Ketapang    

Proyek Aspirasi DPRD Ketapang Jadi Ladang Jual-Beli, Fee Capai 20 Persen per Paket

Oleh : Redaksi KalbarOnline
Senin, 04 Agustus 2025
WhatsApp Icon
Ukuran Font
Kecil Besar

KALBARONLINE.com – Alih-alih menjadi jembatan aspirasi rakyat, dana pokok pikiran (pokir) DPRD Kabupaten Ketapang yang bersumber dari APBD justru berubah menjadi komoditas politik. Di balik alokasi rutin sebesar Rp3 miliar untuk setiap anggota DPRD dan Rp5 miliar bagi unsur pimpinan, tersembunyi praktik kotor yang mengakar, yaitu jual-beli proyek aspirasi dengan fee mencapai 15 hingga 20 persen dari nilai anggaran per paket pekerjaan.

Fenomena ini bukan sekadar desas-desus. Sejumlah kontraktor lokal, aktivis anti-korupsi, hingga mantan pejabat telah mengakui secara terbuka maupun tersirat adanya praktik transaksional dalam proses distribusi dana aspirasi.

Proyek-proyek yang bersumber dari dana pokir kerap tidak melalui mekanisme tender terbuka. Sebaliknya, mereka dibagi secara penunjukan langsung (PL) kepada pihak-pihak tertentu yang bersedia “membayar” fee politik.

Kasus paling mencolok pernah terjadi pada periode 2014–2019, ketika Ketua DPRD Ketapang saat itu, almarhum Hadi Mulyono Upas, terjerat kasus gratifikasi dan penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan dana aspirasi tahun anggaran 2017–2018. Ia divonis 1,5 tahun penjara oleh pengadilan, setelah terbukti menyalahgunakan kekuasaannya untuk mengatur proyek dan menerima keuntungan pribadi dari aliran dana tersebut.

Namun, yang mengejutkan bukan hanya vonisnya, melainkan pengakuan lantang Hadi Mulyono Upas yang menyebut bahwa dana aspirasi miliknya itu “dititipkan” oleh kepala daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan non-APBD.

Fee dari proyek aspirasi itu bahkan dilegalkan secara lisan sebagai “dana kebijakan daerah” istilah baru yang tak dikenal dalam nomenklatur keuangan negara, namun jadi dalih pembenar praktik korupsi berjemaah.

“Ini bukan inisiatif saya. Dana itu untuk kegiatan yang sudah dibicarakan. Saya hanya menjalankan,” kata Hadi dalam persidangan tahun 2020, sebelum akhirnya wafat beberapa tahun kemudian.

Para aktivis dan pengamat korupsi menyebut praktik ini sebagai bentuk persekongkolan terstruktur antara legislatif dan eksekutif. Proses pengesahan APBD kerap dijadikan momen tawar-menawar antara dua kutub kekuasaan.

Fraksi-fraksi di DPRD akan menyetujui RAPBD dengan satu syarat: aspirasi mereka diakomodir, dan proyeknya dapat mereka kelola secara bebas.

“Setiap tahun terjadi. DPRD kasih lampu hijau untuk APBD, asal ada jatah pokir. Lalu, proyek dari pokir itu mereka bagikan ke kontraktor yang siap setor. Ini simbiosis mutualisme korup,” ungkap seorang kontraktor yang pernah terlibat dalam pengadaan PL tahun 2022, kepada KalbarOnline dengan syarat anonimitas.

Menurutnya, jika nilai proyek PL senilai Rp200 juta, maka kontraktor harus siap mengeluarkan “uang muka” antara Rp30 hingga Rp40 juta.

“Kalau gak setor, gak dapat. Siapa cepat bayar, dia yang dapat. Dan gak ada pengawasan berarti karena dewan yang kawal,” tambahnya.

Yang lebih mengkhawatirkan, fenomena ini seolah “dibekingi” oleh pembiaran aparat penegak hukum. Banyak pihak percaya bahwa aparat lebih memilih memanfaatkan informasi soal praktik ini sebagai alat sandera politik ketimbang menindaknya secara hukum.

Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Kayong menyebut bahwa “pemain proyek” di pemerintahan tidak takut dengan hukum, melainkan dengan siapa yang pegang bukti.

“Penegak hukum tahu semua. Tapi mereka pakai itu untuk tekan para pelaku. Bukan untuk tangkap, tapi untuk ikut main. Yang berani main, aman. Yang gak nurut, dijerat,” Ujar Suryadi.

Akibatnya, kualitas pembangunan di Ketapang sangat memprihatinkan. Jalan poros antar kecamatan banyak yang rusak parah, proyek drainase jebol hanya beberapa bulan setelah dibangun, dan sejumlah proyek infrastruktur kecil di desa-desa nyaris tak menyentuh kebutuhan riil masyarakat. Bukan tanpa sebab, karena dana proyek telah “dipotong” sejak awal untuk fee politik.

“Dari Rp200 juta proyek, yang benar-benar dipakai paling Rp150 juta. Sisanya buat bayar fee, urus dokumen, setor kanan-kiri. Gimana bisa kualitas bagus?” keluh seorang pelaksana proyek di wilayah Sandai.

Masyarakat Ketapang mulai gerah dengan kondisi ini. Suara-suara yang selama ini bisu kini mulai muncul ke permukaan. Mereka menuntut agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera menyelidiki pola permainan proyek aspirasi DPRD dan menelusuri aliran dana fee ke para pejabat, baik di legislatif maupun eksekutif.

“Sudah saatnya KPK turun. Jangan cuma nangkap kepala desa. Ini kejahatan yang masif, rapi, dan jelas merugikan rakyat. Jalan rusak, bangunan asal jadi, dan anggaran disedot buat kantong pribadi,” ucap Suryadi.

Ia juga menyindir para wakil rakyat yang kerap mengklaim memperjuangkan kepentingan rakyat, tapi pada kenyataannya justru menjual proyek pembangunan kepada pihak-pihak yang bisa membayar.

“Kalau begini terus, rakyat cuma kebagian debu jalan dan janji politik,” pungkasnya. (Adi LC)

Artikel Selanjutnya
Wagub Krisantus Kurniawan: Kebijakan PPATK Bekukan Rekening Tidur Itu Melawan HAM
Senin, 04 Agustus 2025
Artikel Sebelumnya
Diduga Lakukan Malpraktik, Warga Landak Layangkan Somasi ke RS Antonius Pontianak
Senin, 04 Agustus 2025

Berita terkait