkan kepemimpinan yang bijak, adil, dan mengayomi, bukan justru menambah tekanan terhadap para pendidik.
“Pemimpin seharusnya menjadi penengah. Tidak perlu lagi mencari pencitraan. Jika memang sudah menjadi pemimpin, buktikan dengan cara mengayomi dan melindungi semua pihak,” tegasnya.
“Saya 30 tahun sudah mengabdikan diri, merasa terluka juga kalau ada pemimpin kita atau para tokoh kita yang arogan terhadap para guru. Orang tua juga begitu, jangan anaknya dititip dari jam 7 sampai jam 2, atau yang masuk sore dari jam 1 sampai jam 6, tapi seolah guru kalau ada anak yang nakal tidak boleh apa-apa, jangan begitu, percuma. Sekalian saja kalau begitu sekolahkan anak-anak itu di rumah mereka,” tutur Samion.
Kepada para orang tua, dirinya turut mengimbau untuk lebih aktif menjalin komunikasi dengan pihak sekolah, terutama saat momen-momen penting seperti pembagian rapor. Ia mengingatkan, bahwa keberhasilan pendidikan anak tidak bisa hanya dibebankan kepada guru, tetapi memerlukan peran serta dari orang tua.
“Kalau ada informasi dari sekolah, bacalah. Sekarang kan sudah ada grup WhatsApp, informasi bisa dijangkau. Tidak harus datang setiap hari, tapi setidaknya sempatkan hadir di akhir semester,” ujarnya.
Menutup pernyataannya, Samion menegaskan sekali lagi, bahwa masa depan bangsa sangat bergantung pada kualitas dunia pendidikan. Pada tahap ini, peran dan kebijaksanaan pemimpin turut menentukan.
“Tidak ada jalan lain untuk membangun bangsa ini selain dari pendidikan. Karena itu, mari kita rawat bersama-sama, agar sekolah menjadi tempat yang mampu mencetak sumber daya manusia yang unggul dan berakhlak mulia. Jangan kita mau bangsa ini bagus tapi guru diperlakukan demikian. Tapi yang terjadi ya sudah terjadi, tapi ke depan mari sama-sama memikirkan dunia pendidikan kita,” katanya.
Jumadi: Niat Baik Belum Tentu Dinilai Baik
Problem komunikasi yang dibumbui dengan intervensi penguasa ini turut memantik kemasygulan sejumlah pihak. Drama panggung “Jiwo Versus Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” ini seharusnya tidak pernah terjadi. Lebay dan sangat disayangkan—kalau memang tidak bisa dikatakan memalukan.
Terpisah, pengamat sekaligus Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura, Jumadi mengajak semua pihak dapat bercermin dari kasus ini—agar ke depan berhati-hati dalam menggunakan media sosial.
“Pertama, semua pihak ya, harus hati-hati menggunakan media sosial, karena memang multi tafsir, barangkali niatnya baik, tapi belum tentu persepsi publik itu baik,” ujarnya.
Jumadi menilai, kendati kemungkinan guru yang bersangkutan bermaksud baik dalam menjelaskan persoalan yang terjadi, namun media sosial bukanlah tempat yang tepat untuk menyelesaikan persoalan seperti itu. Menurutnya, publik akan memiliki opini dan penilaian yang beragam ketika sebuah masalah tersebar di ruang digital.
“Barangkali ibu guru itu ingin memperjelas masalah yang dihadapi siswa itu, tapi memang sangat tidak elok, karena memang media sosial apalagi kalau sudah tersebar, akan sulit untuk dikendalikan, dan publik punya opini, punya persepsi yang beragam,” ujarnya.
“Jadi kalau kemudian muncul sekarang berbagai tanggapan yang negatif itu hal yang wajar, karena dampak. Jadi sebaiknya hal-hal begitu jangan (diselesaikan dengan pendekatan) menggunakan media sosial, melainkan dengan tatap muka secara langsung. Karena itu tadi, baik belum tentu juga betul menurut publik,” sambungnya.
Pejabat Tak Boleh Gegabah
Jumadi juga menyoroti tindakan Bupati Kubu Raya, Sujiwo yang sempat memarahi guru tersebut secara langsung di hadapan umum dan video insiden itu beredar luas di media sosial. Ia memahami emosi yang mungkin dirasakan oleh bupati kala itu, namun ia menilai, bahwa tindakan tersebut seharusnya bisa ditangani dengan cara yang lebih terstruktur dan privat.
“Begitu juga dengan pejabat, dalam hal menyelesaikan masalah tidak boleh gegabah, lalu kemudian direkam, disebar di media sosial. Maksudnya barangkali baik ya, tapi belum tentu juga publik menilai itu baik. Kita cukup memaklumi misalnya bupati merasa agak sedikit emosional melihat situasi kayak begitu, sebagai bentuk keterharuannya, tapi memang ketika ngomong dalam situasi seperti itu kan kadang ‘loss control’, apalagi kemudian direkam, dimuat di media sosial,” katanya.
“Jadi intinya memang, bagi saya, perlu hati-hati. Tidak semua masalah kemudian harus direkam kemudian di-publish di media sosial, apalagi misalnya kaitan dengan mau membangun citra, waduh, itu agak riskan menurut saya. Jadi ini pelajaran penting. Sesuatu yang menurut kita, maksud kita baik, belum tentu publik menilai itu baik. (Biasnya) isu jadi liar, penafsiran menjadi macam-macam. Guru, pejabat di daerah, mesti hati-hati,” tegasnya.
Reaksi Kepala Madrasah Sebuah Risiko
Benar saja, andil Sujiwo dalam perseteruan guru dan orang tua murid ini telah membuat gelombang kian membesar. Menghempas ke mana-mana. Menyisakan ketersinggungan bagi beberapa pihak.
Belakangan, muncul pula video pernyataan dari Kelompok Kerja Kepala Madrasah (KKM) 004 Sungai Raya yang menyatakan keberatan atas sikap Bupati Sujiwo. Mereka menyayangkan tindakan bupati yang mendatangi sekolah dan menegur guru secara terbuka di hadapan umum.
Jumadi menilai, kalau situasi itu merupakan buah dari konsekuensi logis dari tindakan yang disampaikan di ruang publik. Risiko itu mau tak mau kini harus diterima.
“Ini risiko memang. Kalau sudah apapun tindakan di ruang publik dipublikasi seperti itu—semestinya memang waktu itu masalah ini diselesaikan di tingkat bawah dulu—sehingga Pak Jiwo jangan meng-take over langsung, ada bagiannya, ada perangkat di daerah itu, bila perlu dipanggil yang bersangkutan ke ini (mediasi di dinas pendidikan), tapi mungkin waktu itu Pak Jiwo ingin agak cepat menyelesaikan, tapi itu lah, kemudian menimbulkan multi tafsir,” ujarnya.
“(Sekali lagi) ini pelajaran penting menurut saya, bagi siapapun, siapapun! Karena menurut saya ada hal-hal yang mesti diselesaikan di ruangan tertutup, tidak mesti dipublikasi misalnya. Karena saya lihat konsekwensinya seperti itu (kalau sudah viral),” tambahnya.
Lebih lanjut, Jumadi menekankan pentingnya pengendalian emosi dan kesadaran bahwa setiap momen kini bisa direkam dan disebarluaskan. Ia menilai, pengalaman seperti ini seharusnya benar-benar menjadi bahan evaluasi agar tidak terulang kembali di masa depan.
“Sekarang kita tidak bisa lagi (persoalkan) siapa yang menyebarkan itu, tapi ke depan kehati-hatian mem-video-kan setiap momen itu penting. Kemudian siapapun dia harus mampu menekan gejolak emosi (apalagi tau sedang divideokan),” jelasnya.
Terakhir, menurut Jumadi, sudah cukuplah pengalaman-pengalaman kasus yang justru menimbulkan penafsiran negatif seperti ini.
“Jadi kata kunci saya, hati-hati lah. Hal yang semestinya tidak mesti dijelaskan di ruang terbuka, bisa diselesaikan dengan cara yang lebih elegan,” tutup Jumadi.
KALBARONLINE.com - Di balik wajah pendidikan yang tampak teduh, terkadang tersimpan luka yang diam-diam menganga. Seorang guru—yang mestinya dihormati, didengar dan dilindungi—mendadak menjadi sasaran amarah publik, direkam, dipertontonkan tanpa kendali.
Kasus di sebuah madrasah di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, membuka kembali luka lama itu, bahwa profesi guru kerap berada di garis depan konflik sosial, namun tanpa cukup perlindungan.
Hanya karena sebuah video dan percakapan pribadi yang disebarluaskan, seorang guru bernama Yanti dihakimi tanpa proses, disudutkan tanpa ruang pembelaan.
Ketika simpati mengalir untuk seorang murid yang menangis, suara sang guru justru tenggelam dalam riuhnya media sosial. Mirisnya, negara turun tangan—namun bukan sebagai penengah, tapi sebagai hakim yang datang dengan kamera dan mikrofon.
Guruku (Dibuat) Malang
Kasus ini membuncah saat Penikasih, ibu dari salah satu murid MTs Al-Raudhatul Islamiyah di Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, membawa percakapan pribadinya dengan wali kelas bernama Yanti ke ruang publik. Isinya seputar rapor anaknya yang belum bisa diambil dan Lembar Kerja Siswa (LKS) seharga Rp 350.000 yang belum dibayar.
Unggahan itu disertai tangkapan layar percakapan WhatsApp dengan sang wali kelas serta sebuah video sang anak yang menangis di ruang kelas. Video tersebut sejatinya dikirim secara pribadi oleh wali kelas sebagai pengingat agar orang tua hadir mengambil rapor.
Namun, alih-alih diselesaikan secara langsung, video itu justru diduga "sengaja" disebarluaskan hingga viral. Simpati publik pun terkerek membahana. Video itu bahkan menyebar ke berbagai grup WhatsApp, termasuk milik wartawan, lengkap dengan narasi yang telah diteruskan berkali-kali.
Tak berselang lama, Bupati Kubu Raya, Sujiwo, turun tangan. Ia mengunjungi rumah keluarga Penikasih dan berjanji akan menanggung penuh biaya pendidikan anak tersebut. Namun, yang mengundang perhatian publik adalah aksinya saat mendatangi sekolah. Di hadapan kamera dan para guru, Sujiwo menyampaikan teguran keras kepada pihak sekolah. Ia bahkan menyatakan siap menempuh jalur hukum jika terbukti ada kebohongan dari pihak sekolah.
Masalah yang sejatinya sederhana—yaitu sumbatnya komunikasi antara orang tua dan pihak sekolah—mendadak membesar. Kehadiran negara dinilai justru memperburuk keadaan. Bukannya memberikan ruang yang adil melalui jalur mediasi atau edukasi, namun malah melakukan intervensi personal guna seolah ingin menunjukkan kepedulian.
Saat ini pihak sekolah dan orang tua memang telah berdamai. Namun, kejadian ini menimbulkan banyak pertanyaan publik tentang relasi antara guru dan wali murid, gaya komunikasi kepala daerah, serta dampak psikologis terhadap tenaga pendidik.
Tak Ada Guru Tak Ada Kita
Tokoh pendidikan Kalimantan Barat, Samion, angkat bicara terkait polemik yang terjadi antara orang tua murid dan guru di MTs Al-Raudhatul Islamiyah.
Meskipun persoalan ini telah diselesaikan secara damai, Samion menilai, bahwa peristiwa ini menyisakan sejumlah pelajaran penting, khususnya mengenai hubungan antara guru dan orang tua, serta etika komunikasi seorang pemimpin di ruang publik.
“Pertama, semua kita harus menyadari harkat dan martabat profesi guru, harus kita junjung tinggi, jangan kita hancurkan, termasuk dengan pola atau cara-cara yang tidak profesional. Karena adanya kita, saya, anda, para pemimpin, mulai dari bupati/wali kota, gubernur, presiden bahkan profesor sekalipun, kyai, itu karena keberadaan guru,” katanya kepada wartawan.
Samion menegaskan, penghormatan terhadap profesi guru merupakan bentuk penghargaan terhadap fondasi peradaban. Namun sayangnya, beberapa pihak seringkali terlalu reaktif dalam membela yang lemah dan tanpa sadar justru menekan yang seharusnya dihormati.
“Jadi harus disadari betul, jangan sampai harkat martabat profesi guru itu kita lenyapkan hanya gara-gara—ya mohon maaf saja—kadang kita terlalu latah membela yang kecil, menghancurkan yang besar. Ini keliru,” ujarnya.
Samion juga mengingatkan, bahwa tugas guru tidaklah mudah. Mengelola satu kelas dengan 30 hingga 40 siswa bukan perkara sederhana. Oleh karena itu, menurut dia, kesalahan yang mungkin terjadi harus pula dilihat secara proporsional dan manusiawi.
“(Termasuk) kalau ada kesalahan pribadi (antara guru dan orang tua), diselesaikan secara pribadi, jangan sengaja diangkat, diviralkan, seolah-olah pahlawan, padahal tidak seperti itu, guru manusia, orang tua juga manusia. Tugas guru mendisiplinkan, mendidik karakter, itu tidak gampang,” jelas Samion.
“Kalau memang guru salah ya wajar, karena mungkin kita saja (contohnya) ada dua-tiga orang anak di rumah, kadang-kadang bingung, ada yang ke barat ada yang ke timur, apalagi guru yang satu kelasnya bisa 30 sampai 40 orang? Jadi jangan hal kecil seolah-olah terbakar lah dunia pendidikan kita, itu keliru menurut saya,” sambungnya.
Ikut Terluka
Sejalan dengan itu, Samion juga menyampaikan pesan kepada para pemimpin agar menunjukkan kepemimpinan yang bijak, adil, dan mengayomi, bukan justru menambah tekanan terhadap para pendidik.
“Pemimpin seharusnya menjadi penengah. Tidak perlu lagi mencari pencitraan. Jika memang sudah menjadi pemimpin, buktikan dengan cara mengayomi dan melindungi semua pihak,” tegasnya.
“Saya 30 tahun sudah mengabdikan diri, merasa terluka juga kalau ada pemimpin kita atau para tokoh kita yang arogan terhadap para guru. Orang tua juga begitu, jangan anaknya dititip dari jam 7 sampai jam 2, atau yang masuk sore dari jam 1 sampai jam 6, tapi seolah guru kalau ada anak yang nakal tidak boleh apa-apa, jangan begitu, percuma. Sekalian saja kalau begitu sekolahkan anak-anak itu di rumah mereka,” tutur Samion.
Kepada para orang tua, dirinya turut mengimbau untuk lebih aktif menjalin komunikasi dengan pihak sekolah, terutama saat momen-momen penting seperti pembagian rapor. Ia mengingatkan, bahwa keberhasilan pendidikan anak tidak bisa hanya dibebankan kepada guru, tetapi memerlukan peran serta dari orang tua.
“Kalau ada informasi dari sekolah, bacalah. Sekarang kan sudah ada grup WhatsApp, informasi bisa dijangkau. Tidak harus datang setiap hari, tapi setidaknya sempatkan hadir di akhir semester,” ujarnya.
Menutup pernyataannya, Samion menegaskan sekali lagi, bahwa masa depan bangsa sangat bergantung pada kualitas dunia pendidikan. Pada tahap ini, peran dan kebijaksanaan pemimpin turut menentukan.
“Tidak ada jalan lain untuk membangun bangsa ini selain dari pendidikan. Karena itu, mari kita rawat bersama-sama, agar sekolah menjadi tempat yang mampu mencetak sumber daya manusia yang unggul dan berakhlak mulia. Jangan kita mau bangsa ini bagus tapi guru diperlakukan demikian. Tapi yang terjadi ya sudah terjadi, tapi ke depan mari sama-sama memikirkan dunia pendidikan kita,” katanya.
Jumadi: Niat Baik Belum Tentu Dinilai Baik
Problem komunikasi yang dibumbui dengan intervensi penguasa ini turut memantik kemasygulan sejumlah pihak. Drama panggung “Jiwo Versus Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” ini seharusnya tidak pernah terjadi. Lebay dan sangat disayangkan—kalau memang tidak bisa dikatakan memalukan.
Terpisah, pengamat sekaligus Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura, Jumadi mengajak semua pihak dapat bercermin dari kasus ini—agar ke depan berhati-hati dalam menggunakan media sosial.
“Pertama, semua pihak ya, harus hati-hati menggunakan media sosial, karena memang multi tafsir, barangkali niatnya baik, tapi belum tentu persepsi publik itu baik,” ujarnya.
Jumadi menilai, kendati kemungkinan guru yang bersangkutan bermaksud baik dalam menjelaskan persoalan yang terjadi, namun media sosial bukanlah tempat yang tepat untuk menyelesaikan persoalan seperti itu. Menurutnya, publik akan memiliki opini dan penilaian yang beragam ketika sebuah masalah tersebar di ruang digital.
“Barangkali ibu guru itu ingin memperjelas masalah yang dihadapi siswa itu, tapi memang sangat tidak elok, karena memang media sosial apalagi kalau sudah tersebar, akan sulit untuk dikendalikan, dan publik punya opini, punya persepsi yang beragam,” ujarnya.
“Jadi kalau kemudian muncul sekarang berbagai tanggapan yang negatif itu hal yang wajar, karena dampak. Jadi sebaiknya hal-hal begitu jangan (diselesaikan dengan pendekatan) menggunakan media sosial, melainkan dengan tatap muka secara langsung. Karena itu tadi, baik belum tentu juga betul menurut publik,” sambungnya.
Pejabat Tak Boleh Gegabah
Jumadi juga menyoroti tindakan Bupati Kubu Raya, Sujiwo yang sempat memarahi guru tersebut secara langsung di hadapan umum dan video insiden itu beredar luas di media sosial. Ia memahami emosi yang mungkin dirasakan oleh bupati kala itu, namun ia menilai, bahwa tindakan tersebut seharusnya bisa ditangani dengan cara yang lebih terstruktur dan privat.
“Begitu juga dengan pejabat, dalam hal menyelesaikan masalah tidak boleh gegabah, lalu kemudian direkam, disebar di media sosial. Maksudnya barangkali baik ya, tapi belum tentu juga publik menilai itu baik. Kita cukup memaklumi misalnya bupati merasa agak sedikit emosional melihat situasi kayak begitu, sebagai bentuk keterharuannya, tapi memang ketika ngomong dalam situasi seperti itu kan kadang ‘loss control’, apalagi kemudian direkam, dimuat di media sosial,” katanya.
“Jadi intinya memang, bagi saya, perlu hati-hati. Tidak semua masalah kemudian harus direkam kemudian di-publish di media sosial, apalagi misalnya kaitan dengan mau membangun citra, waduh, itu agak riskan menurut saya. Jadi ini pelajaran penting. Sesuatu yang menurut kita, maksud kita baik, belum tentu publik menilai itu baik. (Biasnya) isu jadi liar, penafsiran menjadi macam-macam. Guru, pejabat di daerah, mesti hati-hati,” tegasnya.
Reaksi Kepala Madrasah Sebuah Risiko
Benar saja, andil Sujiwo dalam perseteruan guru dan orang tua murid ini telah membuat gelombang kian membesar. Menghempas ke mana-mana. Menyisakan ketersinggungan bagi beberapa pihak.
Belakangan, muncul pula video pernyataan dari Kelompok Kerja Kepala Madrasah (KKM) 004 Sungai Raya yang menyatakan keberatan atas sikap Bupati Sujiwo. Mereka menyayangkan tindakan bupati yang mendatangi sekolah dan menegur guru secara terbuka di hadapan umum.
Jumadi menilai, kalau situasi itu merupakan buah dari konsekuensi logis dari tindakan yang disampaikan di ruang publik. Risiko itu mau tak mau kini harus diterima.
“Ini risiko memang. Kalau sudah apapun tindakan di ruang publik dipublikasi seperti itu—semestinya memang waktu itu masalah ini diselesaikan di tingkat bawah dulu—sehingga Pak Jiwo jangan meng-take over langsung, ada bagiannya, ada perangkat di daerah itu, bila perlu dipanggil yang bersangkutan ke ini (mediasi di dinas pendidikan), tapi mungkin waktu itu Pak Jiwo ingin agak cepat menyelesaikan, tapi itu lah, kemudian menimbulkan multi tafsir,” ujarnya.
“(Sekali lagi) ini pelajaran penting menurut saya, bagi siapapun, siapapun! Karena menurut saya ada hal-hal yang mesti diselesaikan di ruangan tertutup, tidak mesti dipublikasi misalnya. Karena saya lihat konsekwensinya seperti itu (kalau sudah viral),” tambahnya.
Lebih lanjut, Jumadi menekankan pentingnya pengendalian emosi dan kesadaran bahwa setiap momen kini bisa direkam dan disebarluaskan. Ia menilai, pengalaman seperti ini seharusnya benar-benar menjadi bahan evaluasi agar tidak terulang kembali di masa depan.
“Sekarang kita tidak bisa lagi (persoalkan) siapa yang menyebarkan itu, tapi ke depan kehati-hatian mem-video-kan setiap momen itu penting. Kemudian siapapun dia harus mampu menekan gejolak emosi (apalagi tau sedang divideokan),” jelasnya.
Terakhir, menurut Jumadi, sudah cukuplah pengalaman-pengalaman kasus yang justru menimbulkan penafsiran negatif seperti ini.
“Jadi kata kunci saya, hati-hati lah. Hal yang semestinya tidak mesti dijelaskan di ruang terbuka, bisa diselesaikan dengan cara yang lebih elegan,” tutup Jumadi.
Bayar Sekarang, Tahu Lebih Banyak
Masukkan nomor WhatsApp Anda untuk mendapatkan akses penuh ke berita premium ini