Ketika Pfizer-BioNTech, Moderna, serta AstraZeneca menyatakan vaksin Covid-19 mereka lolos uji klinis tahap III, harapan bebas dari pandemi melambung. Terutama negara-negara kaya yang sudah memesan jutaan, bahkan miliaran dosis.
—
JUTAAN penduduk Inggris sudah divaksin Covid-19. Yang rawan tertular diprioritaskan. Vaksinasi dilakukan sejak Selasa (8/12). Bahrain, Kanada, AS, dan negara-negara anggota Uni Eropa (UE) segera menyusul. Bulan ini vaksinasi Covid-19 sudah dimulai. Semuanya memakai vaksin Pfizer-BioNTech.
Negara-negara kaya tersebut mengamankan stok vaksin sejak masih dikembangkan. Mereka rela membayar di muka. Begitu vaksinnya lolos uji klinis, mereka menjadi negara pertama yang disuplai. Mereka bahkan memiliki stok berlebih untuk setiap penduduknya. Kepala negara dan pemerintahan mereka berani menyatakan bahwa penduduk bisa mengakses vaksin secepatnya.
Total penduduk negara kaya hanya 14 persen dari populasi dunia. Namun, mereka sudah membeli lebih dari 53 persen vaksin-vaksin yang paling mujarab. Terutama milik Pfizer-BioNTech, Moderna, serta AstraZeneca.
Hal itu berbanding terbalik dengan situasi di negara-negara yang kurang mampu. Berdasar data yang dirilis People’s Vaccine Alliance (PVA), hanya 1 di antara 10 penduduk di negara miskin yang akan menerima vaksin pada akhir 2021. Total, ada 67 negara miskin, mulai Mongolia hingga Mozambik. PVA merupakan koalisi lembaga HAM seperti Oxfam, Frontline AIDS, dan Amnesty International yang ingin memperjuangkan vaksin murah dan merata.
Negara-negara miskin tersebut bakal mengakses vaksin lewat COVAX. Itulah inisiatif global yang bekerja sama dengan produsen vaksin demi akses vaksin yang adil. Saat ini COVAX sudah mengamankan 700 juta dosis vaksin dari produsen. Vaksin tersebut akan dibagi untuk 3,6 miliar penduduk di 92 negara kategori menengah ke bawah.
”Tak seorang pun boleh dihalangi untuk mendapatkan vaksin yang bisa menyelamatkan nyawa dengan alasan negara tempat tinggalnya maupun uang yang mereka miliki,” terang Manajer Kebijakan Kesehatan Oxfam Anna Marriott sebagaimana dikutip BBC.
Direktur Frontline AIDS Lois Chingandu menegaskan, pandemi Covid-19 adalah masalah global. Karena itu, dibutuhkan pula solusi global. Jika penularan dan kematian di negara berkembang dan miskin terus terjadi, pembatasan perjalanan dan perdagangan tidak bisa dicabut.
”Ekonomi global bakal terus menderita selama mayoritas penduduk dunia tidak memiliki akses terhadap vaksin (Covid-19, Red),” tegas Chingandu sebagaimana dikutip Fortune.
Terpisah, WHO memaparkan bahwa vaksinasi bukan langkah mutlak untuk mengakhiri pandemi Covid-19. Langkah-langkah pencegahan seperti menjaga jarak dan kebersihan serta memakai masker tetaplah nomor satu.
Direktur Departemen Imunisasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Kate O’Brien menyatakan, rayuan lebih efektif daripada paksaan. Pemerintah diminta membujuk rakyatnya dengan memaparkan berbagai manfaat vaksin Covid-19, bukan mewajibkan mereka untuk divaksin.
Baca Juga: Kenakan Rompi Oranye dan Tangan Diborgol, Habib Rizieq Resmi Ditahan
Kampanye vaksinasi memang diserahkan kepada setiap negara. Namun, WHO bersikukuh bahwa mewajibkan vaksinasi adalah hal yang salah. Pada masa lalu, ada banyak contoh bahwa mewajibkan vaksinasi hanya menjadi bumerang dan malah melahirkan penolakan.
”Posisi yang lebih baik sebenarnya adalah mendorong dan memfasilitasi vaksinasi tanpa persyaratan (diwajibkan) semacam itu,” tutur O’Brien sebagaimana dikutip RTE.
Saksikan video menarik berikut ini:
Comment